Gempa Tidak Membunuh Manusia

"Jatuhnya korban karena gempa bumi sebetulnya lebih karena sikap dan ulah manusia daripada alam. Getaran gempa tidak membunuh," demikian ujar pakar geologi dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawijaya, dalam wawancara dengan Kompas, 2 Oktober lalu.

Belasan ribu warga korban gempa di Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (3/10), yang rumahnya rusak berat berharap bantuan tenda plastik, sekadar tempat berlindung dari hujan dan panas. (KOMPAS/YURNALDI)

Gempa berkekuatan 7,6 skala Richter yang terjadi hari Rabu dan Kamis lalu telah meluluhlantakkan sebagian Sumatera Barat. Gempa pertama kali terjadi pada pukul 17.16 WIB, Rabu dengan pusat gempa di kedalaman 85 km Barat Laut Padang, Sumatera Barat.

Gempa kedua terjadi pada pukul 8.52 WIB hari Kamis sekitar 225 km sebelah Tenggara Padang, tepatnya di Sungaipenuh, Kabupaten Kerinci sekitar 400 km dari Kota Jambi.

Posko Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satkorlak PB) Provinsi Sumatera Barat mencatat jumlah korban meninggal dunia pasca gempa di Sumbar meningkat menjadi 535 orang dan 323 orang hilang.

Jumlah korban tertimbun tercatat paling banyak di Korong atau Dusun Lubuk Laweh, Nagari Tandikat, Kecamatan Patamuan.


Seorang anak membawa seng yang akan digunakan untuk membangun tempat tinggal sementara di Desa Lolo Panjang, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Jumat (2/10). Sehari setelah gempa berskala 7,0 skala Richter, ribuan pengungsi masih bertahan di tenda-tenda yang tersebar di daerah itu.
(KOMPAS/DANU KUSWORO)

Berdasarkan data Satkorlak Kabupaten Padang Pariaman, mereka yang tertimbun di Lubuk Laweh 130 orang dan baru ditemukan 17 orang. Adapun di Korong Cumanak sedikitnya 69 orang tertimbun dan baru ditemukan 7 orang. Di Korong Pulau Air 43 warga setempat tertimbun dan baru 4 orang ditemukan. Para korban yang ditemukan itu semuanya meninggal dunia.

Sebanyak 46 dari 298 korban tertimbun longsoran di Kecamatan Patamuan, V Koto Timur dan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman, berhasil dievakuasi.

Di Padang Pariaman, rumah penduduk yang rusak berat 19.183 unit, rusak sedang 4.130 unit, dan rusak ringan 425 unit. Gedung sekolah yang rusak berat 77 unit, rusak sedang 8 unit, dan rusak berat 9 unit. Rumah ibadah yang rusak berat 181 unit, sedang 30 unit, dan rusak ringan 9 unit. Fasilitas umum yang rusak berat 30 unit, rusak sedang 9 unit.

Mengenai akibat bencana ini, Wapres Jusuf Kalla menjelaskan bahwa rekonstruksi rumah penduduk dan bangunan fasilitas pelayanan umum selesai dalam tempo enam bulan. Tujuannya agar trauma masyarakat cepat hilang dan masyarakat dapat melanjutkan kehidupan.

Untuk rekonstruksi rumah penduduk, pemerintah menjanjikan bantuan maksimal Rp 15 juta.

”Jadi, ada yang mendapat Rp 15 juta, ada yang Rp 10 juta, ada yang Rp 1 juta, tergantung kondisinya,” kata Wapres sambil mengemukakan, verifikasi kerusakan bangunan dikerjakan Departemen Pekerjaan Umum dan Universitas Andalas yang harus selesai dalam dua minggu.


Rancangan bangunan tahan gempa

Bangunan di Padang, Sumatera Barat, memang seharusnya sesemuanya dirancang ramah terhadap gempa, sesuai dengan zona gempa yang sudah ditetapkan sehingga kalaupun bangunan runtuh, tidak terjadi begitu saja.

"Seharusnya masih memberikan waktu kepada penghuninya untuk dapat menyelamatkan diri," kata Kepala Badan Pembina Konstruksi dan SDM Departemen Pekerjaan Umum, Sumaryanto Widayatin, di Jakarta, Minggu (4/10), sebagaimana dikutip Antara.

Menurut dia, sebenarnya dalam berbagai kasus di Indonesia saat mengajukan izin mendirikan bangunan (IMB) konsultan sudah mengajukan rancangan bangunan ramah gempa. Namun, pengawasan dalam pelaksanaan pekerjaan terhadap bangunan terkadang masih sangat lemah sehingga desain (rancang bangun) yang seharusnya ramah gempa seringkali tidak terpenuhi.

Rumah panggung ramah gempa

Danny Natawijaya juga mengatakan, "Kita mengerti yang membunuh adalah bangunan yang runtuh akibat tidak tahan gempa atau fondasinya jelek, misalnya karena ada proses pelulukan lapisan pasir di bawah tanah (liquefaction) menyebabkan bangunan di atasnya ambles. Hal lain karena terjadi kebakaran akibat short-circuit aliran listrik atau lainnya. Korban juga terjadi karena tertimbun longsor yang menimpa bangunan.

Semua itu bisa dihindari kalau saja tata ruang dan kode bangunannya mengikuti kaidah mitigasi bencana gempa. Salah kaprah kalau menyalahkan alam dan ”takdir Tuhan”. Semua tergantung dari usaha kita sebagai manusia yang bisa berpikir dan belajar dari pengalaman."




Artikel terkait:

Gempa Sumatera, 1000 lebih Tewas

Pariwisata Sumatera Barat Terpukul

Gempa Sumatera Masih Menyisakan Misteri

Biarlah Timbunan Tanah Ini Jadi Kuburan Mereka

No comments :