Sang Guru: Iskandar Alisjahbana
Setelah beberapa tahun melakukan usaha swadana, akhirnya pada awal tahun 1965 masyarakat Bandung dapat menikmati siaran TVRI Jakarta yang masih hitam putih.
Di situlah awal perkenalan keluarga Panigoro dengan sosok Iskandar Alisjahbana. Ketertarikan dengan kegiatan beliau pun mengilhami kami memilih jurusan di Universitas. Kakak Arifin, memilih Teknik Tenaga Listrik, adik Yani mengambil Teknik Komputer, dan saya sendiri memilih Teknik Telekomunikasi.
Kami bertiga beruntung mendapat pelajaran dari beliau, tak hanya secara formal di kampus ITB, tapi juga secara informal di kehidupan sehari-hari dan yang penting beliau selalu menekankan pentingnya kewirausahaan atau biasa disebut entrepreneurship.
Taburan bunga dari murid Arifin
Kejadian-kejadian itu masih terlintas dalam bayangan kami sampai secara mengejutkan beliau meninggalkan kita untuk selamanya pada hari Selasa, 16 Desember 2008.
Peang, Pia dan Ibu Anna
Ketiga putra almarhum
Dengan Marga dan Talita
Selama di ITB, Profesor kelahiran Jakarta, 20 Oktober 1931 ini memegang sejumlah jabatan. Pada 1964-1966, dia menjadi Ketua Laboratorium Komunikasi Radio Departemen Teknik Elektro ITB. Pada 1965-1967, menjadi Ketua Badan Riset Telekomunikasi Indonesia.
Ia menyandang Ketua Jurusan Eletronik ITB sepanjang 1966-1968. Pada 1966, dia menjadi Guru Besar Teknik Elektro ITB untuk bidang telekomunikasi.
Jabatan Rektor ITB diemban beliau pada 1976-1978. Mulai 1992 hingga akhir hayatnya, dia tercatat sebagai pendiri dan Komisaris PT Pasifik Satelit Nusantara. Jabatan terakhirnya adalah Ketua Majelis Wali Amanat ITB 2001-2004.
Yang paling mengesankan dari beliau adalah bahwa tidak ada jarak dengan siswa-siswanya. Bahkan beliau terbilang amat perhatian terhadap anak didiknya.
Pada saat menjabat sebagai Rektor, beliau sering meminjamkan mobilnya kepada saya dan Adi Dharma Soelaiman, adik tingkat saya di ITB, untuk keperluan kegiatan non akademik.
Adi Dharma sendiri, yang kini menjabat Komisaris PT. Techno Multi Utama, menyebut Prof. Iskandar Alisyahbana sebagai guru sejati kehidupannya. Interaksi dengan Sang Guru berlangsung sejak tahun 1973, melalui pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi informal di luar labolatorium, di ruang kerjanya di lab Radar ITB dan di PT. RFC (perusahaan swasta nasional telekomunikasi yang dibangun bersama-sama dengan lima orang teman-temannya), maupun di gerbong kereta api atau di mobil dalam perjalanan Bandung-Jakarta.
Insinyur muda
Dalam catatannya mengenai Guru kami ini, Adi Dharma menulis, “Kepada saya dan Dedi Panigoro sohib saya, beliau pernah berkata, ‘Lihat saja Adi, suatu hari bangsa ini akan berhadapan dengan krisis yang luar biasa, karena bangsa ini enggan belajar dari bangsa-bangsa lain seperti bangsa Jepang untuk menjadikan teknologi sebagai bagian dari karya-karya dan jati dirinya.’ Ketika itu di suatu sore di tahun 1976 di teras rumahnya di jalan Sulanjana, Bandung.”
Dan rupanya terbuktilah kata-kata beliau ini ketika pada dasawarsa lalu bangsa ini mengalami krisis seiring dengan lemahnya penguasaan teknologi yang berpengaruh pada struktur finansial.
Menyampaikan rasa duka
Beberapa orang yang berseberangan dengan dia di kampus ITB menyebutnya kebarat-baratan, oportunis, kapitalis liberal, dan bahkan ada yang mengatakan dia Machiavelist. Namun menurut Adi Dharma, selain nasionalis tulen, ia adalah juga seorang humanis. Bagaimana dia sering mendengung-dengungkan agar setelah lulus dari ITB kami tetap teguh dan konsisten di bidang teknologi, sebagai enterpreneur, sambil menciptakan lapangan kerja bagi saudara-saudara kita yang nganggur dan perlu pertolongan.
Palgunadi Setiawan, mantan direktur PT Astra Internasional Indonesia, mengenang beliau dalam dua kata: orisinil dan anggun. Saat Iskandar Alisjahbana menjabat sebagai Ketua Majelis Wali Amanat ITB, pengusaha yang kini terjun membantu pengusaha mikro ini menjadi wakilnya.
Selamat jalan...
Kiprah beliau dalam bidang telekomunikasi negeri ini dimulai setelah lulus sebagai Sarjana Muda pada 1951 dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang kemudian menjadi ITB Departemen Elektronik. Studinya berlanjut ke Electrical Engineering Department, TH Muenchen, Jerman dan jurusan yang sama di TH Damstadt, Jerman hingga meraih gelar Diploma Engineering dan Doktor Engineering. Semua itu ditempuhnya selama kurun 1954-1960. Kemudian ia menjadi dosen elektronik ITB hingga pensiun di tahun 1996.
Rumah tua tempat keluarga besar Alisjahbana berkumpul
Pada saat Bandung menjadi lautan sampah, beliau juga yang gigih memperjuangkan gagasan mengkonversi sampah menjadi tenaga listrik. Dan sangat disayangkan gagasan tersebut kandas di tengah jalan.
Secara umum, saya sendiri menggambarkan beliau sebagai seorang cendekiawan, demokrat, guru sejati, kawan, kritikus, dan juga seniman.
No comments :
Post a Comment