Demikian bunyi ucapan pada secarik kertas berlampir sejuta kenangan dan rasa bangga, memadati rumah Jalan Setiabudi 281 Bandung yang sedang dirundung duka. Sang Maung telah mangkat dengan meninggalkan teladan dan kesederhanaan yang penuh hormat. Almarhum Ayah Ton telah tiada.
Biasanya pagi-pagi Ayah Ton (begitu para cucu HR Dharsono menyebutnya) sudah duduk membaca koran sambil sesekali bercakap-cakap atau menghabiskan waktu membaca buku, mengikuti berita dan mendengarkan musik. Itulah aktivitas-aktivitas menjelang kepergian beliau, yang di bulan-bulan terakhirnya memang lebih banyak diam sejak penyakit saluran pernafasan yang dibawanya dari LP Cipinang semakin akut.
Almarhum Let. Jen (Purn) Hartono Rekso Dharsono lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, tanggal 10 Juni 1925. Beliau adalah anak kesembilan dari 12 bersaudara, putra R. Prajitno Rekso, mantan Wedana Paninggaran pekalongan. Sang Maung memulai karir militernya dari Divisi Siliwangi.
Bandung yang masa itu tampil sebagai kiblat Orde Baru dengan mahasiswa ITBnya yang militan telah turut mempercepat laju perubahan tersebut. Namun langkah pembaruan yang sering diusulkan Pak Ton rupanya terlampau cepat. Keteguhannya dalam mempertahankan pendapat telah menempatkan dirinya seolah berseberangan dengan arus besar pimpinan Orde Baru. Hal ini akhirnya berpengaruh pada karir militernya.
Ketika Sekretariat ASEAN dibentuk, Pak Ton menjadi Sekretaris Jenderal ASEAN yang pertama (1976-1978). Namun lima bulan sebelum jabatannya berakhir, pemerintah RI menarik dukungannya. Ada yang menganggap Pak Ton menyimpang dari tugasnya. Sebab selaku SekJen ASEAN Pak Ton dianggap telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, setelah ia mengkritik kebijakan pemerintah dalam pidatonya di upacara peringatan ke-10 Tritura, Februari 1978 di Bandung.
Posisi berseberangan (dengan penguasa) tersebut kian melebar yang pada akhirnya memicu timbulnya pemikiran-pemikiran kritis menyoroti persoalan politik melalui diskusi-diskusi. Salah satunya adalah catatan keprihatinan atas tragedy berdarah di Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang dikenal sebagai “Lembaran Putih Tanjung Priok.”
1950 - 1953 Menjadi Kepala Staf Brigade 23/Siliwangi yang ikut serta merencanakan operasi penumpasan RMS. Kemudian diperbantukan pada Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) dan menjadi Asisten II Staf persiapan Akademi Militer Nasional (AMN).
1952 Mendapat tugas belajar di Hogere Krijge School, Denhaag, Belanda.
1954 - 1956 Menjadi Kepala Staf AMN.
1957 Wakil Gubernur AMN.
1958 Gubernur AMN.
1960 Menjadi kepala Staf Kodam III Siliwangi.
1962 - 1964 Menjadi Atase Militer RI di London.
1965 - 1966 Menjadi Asisten III Panglima Angkatan Darat.
1966 - 1969 Dengan pangkat Mayor Jenderal menjadi Pangdam VI Siliwangi.
1969 -1971 Mengakhiri karir di militer dan menjadi Duta Besar RI untuk Muangthai.
1972 - 1975 Menjadi Duta Besar RI untuk Rakyat Khmer dan juga menjabat Ketua Delegasi RI pada International Commission for Control and Supervision (ICCS) dalam upaya untuk mengakhiri perang Vietnam.
1976 - 1978 Menjadi Sekjen ASEAN yang pertama.
1978 - 1980 Beralih ke swasta menjadi direktur utama Propelat, lalu mengundurkan diri dan aktif pada Forum Studi & Komunikasi (FOSKO) TNI-AD.
Links:
No comments :
Post a Comment