Oleh ARIEL HERYANTO
Profesor
Emeritus dari Universitas Monash Australia
Kompas,
9 Oktober 2021
Yang layak
ditingkatkan tak hanya isi buku, jumlah produksi buku, dan kesejahteraan
penulisnya, tetapi juga seluruh ekosistem intelektual. Rendahnya minat baca
masyarakat tak semata-mata karena kurangnya bacaan bermutu.
Beberapa
buku berdampak besar, jauh melampaui masa hidup penulisnya dan batas
bangsa-negara asalnya. Di balik sukses itu ada penulis yang cerdas. Juga
penerbit, editor, pustakawan, dan toko buku yang berjasa besar. Tak hanya itu.
Yang
tak kalah penting adalah pembaca yang terdidik. Juga penerjemah dan para
pembahas buku berkualitas. Tak hanya sekali ulasan sebuah buku (fiksi dan
non-fiksi) lebih memukau saya daripada buku yang diulas. Saya bergegas membeli
buku yang diulas, dan rela menunda kesibukan lain demi membacanya tuntas.
Ulasan
semacam itu tak cuma berisi pujian. Ia mendalami berbagai hal yang kurang
menonjol di buku yang diulas, dan dikaitkan sejumlah peristiwa atau buku-buku lain.
Ia memperkaya pembacaan kita atas isi buku yang diulasnya.
Buku
dan ulasan cerdas tentangnya mencerahkan masyarakat. Juga meningkatkan mutu
perdebatan publik. Mereka mengangkat kualitas pendidikan, memperkaya bahasa,
memacu inovasi, menyegarkan industri penerbitan, toko buku, dan karier desainer
grafis.
Kampanye
baca-tulis membutuhkan mitra kerja dalam berbagai wilayah. Yang layak
ditingkatkan bukan hanya isi buku, tetapi juga jumlah produksi buku dan
kesejahteraan penulisnya. Namun, seluruh ekosistem intelektual. Rendahnya minat
baca masyarakat tidak semata-mata karena kurangnya bacaan bermutu.
Dari
kerja jurnalisme video Dandhy Dwi Laksono dan rekan-rekannya di Watchdoc, kita
bisa belajar. Karya mereka berkualitas tinggi. Yang lebih mengagumkan adalah
visi dan strategi kerja mereka, serta kemampuan membangun jaringan komunitas.
Hasilnya bukan sekadar rangkaian acara nonton bersama. Namun, sebuah gerakan
sosial mencerdaskan bangsa.
Kembali
ke soal buku, jasa penerjemah selama ini lebih sering diremehkan ketimbang
dipahami. Di awal abad ke-21 diperkirakan sekitar 70 persen buku yang terbit di
Indonesia berwujud terjemahan. Sayang, kualitas terjemahan yang bagus masih
langka. Ini bukan salah para penerjemah. Profesi penerjemah belum pernah
dihargai selayaknya. Ini berlaku di banyak negara, kecuali Jepang.
Seorang
sarjana Jepang mengabdikan kariernya untuk meneliti tentang Indonesia. Ia
bahkan menikahi orang Indonesia. Saya tanya mengapa ia tertarik meneliti
Indonesia. Jawabnya mengejutkan. Ia jatuh cinta pada Indonesia setelah membaca
novel Pramoedya Ananta Toer dalam terjemahan berbahasa Jepang.
Saya
tak paham bahasa Jepang. Novel yang dimaksud sudah beberapa kali saya baca
dalam versi aslinya. Bahasanya biasa saja walau lugas. Yang hebat isi pesannya,
selain ceritanya, tokoh-tokohnya, dan struktur pengisahannya. Saya duga bahasa
terjemahan Jepangnya lebih indah daripada bahasa aslinya.
Kita
tahu olok-olok Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada pemerintah kolonial
Belanda dalam tulisan ”Als ik eens Nederland was” (Andaikan Aku Orang Belanda).
Namun, tak banyak yang tahu, penulisnya baru ditahan setelah tulisan itu
diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Melayu. Menurut jaksa yang
mendakwanya, ia tak akan ditangkap seandainya tulisan itu tidak diterjemahkan.
Karya
akademik Ben Anderson yang banyak mengulas Indonesia telah berdampak mendunia.
Yang kurang diperhatikan dunia, juga di Indonesia, jasa besar almarhum
menerjemahkan berbagai karya orang Indonesia ke bahasa Inggris. Merosotnya
kajian tentang Indonesia di mancanegara bisa berdampak pada pemahaman dan
penghargaan dunia bagi negeri ini.
Para
dosen di Tanah Air sering mengeluh sulitnya memenuhi tuntutan menerbitkan buku
akademik dan artikel ilmiah di penerbit internasional yang berwibawa di dunia.
Terbitan itu biasanya harus berbahasa Inggris. Ada niat baik di balik tuntutan
itu. Namun, kebijakan itu ambisi yang muluk dan kurang adil bagi mayoritas
dosen kita. Bahkan di negeri berbahasa Inggris sendiri tak semua dosen berhasil
memenuhi tuntutan global itu dengan memuaskan.
Besarnya
beban mengajar, bimbingan mahasiswa, rapat, dan tugas administrasi sering
dituduh menghambat prestasi penelitian dosen kita. Akan tetapi, beban semacam
itu juga ditanggung rekan-rekan mereka di banyak negara lain yang lebih
produktif berkarya ilmiah. Bedanya, di banyak negara lain beban kerja dosen
diimbangi dukungan berlapis-lapis baik di dalam maupun di luar kampus.
Di
sejumlah negara lain yang saya kenal, buku, arsip, dan data yang dibutuhkan
peneliti tersedia berlimpah dan mudah dijangkau di perpustakaan. Di sana, toko
buku, siaran radio, koran dan tv, museum, teater, galeri, dan acara pameran
menjadi pendukung kerja peneliti.
Acara
seminar ilmiah berlimpah. Peneliti tamu terkemuka dari berbagai penjuru dunia
datang untuk berbagi pengetahuan. Semua itu memungkinkan terpeliharanya
konsentrasi peneliti selama bertahun-tahun tanpa banyak terusik upacara nasional
atau acara kelurahan.
Lebih
dari seabad terakhir dunia akademik masih saja didominasi beberapa negara. Di
sana tersedia peluang bagi para dosen menikmati cuti-panjang sabatikal dengan
gaji penuh. Selama cuti enam atau 12 bulan, mereka dibebaskan dari beban
mengajar, membimbing, rapat, atau tugas administrasi. Universitas biasanya juga
menyediakan dana tambahan agar dosen yang cuti berkunjung ke negara lain demi
keperluan penelitian.
Tak
adil jika dosen Indonesia dituntut bersaing dengan mereka. Bukan saja karena
terbatasnya fasilitas di Tanah Air sendiri. Bukan saja karena mereka dituntut
membaca dan menulis dalam bahasa asing. Tak jarang, kerja penelitian mereka
dibatasi arahan dari atasan. Apalagi jika ada sejumlah tabu, sensor, dan
gelombang ancaman pidana yang menghantui kemerdekaan membaca, meneliti, dan
menulis.
Di
Tanah Air banyak lomba membuat lagu, film, tulisan fiksi dan non-fiksi. Akan
tetapi, berapa banyak pelatihan berjangka-panjang dari Sabang hingga Merauke
yang menyiapkan lulusan dengan kualitas juara di berbagai lomba itu? Berapa
anggaran negara untuk pembinaan kerja budaya dan seni?
Dalam
pendidikan, buku hanyalah satu unsur terpenting. Pendidikan sendiri hanya
bagian dari pembangunan semesta bangsa-negara. Apa yang kita panen akan sepadan
dengan yang kita tanam dan rawat berjangka-panjang. Ini bukan hanya dalam
pertanian, melainkan juga peradaban bangsa.
Editor: MOHAMMAD HILMI FAIQ
No comments :
Post a Comment