Memilih turun gunung untuk membantu warga. Pemberdayaan masyarakat menjadi kunci masalah sosial.
SAAT menjadi ”first lady” di Nusa Tenggara Timur, Nafsiah sebenarnya bisa saja ongkang-ongkang. Nyatanya istri Aloysius Benedictus Mboi, gubernur periode 1978-1988, itu memilih ”turun gunung”. Ia tak mau hanya menggunting pita; ia memilih ikut langsung menangani masalah warga. Ia prihatin karena NTT adalah daerah tandus dan rawan bencana. ”Segala jenis bencana pernah terjadi di sana—gempa, banjir, tsunami, serangan hama tikus,” katanya. Letaknya yang terpencil dan tak pernah disiarkan media membuat warga di sana hampir tak tersentuh bantuan.
Naf pun tergerak membantu warga. Banyak kala itu yang menganggap kesejahteraan mereka adalah urusan pemerintah daerah. Dan karena itu, mereka hanya diam dan ”terima beres”, meski kadang kebutuhan tak terpenuhi. Misalnya program air bersih. Selama ini, meski yang bertugas mencari air untuk kebutuhan keluarga di NTT adalah wanita, mereka tak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang mandi-cuci-kakus.
Naf mencoba mengubah ”tradisi” itu dan menekankan kepada para ibu bahwa air adalah urusan dan hidup mereka, jadi mereka harus ikut serta menentukannya. Lewat serangkaian pertemuan dengan para perempuan itu, muncullah usul sumber air harus didekatkan di rumah, sehingga mereka bisa mencari air tanpa harus meninggalkan anak. Naf percaya, orang miskin dan buta huruf sekalipun bisa dilatih mengambil keputusan sendiri—tentunya dengan bantuan tenaga ahli. Jadi, mereka akan ikut bertanggung jawab memelihara suatu fasilitas atau program.
Berkat pengabdian di NTT itulah Naf dan Ben Mboi diganjar Magsaysay Award pada 1986. Tiga tahun kemudian Presiden Soeharto juga menyematkan Satyalancana Bhakti Sosial atas jasa-jasa Naf melakukan operasi bibir sumbing di provinsi itu.
Naf lahir di Sengkang, Sulawesi Selatan, 14 Juli 1940. Dia anak kedua dari enam bersaudara pasangan Haji Andi Walinono dan Hajjah Rahmatiah Sonda Daeng Baji. Salah satu adiknya adalah Erna Witoelar—mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, juga Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Lulus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 1964, Naf tak hanya memboyong gelar tapi juga pendamping hidup. Ia dipersunting seniornya, dokter Aloysius Benedictus Mboi—akrab disapa Ben Mboi. Mereka kelak dikaruniai tiga anak: Maria Josefina Tridia Mboi, Gerardus Majela Mboi, dan Henry Dunant Mboi. Naf melanjutkan pendidikan spesialis anak di Belgia dan tamat pada 1971. Ia meninggalkan kamar prakteknya ketika Ben diangkat menjadi Gubernur NTT pada 1978. Di daerah barunya ini Naf mempraktekkan ilmu kedokteran secara lebih luas: membantu masyarakat.
Dr. Nafsiah Mboi SpA (Sekretaris KPA Nasional) dalam pertemuan dengan jajaran pers yang didampingi oleh Duta Besar HIV/AIDS dari Belanda Paul Bekkers, Fia van der Klugt (Policy Officer and Assistant to Dutch Aids Ambassador-Health, Gender and Civil Society Departement) Kementrian Luar Negeri Belanda, Christian Kroll dari Global Coordinator HIV/AIDS United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan Murray Proctor, Duta Besar HIV/AIDS dari Australia (16/10/2008)
Dia kini menerapkan pengabdian yang sama dalam menangani masalah HIV dan AIDS. Sejak 2006, ia menjabat Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)—lembaga yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. KPA memusatkan perhatian pada tiga kelompok yang paling rentan: pengguna narkoba suntik, pekerja seks, dan pria yang berhubungan dengan sesama. ”Kalau bisa mencapai 80 persen dari mereka, kita bisa mencegah dan mengurangi infeksi baru serta mengurangi dampak sosial-ekonomi virus ini,” kata Naf.
Sayangnya, pelaksanaan rencana itu tak selalu mulus di lapangan. Pekerja seks yang mau diberi penyuluhan malah diuber-uber polisi. Para waria juga digerebek oleh kelompok-kelompok keagamaan. Jadi, yang dibasmi malah orangnya, bukan masalahnya. ”Kami memakai pendekatan kesehatan dan kesejahteraan, mereka bicara moral,” kata Naf.
Namun ia tetap optimistis, masalah HIV/AIDS—juga problem sosial lain di Tanah Air—bisa diatasi. Yang penting, katanya, pemerintah dan masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat, harus bekerja sama. Tidak ada yang lebih ”suci” di antara keduanya. Penyalahgunaan dana dan korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja di pemerintah, LSM, atau warga sendiri. ”Saya pernah mengalami semuanya,” kata Naf. Jadi, bukan tergantung lembaganya, tapi orangnya. ”Kalau LSM dan pemerintah saling memusuhi, itu kuno,” katanya.
Naf bisa bicara begitu karena ia ”hidup di dua alam”: 35 tahun menjadi pegawai negeri sipil di Departemen Kesehatan—pensiun pada 1997—dan selama itu pula ia terlibat di banyak kegiatan nonpemerintah. Tak cuma di dalam negeri, tapi juga go international. Dialah orang Asia pertama yang menjabat Ketua Komisi Hak Anak PBB (1997-1999). Lalu ia menjabat Direktur Departemen Gender dan Kesehatan Wanita di Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, di Jenewa, Swiss (1999-2002).
Rekam jejak Naf, kini 69 tahun, itulah yang menjadi alasan Tempo memilihnya sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Menanggapi hal ini, ia hanya tergelak, ”Itu mimpi di siang bolong.” Naf lalu menyodorkan jawaban diplomatis: kita dukung dengan doa, siapa pun yang dipilih Presiden.
Pegiat masalah HIV/AIDS, Baby Jim Aditya, menilai Nafsiah sebagai sosok yang jelas keberpihakannya. Nyonya Mboi sanggup mengakomodasi suara-suara yang berbeda di lapangan. Walau begitu, Baby melihat Bu Naf ”kurang galak” ketika masuk ke sistem—yaitu KPA. Perancang busana itu juga menyorot usia Nafsiah yang terlalu tua untuk menjadi menteri. Fisik tak lagi lincah. Pola pikir juga biasanya sulit berubah dalam merespons perkembangan zaman.
Sumber: Majalah Tempo Edisi 19-25 Oktober 2009