Pada era tahun 1970-an nama almarhum Robi Sularto menjadi ikon arsitek Indonesia. Gedung Sapta Pesona yang berdiri megah di jalan Medan Merdeka Jakarta merupakan salah satu rancangannya yang dinilai amat imajinatif.
Ia bersama lima orang sahabatnya, para arsitek jebolan ITB, Yuswadi Salya, Adhi Moersid, Darmawan Prawirohardjo, Nurrochman Siddharta, dan Iman Sunaryo, membentuk wadah biro arsitek Atelier 6.
Kami beruntung dapat bekerjasama dalam merencanakan Grand Hotel Preanger Bandung yang dibuka tahun 1990 dan kemudian Bali Imperial Hotel pada tahun 1993.
Robi, di samping arsitek juga menggeluti sejarah, antropologi, dan bidang metafisika. Kiprahnya di dunia arsitektur membuat ia dinobatkan sebagai salah satu dari maestro arsitek oleh Ikatan Arsitektur Indonesia.
Dia meninggalkan kita semua di suatu Minggu pagi yang tenang tanggal 30 Juli 2000. Namun, kenangannya senantiasa bersama kita.
Dan kini kita mempunyai sosok arsitek muda yang patut kita banggakan dan telah pula berkiprah ke mancanegara.
Ialah Ridwan Kamil, seorang Master Desain Urban lulusan University of California-Berkeley AS, dan sebelumnya lulus sarjana Arsitektur dari ITB. Selain sebagai dosen dan pendiri biro arsitek Urbane, ia kini juga menjabat Ketua Bandung Creative City Forum (BCCF).
Ketika pemerintah baru mulai merumuskan konsep dan memetakan industri kreatif Indonesia, BCCF telah lama dibentuk, yaitu sejak Januari 2008. Sepanjang Juli hingga akhir Agustus ini, forum BCCF tersebut menggelar kegiatan ekonomi kreatif anggota komunitas dalam Helar Festival.
Meskipun baru berdiri delapan bulan, Ridwan merasa BCCF berhasil membangun solidaritas di antara anggota komunitas antara lain dengan diterimanya ikon .bdg (dot bdg) sebagai merek ekonomi kreatif Bandung.
Ridwan meyakini kota berperan penting dalam membangkitkan kreativitas warga. Ekonomi kreatif di sejumlah negara dengan Inggris sebagai pelopor, terbukti mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja lebih cepat daripada ekonomi berbasis industri gelombang kedua.
”Dalam BCCF, strategi ruang publik sebagai ruang inspiratif orang-orang kreatif sangat penting. Generasi muda, generasi X dan Y, mobilitasnya sangat tinggi. Mereka butuh ruang baru yang tidak formal untuk membangkitkan ide kreatif.
”Mereka kan tidak selalu terinspirasi melalui ngobrol di kafe yang mahal. Sesekali boleh dong nongkrong di Taman Menteng (Jakarta) yang terdesain baik."
”Menjadikan Yogya kota hotspot (di mana orang dapat mengakses internet secara mobil) adalah ide brilian. Artinya, di mana pun orang bisa merasa nyaman dan produktif,” kata Ridwan.
Dalam merancang kota, menurut pemenang International Young Design Entrepreneur of the Year dari British Council Indonesia ini dikenal filosofi warga menciptakan karakter kota, maka kemudian kota akan menciptakan karakter warganya.
Analoginya, bangunan itu seperti manusia. Ketika berdiri di kota, bangunan harus mengobrol dengan tetangga sebelah, memberi ruang cukup dengan kawasan sekelilingnya. Ini banyak dihilangkan proyek baru yang hanya fokus pada diri sendiri. Itu sebabnya kita tidak punya ruang publik yang nyaman.
Arsitektur yang baik harus seimbang dari sisi ekonomi, sosial, dan ekologis. Dominasi arsitektur di Jakarta dan kota baru di Indonesia masih pada sisi ekonomi. Jadi, bangunan dipagari, tidak ada plaza publik, banyak ruang kosong yang tidak didesain baik.
Dalam isu ruang sosial, kota sebagai ruang publik seharusnya didesain memberi rasa nyaman dan aman, seperti dalam ruang privat (rumah) sehingga warga mau keluar dari rumah. Untuk itu, ruang publik harus didesain, tidak cukup hanya disediakan.
Contoh lain adalah jalan sebagai ruang publik terbesar yang diperlakukan sekadar sebagai ruang sirkulasi engineering. Akibatnya, pemerintah hanya menyediakan aspal, tetapi tidak memikirkan pedestrian untuk pejalan kaki.
”Boro-boro didesain, disediakan saja tidak. Pertanyaannya, lalu di mana warga kota bisa melakukan interaksi sosial dengan kenyamanan dan keamanan seperti di ruang privat? Karena tidak ada pilihan, maka 60 persen warga Jakarta melarikan diri ke mal yang menyediakan keamanan dan kenyamanan dengan segala sensasinya,” kata Ridwan.
Ketika ditanya, di mana tempat arsitektur lokal di tengah globalisasi?
Ridwan menjawab, "Hormati nilai luhur budaya dengan cara baru, bukan copy and paste secara fisik. Artinya, yang diriset nilai budaya lalu ditransformasikan menjadi bentuk geometri modern.
Misalnya, ia mendesain dengan dinding motif batik untuk renovasi Hotel Sahid, dan tidak dengan membuat joglo. Spirit Jawa tetap hadir, tetapi ia memakai referensi budaya Jawa lain yang diinterpretasi ulang.
(Disarikan dari: Kompas, 24 Agustus 2008)
2 comments :
wah kampusnya keren...
saya ingin mengetahui sejarah pembangunan gedung-gedung di itb. apakah ada tokoh-tokoh yang terlibat, yang sekarang masih bisa saya temui?
terimakasih informasi bapak
Post a Comment