Intel Belanda atau Menahan Jepang

DATUK Hafiz Haberham kepayahan juga mengerjakan aneka perintah Asisten Residen Deli dan Serdang A.R. Treffers. Pada April 1942, bangsawan Kesultanan Deli, Sumatera Utara, itu sudah tujuh bulan membuat rakit bambu yang diruncingkan dan dipasang vertikal di sepanjang pesisir pantai Langkat-Asahan sepanjang 288 kilometer. Nama Datuk Hafiz tercatat sebagai salah satu anggota agen rahasia Belanda yang bertugas menahan masuknya pasukan Jepang ke Sumatera Timur. Hafiz bahkan mengepalai organisasi yang bernama Siap Sedia (SS) itu. Ia merekrut sejumlah bangsawan dari beberapa kesultanan sebagai anggotanya. Salah satunya Amir Hamzah, menantu Sultan Langkat yang menjabat kepala luhak, setingkat camat, di Teluk Haru di Pangkalan Brandan. Dalam sebuah laporan intelijen kepada pemerintah Belanda pada 1947, Hafiz menulis bahwa para anggota organisasi rahasia itu sudah terbentuk dan tersebar di beberapa kesultanan. "Datuk Hanafi di Tanjung Balai dan Tengku Amir Hamzah di Langkat," tulisnya. Dokumen dalam bahasa Belanda itu kini tersimpan di Arsip Nasional. Dengan agak detail, Hafiz melaporkan bahwa anggota-anggota elite dinas rahasia itu tak mengangkat sumpah setia kepada Belanda, seperti agen lain. "Karena mereka itu akan bekerja langsung di bawah saya," tulis Datuk Hafiz. Para intel SS, kata Hafiz, memiliki tanda khusus, yakni uang kepeng bergarit "V". Ia bersaksi bahwa, selama kepemimpinannya, setidaknya 700 kepeng lencana ia keluarkan. "Permintaan lain tidak bisa saya berikan karena kehabisan uang sen," ucapnya. Dengan kata lain, Hafiz mengklaim jumlah anak buahnya mencapai ribuan. Organisasi rahasia itu bermula pada September 1941. Enam bulan sebelum pasukan Jepang mendarat di Sumatera Timur, Treffers mengajak Datuk Hafiz bersekoci dari Hamparan Perak ke Belawan. Di atas sekoci, Treffers memintanya membuat rintangan untuk menghambat pendaratan pasukan Jepang. "Walaupun Belanda kalah, saya dianjurkan tetap berpendirian sebagai warga negara Belanda," kata Datuk Hafiz. Empat bulan kemudian, Datuk Hafiz membentuk korps pengawal negeri (landwachten). Menurut Tengku Lah Husny, adik kandung Saidi Husny, kawan sepermainan Amir sejak kecil, dalam Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah, landwachten itu aktif bertempur melawan serdadu Jepang. Amir, kata Lah Husny, menjadi salah satu pemimpin pasukannya. Sultan Mahmud yang meminta menantunya masuk korps itu. Sultan juga menunjuk adiknya sendiri, Tengku Harun, agar ikut bertempur. "Amir Hamzah dan Tengku Harun mendapat pangkat sersan dan masing-masing mengepalai pasukan kecil," demikian ditulis Lah Husny. Sebelum bertempur, Amir mendapat pelatihan militer selama 14 hari di Pulo Brayan-kini masuk Kecamatan Medan Barat. Ia dan Tengku Harun baru berperang ketika Jepang menyerbu Sumatera Timur pada Maret 1942 melalui muara-muara sungai. Dalam sebuah penyergapan, Tengku Harun mendapat tugas meledakkan titian Tanjung Pura untuk menahan laju pasukan Jepang. Menurut Lah Husny, Harun menolak perintah Belanda karena tak ingin jembatan itu hancur. Agar tidak terkesan memberontak, ia mengajukan laporan palsu: alat peledaknya tidak bekerja. Pasukan Amir dan Tengku Harun tidak mampu bertahan. Serdadu Jepang mendesak ke daratan hingga pasukan Amir mundur ke Gunung Setan, dekat Bukit Barisan. Anak buahnya meminta Amir membatalkan kontrak sukarelawan dengan Belanda karena melanggar janji membantu saat terpojok. Amir menolak. Ia meminta para serdadu itu kabur sendiri-sendiri. Kepada opsir Belanda, Amir melapor anak buahnya sedang pulang mengambil persediaan pakaian. Belanda, kata Lah Husny, lalu meminta Amir ke Medan dengan pasukan seadanya. Dalam pertempuran di Gunung Setan, Amir dan pasukannya hanya bisa bertahan sebulan. Jepang menahan mereka di kamp Lau Segala. Amir dan pasukannya disuruh mengangkut balok-balok kayu untuk perlindungan tentara Jepang. Baru pada 1943, Amir bebas dari kerja paksa itu atas permintaan Sultan Mahmud. Anthony Reid, peneliti sejarah Asia Tenggara yang mengajar di Australian National University, juga mencatat para bangsawan yang menjadi intel-intel Belanda di masa pendudukan Jepang. Sumatera Timur pada 1940-an, kata Reid, adalah wilayah yang terbelah. Pegawai pemerintah yang berasal dari elite kesultanan memihak Belanda, sedangkan rakyat biasa menentangnya. Kelompok anti-kesultanan memakai Jepang untuk mengakhiri kekuasaan feodal. "Kedua belah pihak mencoba menggunakan Jepang dan Sekutu buat keuntungan mereka masing-masing," kata Reid lewat pesan elektronik kepada Tempo pada akhir Juli lalu. Sepupu Amir, Tengku Saridjat, yang kini 81 tahun, tak memungkiri Kesultanan Langkat mendukung Belanda. Saking dekatnya, menurut dia, setiap ada pesta dansa, Sultan Mahmud selalu mengundang tamu-tamu kolonial. "Kami yang masih kecil sering melihat, tapi tidak boleh ikut," kata Saridjat di Medan pada akhir Juli lalu. Saridjat baru berusia 14 tahun ketika itu. Menurut dia, kedekatan keluarga Sultan Langkat dengan Belanda juga terjadi karena keduanya punya kontrak pengeboran minyak bumi di Telaga Said, dekat Pangkalan Brandan, yang digarap Royal Dutch Shell. Dari kontrak itu, Reid menulis dalam Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra, Sultan Mahmud memperoleh pendapatan pribadi hingga 472.094 gulden, jauh di atas pendapatan Sultan Deli-Serdang, yang terkenal kaya. Pada 1933, kekayaan Sultan Mahmud mencakup 13 mobil, satu sekoci pesiar yang tidak terpakai, dan kuda-kuda pacu. Ketimpangan antara kalangan kesultanan dan rakyat jelata itu makin meruncingkan sentimen anti-kesultanan, terutama sepanjang 1942, menjelang pendaratan Jepang di Sumatera Timur. Salah satu tokoh pemuda di Langkat, Jacob Siregar, mengaku berkunjung ke Penang, Malaysia, untuk menemui Fujiwara Kikan, organisasi intelijen Jepang di bawah pimpinan Mayor Fujiwara Iwaichi. Jacob hendak mencari dukungan Jepang untuk menghancurkan Kesultanan. Pada saat bersamaan, Belanda meminta Sultan Langkat dan keluarganya menghalau Jepang. Kempetai, polisi militer Jepang, menangkap Treffers dan mengeksekusinya pada 12 Maret 1942. Para intelijen anggota SS juga ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Datuk Hafiz dan sejumlah pemimpin Siap Sedia baru keluar dari bui setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945. Keluar dari penjara, Datuk Hafiz menghubungi Amir Hamzah dan anggota dinas rahasia Belanda untuk menghidupkan kembali SS dengan nama Pasukan Ke-5. Sebetulnya pasukan ini merupakan respons Hafiz terhadap makin kuatnya Pemuda Sosialis Indonesia di bawah pimpinan Sihite. "Saya khawatir Pesindo menjadi kekuasaan terkokoh di daerah ini," tulis Hafiz. Revolusi sosial keburu meledak di Sumatera Timur pada Maret 1946. Kombatan SS kembali terberai. Pada 1947, Datuk Hafiz bergabung dalam komite yang mendirikan Negara Sumatera Timur, negara bagian Republik Indonesia Serikat boneka Sekutu-Belanda. Amir, sementara itu, sudah wafat setahun sebelumnya dieksekusi anggota Pesindo. Dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi Paradoks Amir Hamzah 14 Agustus 2017

No comments :