Oleh DWI AS SETIANINGSIH
Usianya baru 1,5 tahun. Namun, Paviliun 28 yang dikelola duet Eugene Panji dan Nova Dewi ini sudah berhasil memosisikan diri sebagai ruang bersama yang tak sekadar mempertemukan, tetapi juga memberi bobot bagi pertemuan-pertemuan kaum urban Jakarta dari berbagai komunitas.
Paviliun 28 berdiri di atas lahan seluas kurang lebih 350 meter persegi di Jalan Petogogan 1, Jakarta. Bangunannya terdiri atas dua lantai dengan penanda yang sangat menarik mata berupa pintu besar bercat merah yang kontras.
Lantai bawah merupakan Bar Jamu yang menyajikan jamu dan berbagai jenis makanan khas Indonesia yang bisa dinikmati di bar atau meja kursi yang tersedia di lantai tersebut. Ada juga beberapa ruangan untuk penyewa (tenant) dan sebuah elemen penting dari bangunan itu, yaitu bioskop berkapasitas 40 orang yang terletak di bagian belakang.
Di lantai atas ada ruang rapat, ruang operator, dan taman mini yang mengalirkan udara segar ke dalam ruangan. Siapa saja boleh menggunakan ruang rapat, termasuk yang ingin sekadar kongkow-kongkow di taman. ”Bebas, asal bertanggung jawab,” kata Eugene.
Saat tak ada acara yang digelar, orang bisa sekadar makan, minum, dan ngobrol-ngobrol saja. Beberapa di antaranya melakukannya sambil membuka laptop dan mengobrol serius, membiarkan suara musik mendominasi ruangan.
Ketika sebuah acara tengah digelar, jangan ditanya seperti apa suasananya. Seluruh bagian ruangan akan penuh sesak, nyaris tak menyisakan ruang untuk bergerak.
”Tempat ini dibuat sebagai entry point buat new comer. Siapa new comer-nya, ya merangkul teman-teman yang hidupnya di industri kreatif atau yang tertarik sama industri kreatif. Siapa pun itu,” ungkap Eugene.
Gagasan tentang keberadaan Paviliun 28 itu berawal dari mimpi Eugene yang sejak dulu sangat ingin memiliki bioskop. ”Banyak pelaku industri film mengeluh karena bioskop dimonopoli si A, atau si B. Namun, mereka tidak berbuat apa-apa, misalnya membuat optional medium untuk menayangkan film mereka,” kata Eugene.
Dengan gagasan memberi ruang alternatif untuk film itulah, pada tahap awal Paviliun 28 banyak mengakomodasi acara untuk orang-orang yang bergerak di industri film. Misalnya memutar film-film yang bagus, tetapi tak mendapat cukup tempat di bioskop, termasuk di antaranya film Senyap karya Joshua Openheimer dan film Nay karya Djenar Maesa Ayu.
Nyatanya, pemutaran film yang diikuti interaksi dengan sutradara dan pemain-pemain film itu menyedot animo luar biasa. Dari situ lalu lahir acara lain yang juga terus menyedot perhatian massa. Seperti acara pembacaan puisi dan acara musik yang menghadirkan beragam penampil, salah satunya White Shoes and The Couples Company.
Belakangan, setiap Kamis malam ada Jazz Malam Jumat yang menghadirkan Agam Hamzah, termasuk musisi-musisi cilik yang tampil di Paviliun 28 sebagai ajang belajar tampil di depan audiens. Pengalaman-pengalaman tampil seperti itu menjadi hal yang sangat berharga, mengingat tak banyak tempat yang mau memberi ruang bagi para pendatang baru.
Aktivitas yang menyedot animo kaum urban Jakarta tersebut lambat laun menjadikan Paviliun 28 sebagai basis bagi berbagai komunitas. ”Kami sendiri surprised. Sejak bulan pertama sampai hari ini, tempat ini selalu ramai dikunjungi berbagai komunitas,” kata Eugene.
Hal itu, menurut Nova, menjadi bukti bahwa anak-anak muda memang mencari wadah agar bisa saling menginspirasi dan selalu mencari ruang untuk mengaktualisasi diri dengan segala sesuatu yang terhubung dengan mereka. ”Enggak usah jauh-jauh, kadang ada anak-anak SMK jurusan film yang datang ke sini hanya untuk ketemu dengan pembuat film. Jadi, mereka ke sini sekadar untuk foto dengan Riri Riza atau Mira Lesmana,” tambah Eugene.
Dari sisi itu, tambah Nova, Paviliun 28 tak sekadar memberi ruang untuk pertemuan-pertemuan yang menginspirasi, tetapi juga berperan mengecilkan kesenjangan antara figur publik dan komunitasnya. ”Karena anak-anak muda kan butuh idola, jadi perlu sosok yang bisa menginspirasi mereka. Nah, kami di sini menghadirkan mereka untuk mengecilkan gap itu karena sosok-sosok seperti mereka kadang sulit dijangkau,” kata Nova.
Belajar terus
Baik Eugene maupun Nova sepakat, siapa pun bisa tampil atau membuat acara di Paviliun 28 tanpa ditarik biaya alias gratis. Imbal balik yang ditetapkan lebih berupa kesediaan berbagi ilmu dari para pengisi acara kepada yang hadir agar setiap orang memiliki kesempatan untuk belajar, terus dan terus.
”Selama kegiatan yang digelar berhubungan dengan seni dan budaya, kami akan support. Tetapi kalau komersial, memang akan ada biaya yang ditarik. Ya, fair-fair saja,” kata Eugene.
Belakangan, seiring popularitas Paviliun 28, banyak orang tertarik menggunakannya sebagai tempat untuk merayakan ulang tahun hingga acara pernikahan. Ada juga sekelompok ibu yang menyewa bioskop untuk memutar film yang ingin mereka tonton. ”Walaupun enggak sering-sering amat supaya tempat ini enggak beralih fungsi,” kata Eugene.
Sejauh ini keduanya sepakat tak mau menjadikan Paviliun 28 sebagai ruang dengan batas-batas formal karena ada banyak komunitas yang tak punya wadah dan harus dirangkul. Harapannya agar mereka tidak merasa sebagai komunitas yang sendirian.
Yang jelas, mengelola tempat seperti Paviliun 28 harus sepenuh hati. ”Kami berdua banyak bantu juga karena tidak banyak tim yang terlibat dan banyak yang free juga sehingga kami kerap terlibat di belakang layar. Kalau enggak sepenuh hati, ya, enggak bisa,” tambah Nova.
Yang jelas, setiap pertemuan yang terjadi harus dapat membuat setiap orang belajar. Eugene mencontohkan staf-staf Paviliun 28 yang dulunya tak punya banyak kemampuan, kini menguasai banyak hal, mulai dari menjadi pelayan, kasir, hingga menjadi sound engineering.
”Ini semua benar-benar setara, semua orang di sini dapat kesempatan belajar dengan porsi yang sama sesuai kebutuhan masing-masing. Yang punya belajar terus, yang kerja juga, yang datang juga belajar terus,” kata Eugene.
Paviliun 28 barangkali menjadi satu dari banyak ruang publik yang dibutuhkan untuk mewadahi ekspresi kaum urban. Di situ, ruang diperlakukan sebagai bagian penting dari kehidupan sehari-hari yang membutuhkan keguyuban gaya urban.
Sumber:
Kompas, 6/3/2016