DI depan Sultan Langkat Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, Tengku Amir Hamzah terpaksa menandatangani surat perintah penangkapan Achmad Chiari. Sahabat Amir itu hendak diringkus karena tergabung dalam barisan pemuda di Langkat, Sumatera Utara. Bukan cuma Achmad, sejumlah nama tertera dalam surat itu. Sepenggal kisah itu tertuang dalam buku Nh. Dini, Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang. Ia memperoleh cerita itu dari Tengku Tahura, putri Amir, 37 tahun silam. "Tahura memaparkan hal tersebut, lalu saya tulis di buku ini," kata Dini, memperlihatkan buku yang ditulisnya saat datang ke kantor Tempo, akhir Juli lalu. Tahura mendapat cerita itu dari ibunya, Tengku Kamaliah. Setelah Indonesia merdeka, Amir adalah penguasa Binjai. Jabatannya Asisten Residen Langkat. "Binjai adalah daerah kuasa ayahmu," kata Kamaliah kepada Tahura. "Jadi dialah yang harus menunjukkan kewenangannya." Karena itu, Sultan Mahmud meminta Amir yang menandatangani surat penangkapan karena sultan tidak memiliki wewenang. Amir juga masih terikat hukum adat. Ia sudah bersumpah setia kepada Sultan Langkat saat diangkat menjadi abdi kesultanan. "Sumpahnya untuk setia kepada paman dan sultan masih berlaku dan berdengung dalam hatinya," ujar Kamaliah. Meski menandatangani surat penangkapan, Amir justru membocorkan informasi tersebut agar mereka melarikan diri sebelum surat perintah dijalankan. Sikap Amir terkesan mendua. Dalam buku Amir Hamzah: Sebagai Manusia dan Penyair, Abrar Yusra mengatakan Amir keliru tidak membela para aktivis pejuang Republik. Dia justru memerintahkan penangkapan meski tidak sesuai dengan kata hatinya. Karena itu, "Para pejuang Republik memandangnya sebagai tokoh feodal yang berbahaya," kata Abrar. Sikap mendua Amir tidak lepas dari kondisi sosial politik di Sumatera Timur, khususnya Langkat. Sejarawan Universitas Sumatera Utara, Suprayitno, mengatakan, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, organisasi pemuda dan laskar pejuang mendesak Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan menekan kesultanan untuk menyatakan diri bergabung dengan Indonesia. Salah satu organisasi pemuda yang menekan Kesultanan Langkat adalah Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Organisasi ini belakangan bersalin nama menjadi sayap politik Partai Komunis Indonesia. Ketua Pesindo Cabang Langkat adalah Usman Parinduri. Selain Pesindo, kelompok laskar pejuang membangun front pergerakan yang sama dengan Pesindo. Di antaranya Laskar Hizbullah, Gagak Hitam, dan Barisan Harimau Liar. Mereka juga membuka cabang di Langkat. Tapi pengaruhnya tidak sekuat Pesindo. "Pesindo yang sangat berpengaruh di sana," kata Suprayitno, pertengahan Juli lalu. Suprayitno mengatakan Pesindo dan barisan pemuda menuding kesultanan sebagai pemerintahan feodal. Mereka juga menuding kesultanan sebagai kaki tangan Belanda. "Kelompok-kelompok yang radikal ini ingin menghancurkan kesultanan," ujarnya. Salah satu penyebabnya, menurut Suprayitno, kesultanan tetap menjalin hubungan dengan Belanda, yang berencana bercokol lagi di Langkat setelah Jepang bertekuk lutut pada Perang Dunia II. Banyaknya laskar pejuang yang tak terkendali menyebabkan kesultanan tidak percaya pemerintah Indonesia mampu menjamin keamanan. Satu bulan setelah Amir menjadi Asisten Residen Langkat-tepatnya pada 30 November 1945-Pesindo mengultimatum Sultan Langkat agar mengakui Republik Indonesia dan memutus hubungan dengan Belanda. Jauh sebelum itu, organisasi pemuda dan laskar sudah menuding Sultan Langkat sebagai antek Belanda. Isu itu kian bertiup kencang ketika tentara Sekutu hendak kembali ke Tanah Air setelah Jepang kalah. Dalam bukunya, The Blood of the People, Anthony Reid menyebutkan, tudingan itu muncul karena Sultan Langkat menjadi ketua Comite Van Ontvangst (CVO) atau panitia penyambutan tentara Sekutu. Panitia ini sesungguhnya terbentuk berdasarkan hasil rapat di rumah Tengku Mansur, yang dihadiri perwakilan kesultanan, organisasi pemuda, dan laskar. Sebagai Ketua Shu Sangi Kai, Mansur bertindak sebagai sahibulbait. Selain Sultan Langkat, Xarim M.S. dan Mohammad Joesoef hadir di sana. Xarim adalah tokoh barisan pemuda, sedangkan Joesoef merupakan anggota Partai Indonesia (Partindo). Reid mengatakan tudingan miring terhadap Sultan Langkat muncul karena ia dicurigai hendak menyambut kembali kedatangan Belanda dan menangkap pemimpin pergerakan. Reid ragu terhadap tudingan itu. Para sultan, kata Reid, tetap berkomunikasi dengan perwakilan Inggris dan Belanda atas inisiatif sendiri. Amir Hamzah, yang menjadi wakil pemerintah di Langkat, tidak dapat dipisahkan dari sikap Sultan Langkat. Barisan pemuda tetap mencurigai Amir. Selain karena sikap Sultan Langkat, kedekatan Amir dengan Belanda berembus ketika ia menerima Kapten Brondgeest, pemimpin tentara Sekutu berkebangsaan Belanda, di kantornya pada akhir 1945. Amir pernah menceritakan pertemuan itu kepada Saidi Husny, anak buah Amir di Keresidenan Langkat. Amir mengatakan Brondgeest hendak meminta izin agar tentara Sekutu bisa bercokol di Langkat demi menjaga keamanan daerah tersebut. "Saya jawab bahwa ini adalah hak pemerintah pusat, yaitu Gubernur Hasan," kata Amir kepada Saidi, seperti tertulis dalam buku Pahlawan Nasional Amir Hamzah yang ditulis Sagimun M.D. Namun, kata Saidi, isu yang menggelinding di masyarakat Langkat berbeda. Amir dituduh sudah bersepakat dengan Belanda. "Amir Hamzah sebagai wakil pemerintah RI menerima segala tamu, baik bangsa asing maupun siapa saja, untuk kepentingan pemerintah di daerah Langkat," ujarnya. Untuk meredakan ketegangan, Amir pernah berpidato di tengah masyarakat, tepatnya di daerah Kebun Lada, beberapa hari sebelum revolusi sosial meletus. Zainuddin Hamid Rokyoto dalam bukunya, Penemuan Pusara Pudjangga Amir Hamzah, mengutip isi pidato Amir tersebut. "Tuhan menjadikan manusia ini tidak semua sama. Kalaulah semua orang mau disamakan di dunia ini, berlawananlah dengan kodrat Tuhan." Pidato inilah yang diduga kian membakar amarah kelompok anti-kesultanan terhadap Amir. Ketegangan antara kelompok pro dan anti-kesultanan itu memupus semangat Amir memimpin Langkat. Dalam buku yang ditulisnya, Anthony Reid mengatakan Amir diam-diam mengundurkan diri dari jabatan Asisten Residen Langkat. Atas persetujuan Komite Nasional Indonesia Langkat, Adnan Nur Lubis, politikus Partai Nasional Indonesia dan mantan aktivis Partai Gerindo, mengambil alih fungsi pemerintahan Langkat. Tapi pengunduran diri itu tak membuat Amir lolos dari revolusi berdarah pada Maret 1946. Dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi Paradoks Amir Hamzah 14 Agustus 2017
No comments :
Post a Comment