Malam Sunyi

Inilah awal dari sebuah cerita. Di suatu masa, ketika Kekhalifahan Utsmaniyah (Kesultanan Ottoman) berkuasa atas Tanah Palestina, kisah ini dimulai. Ottoman menguasai Palestina selama 400 tahun, 1517-1917. Ottoman membagi wilayah Palestina menjadi dua: bagian utara, yakni Distrik Acra dan Nablus, menjadi bagian dari Provinsi Beirut.
Sementara bagian selatan, yakni Distrik Jerusalem (yang di dalamnya termasuk Bethlehem), langsung di bawah kekuasaan Istanbul karena arti pentingnya secara internasional kota Jerusalem serta Bethlehem. Kedua kota menjadi pusat keagamaan bagi umat Yahudi, Kristen, dan Muslim.
Menurut catatan Ottoman, pada 1878, ada 462.465 penduduk yang mendiami Distrik Jerusalem, Nablus (yang sebelumnya bernama Sichem, tempat Allah menampakkan diri kepada Abraham/Ibrahim, Bapak Umat beriman, patriark tiga agama monoteis), dan Acra. Dari jumlah tersebut, 403.795 Muslim (termasuk Druze), 43.659 Kristen, dan 15.011 Yahudi. Selain mereka, sebenarnya masih ada sekitar 10.000 orang Yahudi berkewarganegaraan asing (imigran) dan beberapa ribu Bedouin Muslim yang hidup nomaden. Mereka tidak dihitung oleh Pemerintah Ottoman; tidak menjadi subyek hukum.
Pada awal abad ke-20, ketika Kesultanan Ottoman mulai melemah, kekuasaan Eropa memperkuat kuku kekuasaannya di kawasan Timur Tengah, termasuk Palestina. Ketika PD I berkobar (1915-1916), Komisioner Tinggi Inggris di Mesir Sir Henry McMahon secara diam-diam berhubungan dengan pemimpin keluarga Hashemit dan Gubernur Ottoman untuk Mekkah serta Madinah, Husayn ibn ‘Ali.
Kepada Husayn ibn ‘Ali, McMahon berjanji jika mendukung Inggris melawan Ottoman dan Jerman, Pemerintah Inggris akan mendukung pembentukan negara Arab merdeka di bawah kekuasaan keluarga Hashemit di wilayah Arab, termasuk Palestina, yang sebelumnya adalah Provinsi Ottoman (Lawrence of Arabia). Namun, di masa yang berdekatan, pada 1917, Menlu Inggris Lord Arthur Balfour mengeluarkan deklarasi yang kemudian disebut Deklarasi Balfour. Deklarasi ini menyatakan, Pemerintah Inggris mendukung pembentukan a Jewish national home in Palestine.
***
Selain dua janji itu, ada janji ketiga yang disepakati antara Inggris dan Perancis lewat Perjanjian Sykes-Picot (Mei 1916), yang ditandatangani oleh Sir Mark Sykes dan Francois Georges Picot. Mereka bersepakat untuk membagi Provinsi Arab Ottoman menjadi dua. Setelah PD I selesai (Ottoman kalah), Perancis atas persetujuan Liga Bangsa-Bangsa mendapatkan mandat atas wilayah Suriah dan wilayah Lebanon sekarang ini serta Cicilia Turki atau sering disebut Galilea Raya. Inggris mendapatkan mandat atas Irak, termasuk wilayah yang sekarang disebut Israel, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jordania.
Inggris lalu membagi wilayah mandatnya menjadi dua: sebelah timur Sungai Jordan menjadi Emirat Transjordan diperintah oleh Abdullah I bin al-Hussein, anaknya Husyn ibn ‘Ali. Sebelah barat Sungai Jordan, menjadi yang kemudian disebut Mandat Palestina. Inilah kali pertama, dalam sejarah modern, Palestina menjadi entitas politik bersatu.
Setelah Inggris berkuasa atas Palestina, mengalirlah imigran Yahudi ke Palestina (sesuai janji Deklarasi Balfour). Konflik antara Yahudi dan Arab, penduduk Palestina, sejak itu, mulai terjadi karena urusan tanah (1920 dan 1921), lalu menjadi konflik komunal di Jerusalem (1928). Pergolakan terus terjadi, imigran Yahudi terus mengalir, dan puncaknya pecah perang kemerdekaan (bagi Yahudi) atau Nakba (bencana) bagi Arab-Palestina.
***
Menjelang berakhirnya Mandat Palestina (29 September 1923 hingga tengah malam 14 Mei 1948), pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB menerbitkan Resolusi Nomor 181/1947. Resolusi ini membagi Palestina menjadi dua negara: Yahudi (56 persen) dan Palestina (43 persen) dengan menjadikan Jerusalem dan Bethlehem sebagai corpus separatum(bagian tersendiri), zona internasional. Pihak Zionis Yahudi menerima resolusi itu; sebaliknya Arab Palestina dan negara-negara sekitar menolak. Mereka menganggap suara PBB mengkhianati kehendak internasional dan memberikan tempat hanya kepada orang Yahudi.
Sejak saat itu, perang terus berkecamuk. Ribuan orang Palestina dipaksa keluar dan meninggalkan kampung halaman mereka. Pada Desember 1947-1949, hampir 800.000 orang Palestina-belasan ribu di antaranya Kristen Palestina-mengungsi. Misalnya, pada 1948, ada 71.000 orang Palestina di Jaffa-sekitar 16.000 orang di antaranya Kristen Palestina-terpaksa menjadi pengungsi.
Lahirnya Israel (1949) juga menjadi Nabka bagi orang-orang Kristen Palestina. Banyak di antara mereka tak bisa lagi merayakan Natal di kampung halaman. Kamis, 25 Desember 1947, misalnya, menjadi perayaan Natal terakhir bagi komunitas Kristen Palestina yang tinggal di En Karem, Beisan, Al-Bassa, Suhmata, Safad, a l-Birwa, Safad, Mansoura, dan Ma’lul (Xavier Abu Eid: Desember 2016). Sejak saat itu, setiap kali Natal tiba, mereka dan keturunannya hanya bisa mengenang kampung halaman; kampung yang lebih dari 2.000 tahun silam bisa jadi pernah dikunjungi oleh Yesus Isa Almasih yang setiap tanggal 25 Desember diperingati tanggal kelahiran-Nya.
Hari raya Natal, yang semestinya menjadi hari kebahagiaan, hari cinta, hari persaudaraan, hari persatuan, hari keadilan, hari kebaikan hati, dan hari perdamaian, seperti hilang dari Tanah Palestina (dan juga di banyak tempat lain). Di mana-mana, kuasa kebencian, kekuatan ketidakadilan, semangat permusuhan, semangat pemecah-belahan, dan juga kuasa ketidakpedulian terhadap sesama semakin menguat.
Bukankah semangat persaudaraan, toleransi, kedamaian, saling menghormati, saling peduli, saling tenggang rasa, dan kebaik-hatian telah berbilang tahun, bahkan abad ditunjukkan oleh bersandingnya Gereja Kelahiran dan Masjid Umar ibn al-Khattab di Bethlehem (atau antara Gereja Makam Kristus dan Masjid Umar ibn al-Khattab di Jerusalem). Apakah semua itu akan runtuh karena hilangnya rasa cinta, rasa saling mengasihi, rasa kepedulian, toleransi, semangat saling menghormati sesama anak-anak Abraham? Padahal, bukankah Natal sebenarnya adalah kesunyian yang memancarkan cinta kepada sesama?
Dikutip dari Kompas edisi 24 Desember 2017

No comments :