Meneropong APBN 2019

Rapat paripurna DPR 31 Oktober 2018 menyetujui Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 disahkan menjadi Undang-Undang APBN 2019.
APBN 2019 memiliki nilai dan peran strategis karena merupakan APBN terakhir di pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, sekaligus APBN transisi yang akan menjembatani dengan pemerintahan pasca-pilpres 17 April 2019. Alih-alih menganalisis APBN 2019 secara parsial-jangka pendek, kita membutuhkan pengamatan dalam bentangan yang lebih luas agar kesinambungan pembangunan ekonomi dapat terjaga.
APBN lebih sehat, adil, dan mandiri
Postur APBN 2019 secara alamiah meningkat sekitar 30 persen dibandingkan posisi 2014, baik pendapatan negara yang naik dari posisi Rp 1.667 triliun (2014) menjadi Rp 2.165 triliun (2019) maupun belanja negara dari Rp 1.842 triliun (2014) menjadi Rp 2.461 triliun (2019). Pemerintah mengklaim APBN 2019 berciri ”sehat, adil, dan mandiri”.
Sehat lantaran target rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin turun, yakni 1,84 persen (target 2019), dari 2,33 persen (2013), 2,25 persen (2014), 2,59 persen (2015), 2,49 persen (2016), 2,51 persen (2017), dan 2,12 persen (outlook 2018). Rasio keseimbangan primer terhadap PDB pun konsisten menurun mendekati nol, yakni 0,12 persen atau Rp 20,1 triliun, dari sebelumnya 1,23 persen (2015), 1,01 persen (2016), 0,92 persen (2017), dan 0,44 persen (outlook 2018).
APBN 2019 juga adil karena menekankan efisiensi dan relokasi dengan berfokus pada pembangunan manusia. Pascamenggenjot pembangunan infrastruktur yang menjadi prasyarat dasar bagi produktivitas dan daya saing perekonomian yang tertinggal, pemerintah menggeser fokus ke sumber daya manusia (SDM) yang akan menjadi prasyarat penting bagi investasi di era Industri 4.0. Inilah ABPN yang berparas humanis karena secara eksplisit menyatakan pentingnya kualitas manusia dan mengalokasikan insentif khusus untuk sektor ini.
Rinciannya, anggaran pendidikan tahun 2019 sebesar Rp 492,5 triliun atau naik 40 persen dibandingkan anggaran tahun 2015 sebesar Rp 390 triliun, dengan fokus percepatan pembangunan sarana dan prasarana, perluasan program beasiswa, alokasi dana abadi penelitian, dan penguatan pendidikan vokasi. Khusus untuk pendidikan vokasi, APBN 2019 mengalokasikan belanja Rp 17,2 triliun atau 2,5 kali dari anggaran tahun 2015 sebesar Rp 6,8 triliun, dan alokasi insentif pajak (tax expenditure) untuk penelitian dan pengembangan oleh dunia usaha dan dunia industri sebesar Rp 18 triliun.
Di sektor kesehatan, APBN 2019 mengalokasikan anggaran Rp 123,1 triliun atau naik dua kali lipat dibandingkan alokasi 2015 sebesar Rp 69,3 triliun, dengan berfokus pada perluasan penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi 96,8 juta jiwa, perbaikan pelayanan, percepatan penanganan stunting, dan optimalisasi bauran kebijakan bagi program JKN. Untuk memberikan perlindungan sosial dan peningkatan kesejahteraan bagi 40 persen penduduk berpenghasilan terendah, APBN 2019 memperkuat Program Keluarga Harapan (PKH) dengan sasaran 3,5 juta keluarga (2015) menjadi 10 juta keluarga (2019), peningkatan jumlah sasaran penerima kredit ultramikro dari 0,3 juta orang (2017) menjadi 1,4 juta orang (2019), mahasiswa penerima Bidikmisi meningkat dari 269.000 orang 2015) menjadi 471.000 orang (2019).
Alokasi transfer ke daerah dan dana desa meningkat tajam dari Rp 623,1 triliun (2015) jadi Rp 826,8 triliun (2019), dengan dana desa dari Rp 20,8 triliun (2015) jadi Rp 70 triliun (2019) ditambah alokasi Rp 3 triliun untuk dana kelurahan.
Ciri mandiri dalam APBN tecermin dalam dua hal, menurunnya pembiayaan utang dalam dua tahun terakhir dan peningkatan pendapatan negara. Jauh dari gegap gempita polemik di ruang publik, tahun 2019 pemerintah menargetkan utang sebesar Rp 359,3 triliun atau tumbuh negatif 7,3 persen dibandingkan outlook posisi utang 2018 sebesar Rp 387,4 triliun dan posisi 2017 sebesar Rp 429,1 triliun. Sebaliknya, pembiayaan investasi meningkat dari Rp 59,7 triliun (2015) jadi Rp 75,9 triliun (2019). Dengan kata lain, rasio utang terhadap PDB tetap terjaga. Hal ini juga ditopang kinerja penerimaan perpajakan yang semakin prima.
Meski sempat terseok-seok pada 2015- 2016 akibat target pajak yang cukup ambisius di tengah perlambatan ekonomi, dan mencapai titik nadir pada 2017, kini kita mengalami titik balik yang menggembirakan. Kontribusi penerimaan perpajakan terhadap APBN semakin signifikan, dari 74 persen pada 2014 menjadi 83,1 persen tahun 2019.
Untuk pertama kali dalam sejarah, pendapatan negara diproyeksikan menembus Rp 2.000 triliun, atau persisnya Rp 2.142,5 triliun. Pertumbuhan penerimaan perpajakan hingga 30 September 2018 sebesar 16,6 persen, jauh di atas rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan 2013- 2017 sebesar 6,5 persen. Titik balik ini merupakan buah positif amnesti pajak yang berhasil membangun kesadaran dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, di samping perekonomian yang terus tumbuh dan ditopang kenaikan harga komoditas. Membaiknya kinerja sektor perpajakan menjadi angin segar bagi kesinambungan pembiayaan pembangunan, termasuk dukungan sektor penerimaan negara bukan pajak yang semakin baik.
Tantangan dan arah
Perbaikan kinerja APBN menyembulkan optimisme bahwa tata kelola perekonomian Indonesia telah berjalan di rel yang tepat dan menuju arah yang benar. Meski demikian, beberapa hal perlu menjadi catatan kewaspadaan agar momentum ini tidak terlewatkan sia-sia.
Pertama, mewaspadai kinerja dan tren perekonomian global. Semakin terhubungnya perekonomian Indonesia dengan perekonomian global membawa konsekuensi pada semakin besarnya pengaruh eksternal. Alih-alih mengarahkan biang permasalahan kepada faktor luar, kita harus terus melakukan otokritik dan memperkuat kinerja perekonomian domestik dengan kebijakan yang tepat dan cepat, termasuk mendorong kinerja ekspor dan menjaga nilai tukar.
Kedua, kebutuhan akan visi besar perekonomian nasional. APBN adalah satu hal dan perekonomian nasional adalah hal lain. Meski tak dapat dipisahkan, keduanya dapat dibedakan. Cakupan perekonomian nasional lebih luas dan kompleks dibandingkan APBN, tetapi visi ekonomi politik pemerintah dalam APBN akan menentukan arah perekonomian nasional. Diperlukan perubahan paradigma seluruh elemen pemerintah pusat ataupun daerah dari sekadar regulator menjadi fasilitator dan akselerator. Orkestrasi—melalui tiga peran kunci harmonisasi, breakthrough (terobosan), dan debottlenecking (menghilangkan hembatan-hambatan)—akan amat menentukan.
Ketiga, penataan ulang format desentralisasi politik dan fiskal agar kompatibel dengan kebutuhan corak struktur yang lebih ramping dan gesit. Arsitektur fiskal yang masih tumpang tindih dan ruang fiskal yang sempit jelas tidak efektif dan tidak sehat sehingga membutuhkan penataan kewenangan dan kelembagaan yang baru, termasuk pengukuran outcome belanja APBN/APBD yang lebih baik.
Keempat, daya ungkit ekonomi membutuhkan investasi baru yang signifikan. Dalam waktu singkat, belanja pemerintah, daya beli masyarakat, dan kinerja ekspor memiliki keterbatasan untuk mendorong pertumbuhan. Maka, kita patut bertumpu pada investasi. Sayangnya, paket kebijakan dan insentif pajak yang sudah digelontorkan, termasuk membaiknya berbagai kemudahan bisnis, belum mampu menarik investasi dalam jumlah besar. Diperlukan koordinasi dan sinergi kelembagaan yang lebih baik, terutama kepastian hukum dan iklim politik yang kondusif, agar investor mendapat jaminan kemudahan hingga implementasi teknis di lapangan. Sektor hulu migas yang secara tradisional berkontribusi cukup besar tetapi belakangan seret perlu mendapat perhatian yang lebih baik. Sektor padat karya yang selama ini menyangga perekonomian nasional dan kini sekarat juga layak mendapat pertolongan.
Kelima, arah kebijakan perpajakan sudah tepat tetapi perlu akselerasi. Reformasi perpajakan yang sedang dilakukan merupakan satu tarikan napas dengan amnesti pajak dan kebijakan keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Penuntasan agenda reformasi menjadi keniscayaan, terutama fokus pada peningkatan kepastian hukum melalui harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan/ aturan perpajakan dengan iklim investasi usaha, penyederhanaan sistem administrasi dan tata cara perpajakan, khususnya pemeriksaan, restitusi, dan sengketa pajak, serta meningkatkan akuntabilitas dan profesionalitas lembaga pemungut pajak.
Di balik hiruk-pikuk politik nasional yang prima facie sangat dikotomis dan keruh, kita layak berharap bahwa arah kebijakan ekonomi Indonesia yang sedang berjalan pada arah yang benar ini terjaga kesinambungannya. Racikan antara penguatan infrastruktur, deregulasi, dan pembangunan manusia menjadi bekal awal yang baik. Seraya menikmati dinamika politik yang semakin mendominasi ruang publik, kita wajib memastikan kinerja ekonomi terus membaik tanpa harus terinterupsi oleh proses politik.
Dalam lintasan sejarah, ekonomi Indonesia telah terbukti memiliki daya tahan tinggi dalam menghadapi gelombang besar. Melampaui aneka capaian dan perdebatan statistika, konstitusi harus menjadi pemandu arah. Dalam impitan arus populisme dan sentimen nasionalisme kerdil yang deras menghantam, siapa pun yang kini bersolek dan mendaku layak menjadi pemimpin ditantang dan diuji untuk menjadi negarawan yang sanggup menggembalakan rasionalitas publik.
Yustinus Prastowo Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Jakarta
Dikutip dari Kompas edisi 6 November 2018

No comments :