Diplomat dengan jam terbang tinggi. Orang Indonesia pertama yang memimpin Komisi Hak Asasi Manusia di PBB.
PENYEJUK udara di Inter Continental Hotel, Bali, itu tak dapat menurunkan suhu panas ruang sidang para delegasi negara se-Asia Tenggara. Dalam Senior Official Meeting ASEAN pada 2003 itu, delegasi Kamboja, Laos, Vietnam, dan Burma memasang wajah keras. Mereka berkukuh menolak usul Indonesia yang menawarkan ide memasukkan hak asasi manusia dan demokrasi ke dalam visi ASEAN.
”Ini usul penting demi perkembangan ASEAN ke depan,” ujar Rizal Sukma, peneliti Centre for Strategic and Information Studies. Maklum, dari sepuluh anggota ASEAN, praktis hanya Filipina dan Thailand yang relatif sudah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Indonesia masih terhitung ”anak baru” yang belum lama menyelenggarakan pemilihan umum demokratis pertama setelah kekuasaan Soeharto tutup buku.
Rizal menyaksikan delegasi Singapura dan Malaysia hanya terdiam. Sang pemecah kebekuan pun muncul. Makarim Wibisono, kini 62 tahun, diplomat dengan jam terbang tinggi yang menjadi anggota delegasi Indonesia itu tampil ke muka. Dengan ketenangan luar biasa, Makarim pelan-pelan membujuk mereka. Berhasil. Ide Indonesia itu bahkan masuk bagian dari tiga pilar ASEAN Community.
Kisah Makarim membujuk sebagian besar negara itu, kata Rizal, adalah satu dari sebagian kisah suksesnya dalam diplomasi. Yang terbesar dalam karier diplomasinya adalah ketika dia bisa meyakinkan negara-negara Asia agar memilih Indonesia sebagai Ketua Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2005. Padahal saat itu Makarim baru empat bulan menjadi Duta Besar Indonesia untuk PBB. ”Staminanya kuat,” ujar Rizal.
Jepang, India, dan Pakistan yang semula mengincar kursi prestisius itu, ditambah dukungan dari Cina dan Korea Selatan, justru berbalik mendukung Indonesia. ”Orang tak sadar sedang dirayu, orang itu juga merasa dirinya tetap memperoleh kepentingannya,” ujar seorang diplomat senior yang enggan disebut namanya tentang kemampuan Makarim melobi.
Makarim Wibisono memimpin Komisi Hak Asasi Manusia di Geneva, 7 April 2005. Di sebelah kanan, Sekjen PBB Kofi Annan bersiap untuk berpidato
Tak cuma memimpin forum tertinggi di PBB untuk promosi dan perlindungan hak asasi manusia, Makarim juga menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat President Economic and Social Council di PBB New York. Dia pun menjadi Ketua World Peace Assembly on Interreligious and Dialogue Among Civilizations di PBB (2000) serta Ketua Tim Antiterorisme untuk APEC (2003).
Dengan pengalaman yang komplet itu, Makarim memiliki modal lebih dari cukup untuk memimpin Departemen Luar Negeri. Apalagi departemen ini kini dituntut lebih berperan di tingkat global setelah posisi Indonesia mulai dipandang dalam kelompok negara-negara G-20 dan dipercaya menjadi penyuara keselamatan iklim dunia melalui Konferensi Perubahan Iklim di Bali dua tahun lalu. ”Arena politik Indonesia kini tak cuma Asia Tenggara,” kata diplomat itu.
Dia menilai Makarim menguasai isu-isu ekonomi politik, paham isu senjata, fasih berbicara tentang hak asasi manusia, kesehatan, dan lingkungan hidup. Dalam isu kesehatan, Makarim misalnya amat berjasa membantu perundingan Indonesia dengan badan kesehatan WHO. Ia memperjuangkan hak-hak Indonesia memperoleh keuntungan dalam transfer sampel virus flu burung. Dalam Konferensi Perubahan Iklim, kata diplomat itu, ”Dia masuk dalam delegasi Indonesia yang bertugas membujuk Amerika menandatangani kesepakatan konferensi.”
Kendati lihai melobi, staf ahli Menteri Kesehatan ini dikritik tak cukup artikulatif ketika berbicara di depan umum. ”Sekarang tampaknya sudah lebih baik,” kata diplomat senior tadi. Ia juga dinilai relatif berjarak dengan diplomat-diplomat muda yang kini banyak mengisi posisi penting departemen setelah Hassan Wirajuda sukses mereformasi seluruh struktur Departemen Luar Negeri.
Pejabat lain di departemen ini melihat Makarim justru kini berkembang menjadi sosok yang lincah dan luwes bergaul, termasuk dengan politikus. Maklum, tak banyak birokrat di departemen ini yang pandai bergaul dengan politikus, baik di Dewan Perwakilan Rakyat maupun di partai.
Menurut Darmawan Ronodipuro, bekas diplomat yang pernah bertugas di Afganistan, karakter mudah bergaul seperti itu yang justru dibutuhkan dalam diplomasi. Dalam kasus seperti perjanjian ekstradisi, misalnya, para politikus di Dewan bisa memiliki pemahaman yang lebih baik bila pejabat Departemen Luar Negeri melakukan lobi yang luwes dan intensif. Nah, kata Darmawan, bekas bosnya itu memiliki stamina yang kuat dalam lobi. ”Dia tenang dalam bernegosiasi,” ucapnya.
Dari sisi akademis, Dinna Wisnu, partnernya di Graduate School of Diplomacy Universitas Paramadina, menilai Makarim sebagai intelektual yang lengkap. Lulusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada pada 1970 ini menekuni ilmu ekonomi politik di Universitas Ohio hingga memperoleh gelar doktor pada 1987. Sebelum menjadi diplomat karier, Makarim pernah pula menjadi editor majalah berita Ekspres, 1970-1972.
Makarim juga pernah membangun sebuah perpustakaan umum di sebuah gedung di New York. Perpustakaan yang ia beri nama KH Abdurrahman Wahid Library itu didirikan untuk membagi pengetahuan tentang Indonesia. Menurut Dinna, walau sudah pensiun, jam terbang Makarim bisa dimaksimalkan untuk peran Indonesia yang lebih besar lima tahun ke depan.
Menanggapi apresiasi dan kritik, Makarim cuma bilang, ”Terima kasih.” Politik luar negeri, kata dia, cermin kepentingan nasional Indonesia. ”Karena itu, politik dan kerja sama antarsektor saya pikir yang memegang peranan,” ujarnya dari Belanda, dua pekan lalu.
Sumber: Majalah Tempo Edisi 19-25 Oktober 2009
No comments :
Post a Comment