Terjepit di Antara Dua Gelombang

Sampai Nyawa Menjadi Taruhannya Para pemuda sosialis menuduh Amir pro-Belanda seperti keluarganya. Ia dibunuh karena dianggap tak tegas mendukung kemerdekaan Indonesia. Biarlah daku tinggal di sini Sentosa diriku di sunji sepi Tiada berharap tiada berminta Djauh dunia di sisi dewa DITULIS dalam huruf-sambung berkelir emas, bait pamungkas sajak "Naik-Naik" itu terpatri di nisan makam Tengku Amir Hamzah, pencipta sajak tersebut, di pelataran Masjid Azizi Tanjung Pura, Sumatera Utara. Di kanan-kiri pusara sastrawan berjulukan Raja Penyair Pujangga Baru itu terukir nukilan-nukilan dari beberapa puisinya yang lain. Pusara dari pualam putih itu tak terlampau istimewa. Makam Amir Hamzah nyempil di antara sekitar 100 makam lain. Status Amir sebagai menantu Sultan Langkat Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah tidak lantas menjadikan kuburannya berbeda dengan orang kebanyakan. "Amir Hamzah pernah berpesan, jika meninggal, ia ingin dimakamkan di luar kompleks kesultanan," kata Ameliah Hariana, cucu Amir Hamzah, pada Juli lalu. Jasad Amir dipindahkan ke Masjid Azizi di kompleks permakaman keluarga Sultan Langkat pada November 1949. Ia wafat dalam revolusi sosial yang mengoyak Sumatera Timur pada 20 Maret 1946 di Kwala Begumit. Selama tiga setengah tahun jasadnya terkubur di kebun pisang, satu lubang dengan delapan korban revolusi lainnya. Kwala Begumit terletak 20 kilometer ke arah selatan dari Tanjung Pura menuju Medan. Kuburan Amir berada sekitar 100 meter dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Binjai. Ketika Tempo ke sana pada Kamis tiga pekan lalu, kebun pisang separuh lapangan sepak bola itu hanya tanah berisi tanaman liar dikelilingi perdu. Tidak ada patok atau apa pun yang menandai lokasi itu sebagai tempat eksekusi 26 tahanan pemuda sosialis Langkat. "Dulu ada semacam lubang seperti sumur yang tertutup tanah," ujar Abdul Kayum, penduduk setempat. Di lubang yang ditunjuk Abdul kini berdiri sepuluh pohon pisang setinggi dua meter. Abdul mengetahui tanah itu bekas kuburan Amir Hamzah karena beberapa kali ada acara napak tilas. Napak tilas terakhir digelar untuk mengenang satu abad Amir Hamzah, pada 2011. Di lubang itulah Amir dieksekusi, oleh Ijang Widjaja, guru silat Kesultanan Langkat, pengurus kebun yang amat disayangi Amir. Ijang menghabisi Amir dengan memenggal leher majikannya memakai katana. "Disembelih seperti ayam," kata Tengku Nurzeihan, adik ipar Amir Hamzah, yang menyaksikan eksekusi itu, kepada Tempo pada 2006. *** MASIH lekat dalam ingatan Trisutji Djuliati Kamal peristiwa gaduh pada 5 Maret 71 tahun silam. Saat itu pukul setengah tujuh pagi. Trisutji, putri dokter keluarga Kesultanan Langkat, Djulham Surjowidjojo, tengah berjalan kaki menuju Istana Binjai bersama ibunya, Nedima Kusmarkiay. Setiba di halaman istana yang menjadi tempat tinggal Sultan Mahmud dan keluarganya tersebut, Trisutji, yang saat itu berusia sepuluh tahun, dan ibunya melongo. "Kami melihat Istana sudah diserang oleh pemuda-pemuda yang membawa bambu runcing," katanya pada Rabu dua pekan lalu. Melihat keributan itu, ibunya bergegas menyeret Trisutji kembali ke rumah mereka, yang berjarak tak sampai dua kilometer dari Istana Binjai. Belakangan, Trisutji tahu bahwa kericuhan di Istana Binjai dikenal dalam sejarah sebagai revolusi sosial Langkat. Lahir di Jakarta, Trisutji tumbuh di lingkungan Kesultanan Langkat di Binjai sejak berusia dua tahun. Saban pagi, ia dan ibunya diminta datang ke Istana untuk sarapan bersama Sultan Mahmud dan keluarganya. Trisutji masih ingat sempat berkenalan dengan Amir Hamzah, yang tinggal di kompleks Istana. Di rumah itu pula Amir dijemput para pemuda yang tergabung dalam banyak organisasi. Mereka marah karena menganggap keluarga Sultan pro-Belanda dan tak mengakui Republik yang belum genap berusia satu tahun. Mereka mengabaikan apa yang sudah dilakukan Amir sebagai peletak dasar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Nusantara. Ketika itu bahkan Amir menjadi wakil Indonesia sebagai Asisten Residen Langkat-setingkat bupati-di Binjai. Amir berusia 35 tahun ketika dijemput dari rumahnya. Ia ditahan berpindah-pindah tempat selama dua pekan bersama 37 tawanan lain yang dianggap sebagai antek kesultanan. Di Sumatera Timur, ada tiga kesultanan yang menjalin kerja sama dengan Belanda dalam produksi minyak dan hasil bumi. "Semua yang dianggap pro-Belanda dihabisi," kata Suprayitno, sejarawan Universitas Sumatera Utara. Menurut Saleh Umar, pentolan Barisan Harimau Liar, yang menjadi salah satu organisasi dalam revolusi itu, kesalahan Amir adalah punya dua kantor yang bertentangan. Gelar Amir di kesultanan adalah Pangeran Langkat Hulu, sementara pekerjaannya sebagai asisten residen berada dalam struktur pemerintahan Indonesia. "Amir dianggap pengkhianat," ujar Saleh kepada sejarawan Muhammad Said, yang ditulis dalam What was the "Social Revolution of 1946" in East Sumatra?, yang terbit pada 1972. Selain Barisan Harimau Liar, kelompok pemuda yang menjadi motor revolusi adalah Gagak Hitam, Pasukan Marsose, dan Laskar Hizbullah. Organisasi-organisasi itu berhimpun dalam Persatuan Perjuangan atau Volksfront. Di Langkat, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), yang dipimpin Usman Parinduri, berandil besar dalam peristiwa berdarah itu. "Umumnya mereka pemuda beraliran kiri," kata Suprayitno. Gerakan anti-kesultanan di Sumatera Timur dimulai pada 1942. Motifnya, menurut sejarawan Anthony Reid dari Australian National University, adalah merebut lahan-lahan perkebunan yang dikelola para sultan. Selain tokoh organisasi, tokoh lokal dari Karo-Batak menjadi motor kerusuhan itu. Isu yang dikembangkan tokoh komunis seperti Xarim M.S. dan Laut Siregar saat itu adalah Sultan memimpin wilayah-wilayahnya secara feodal dan menjadi antek Belanda. Mereka berusaha memupus ingatan publik akan janji para sultan yang bakal bergabung dengan Republik dalam pertemuan dengan Gubernur Sumatera Tengku Muhammad Hasan pada 3 Februari 1946. Sebagai orang pergerakan sejak bersekolah di Algemene Middelbare School Solo, Jawa Tengah, Amir sudah mencium gelagat gawat begitu demonstrasi menentang kesultanan mulai merebak. Tengku Lah Husny, yang pernah merantau bersama Amir ke Batavia, menulis dalam Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah bahwa Amir sudah mengingatkan mertuanya, Sultan Mahmud, agar mengungsi. Kakak Lah Husny, Saidi Husny, yang menjadi polisi di Binjai dan berkawan dengan Amir sejak kecil, bahkan meminta sahabatnya itu segera hengkang dari rumahnya jauh sebelum demonstrasi membesar. "Amir menolak karena yakin rakyatnya tak akan menyakiti dia," kata Tengku Azwar Aziz, pemangku Kerapatan Adat Kesultanan Langkat, Juli lalu. *** CAP pengkhianat kepada Amir dan saudara-saudaranya tak hanya karena ia bagian dari keluarga Sultan. Dalam dokumen Geschiedenis van de Geheime Organisatie atau Riwajat Serikat Rahasia yang ditulis Datuk Hafiz Haberham, nama Amir Hamzah tertera sebagai anggota Treffers Organization, dinas rahasia Belanda yang berpusat di Kolombo, Sri Lanka. Organisasi itu dibentuk Belanda untuk mencegah invasi Jepang pada 1942. Hafiz adalah kepala organisasi itu. Dokumen yang dibuat Hafiz pada 1947 itu kini tersimpan di Arsip Nasional, Jakarta. Dalam laporannya, Hafiz menceritakan dengan detail apa saja yang harus dilakukan para agen-umumnya anggota keluarga Sultan di Sumatera Timur. Ia, misalnya, membangun benteng tombak di sepanjang pesisir Langkat-Asahan sepanjang lebih dari 250 kilometer. Oleh Hafiz, organisasinya diberi nama lokal Siap Sedia atau SS. "Tapi keterlibatan Amir dalam organisasi itu tidak pernah ada catatan resminya," kata Tengku Mira Rozanna Sinar, tokoh budaya Melayu. Misteri soal pemicu Amir dibunuh masih simpang-siur. Selain alasan antek Belanda dan anggota intelijen, para sejarawan belum bisa memastikan mengapa para pemuda di Langkat juga mengeksekusi Amir, yang terkenal sebagai seorang nasionalis dan pro-Republik sejak belia. Dalam tabloid mingguan Bintang edisi 29 Maret-4 April 1995, muncul sebuah artikel berjudul "Tengku Amir Hamzah Dicap Penghianat". Dalam tulisan itu, pihak yang menyebut diri "Para pejuang kemerdekaan RI di Kabupaten Langkat dan Kodya Binjai" menggugat gelar pahlawan nasional yang diberikan pemerintah Indonesia untuk Amir Hamzah pada 1975. Lewat surat pernyataan setebal 13 lembar, para penggugat itu menguraikan musabab pecahnya revolusi sosial di Sumatera Timur. "Revolusi terjadi akibat penolakan para Raja dan Sultan terhadap ajakan Gubernur Sumatera mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI, terkecuali Sultan Siak Sri Indrapura," begitu sebagian pernyataan mereka dalam kliping Perpustakaan Tengku Luckman Sinar di Medan. Soal para penggugat menyinggung keanggotaan Amir Hamzah dalam Comite van Ontvangst Netherland India Comite Administration Oranje Boven Langkat van Binjai juga disinggung dalam artikel itu. Ini regu panitia penyambutan kembalinya Belanda ke Langkat setelah Jepang hengkang. Para penggugat tak menyinggung soal organisasi rahasia Siap Sedia. Mereka juga menolak kabar bahwa para sultan itu sepakat dengan ajakan Gubernur Sumatera. Menurut Mira Rozanna Sinar, silsilah Amir Hamzah sebagai menantu Sultan Mahmud sekaligus keponakannya itu menjadi faktor utama ia dihabisi. Jabatannya sebagai asisten residen yang mewakili Republik tak dianggap oleh para pemuda sosialis. "Kaum merah menuduh dia tak membantu perjuangan rakyat," ujar tokoh budaya Melayu yang juga Kepala Perpustakaan Tengku Luckman Sinar itu. Tengku Saridjat, 81 tahun, sepupu Amir Hamzah yang mengalami revolusi itu, mengatakan situasi pada hari-hari kerusuhan memang tak terkendali. Banyak hasutan di sana-sini, membikin merah kuping sesama kaum pribumi. Orang Langkat yang tahu sepak terjang Sultan juga ikut berdemo. "Sepertinya mereka dihasut bahwa Sultan masih mendukung Belanda meski Indonesia sudah merdeka," katanya. "Wajar saja karena Sultan punya kontrak minyak dengan Belanda." Tengku Azwar Aziz, yang meneruskan trah Kesultanan Langkat kini, yakin Amir Hamzah tak pernah membelot dari Republik. "Amir Hamzah itu seratus persen republikan," katanya. Penulis Nurhayati Sri Hardini alias Nh. Dini, yang melacak kisah hidup Raja Penyair Pujangga Baru itu, juga menemukan fakta dan kesaksian bahwa Amir tak seperti yang dituduhkan para demonstran. Amir, menurut pengarang Pada Sebuah Kapal itu, mendukung Republik Indonesia sepenuhnya. "Hanya nasibnya malang, berada di tempat yang salah," katanya. Dalam puisi "Naik-Naik" yang diterbitkan majalah Poedjangga Baroe pada 1935, Amir seperti telah meramalkan nasibnya. Ia tetap di Langkat, menolak mengungsi, dan memilih menghadapi para eksekutor yang menuduhnya berkhianat. Dalam stanza sebelum bait terakhir puisi itu, Amir menulis: bertiup badai merentak topan larikan daku hembuskan badan hembuskan daku ke puncak tinggi ranggikan daku ke lengkung pelangi.... Dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi Paradoks Amir Hamzah 14 Agustus 2017

No comments :