Kegiatan rutin saya setiap pagi adalah membaca koran dan atau berenang. 7 Januari 2022 lalu saya membaca dua berita tentang ilmuwan dan lembaga ilmiah yang kita miliki di harian Kompas, ditulis oleh Sulistyowati Irianto (Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum, FHUI) dan Carunia Mulya Firdausy, dari Pusat Riset Ekonomi BRIN. Ternyata kondisinya membuat saya sedih.
Di bawah ini saya cantumkan tulisan mereka:
Dileburnya Lembaga Eijkman ke dalam BRIN dengan segala implikasinya adalah fenomena puncak yang mengonfirmasi terbitnya kebijakan antisains.
Para pengambil kebijakan tampaknya tidak memahami sains, dasar pijakan rasional dan kredibel yang menentukan arah perkembangan masyarakat dan peradaban.
Mandat ilmuwan adalah bertanggung jawab atas masa depan masyarakat melalui penelitian dan kerja ilmiah mereka. Memperlakukan lembaga ilmu pengetahuan sekadar sebagai unit administratif, bukan unit akademik, adalah kebijakan keliru dan dapat mengakibatkan kemunduran ilmu pengetahuan.
Pembenahan tata kelola memang sangat baik dilakukan, tetapi membubarkan dan meleburkan lembaga penelitian ke dalam struktur besar lembaga pemerintah tampaknya bukan jalan keluar.
Tindakan itu justru seperti mencabut ruh kebebasan akademik, mematikan budaya, habitus akademik, dan kesejarahan yang menghidupi para ilmuwan. Jika ilmuwan sudah dikooptasi birokrasi, bangsa kita akan tetap ketinggalan di bidang sains dan teknologi, medioker, dan hanya menjadi pasar berbagai produk sains dan teknologi bangsa lain.
Para pemimpin hari ini lupa bahwa para pendiri bangsa pada 1947 sudah menyerukan pentingnya peranan sains dan institusi ilmiah sebagai penghela kemajuan bangsa. Mereka menegaskan universitas harus memiliki otonomi, tidak menjadi jawatan di bawah pemerintahan, supaya bisa melaju cepat.
Lembaga penelitian seperti halnya universitas adalah rumah produksi ilmu pengetahuan, yang secara kodrati membutuhkan otonomi agar para ilmuwan bisa bekerja.
Dileburnya Lembaga Eijkman ke dalam BRIN dengan segala implikasinya adalah fenomena puncak yang mengonfirmasi terbitnya kebijakan antisains.
Menghidupi ilmu
Di tengah masyarakat yang umumnya tidak berbudaya membaca, literasi rendah, dan mengonsumsi informasi oral dan takhayul tanpa konfirmasi, tidak banyak orang mau menjadi peneliti.
Sebabnya, tak mudah melakoni hidup dengan mendedikasikan diri pada ilmu pengetahuan dan bersedia dibayar sangat murah karena rendahnya penghargaan pemerintah. Mereka adalah orang yang ”kasmaran” ilmu pengetahuan, memelihara ”legacy” para profesor pendahulunya, merawat kesejarahan dan budaya akademik tempat bernaung.
Siang malam membaca literatur, bekerja di laboratorium atau lapangan, menulis, berjuang sangat keras agar tulisannya terbit di jurnal bereputasi internasional. Mereka mencari kebenaran yang padahal terus berubah setiap saat karena kecepatan temuan baru yang dihasilkan masyarakat ilmiah. Mereka tidak mencari pangkat dan jabatan karena seharusnya pangkat dan jabatan datang dengan sendirinya sesuai prestasi kerja.
Sejarah ilmu pengetahuan seharusnya dipelihara sebagai prasasti peringatan untuk diteruskan generasi muda. Lembaga Eijkman adalah salah satu prasasti ilmu pengetahuan. Christian Eijkman (1858-1930) adalah peraih Nobel pertama bagi Indonesia tahun 1929, sekaligus terakhir!
Sebenarnya penelitian tentang penyakit beri-beri dan hubungannya dengan vitamin B1 dilakukan bersama Gerrit Grijns (1865-1944). Setelah anugerah Nobel itu, Indonesia menjadi sangat terkenal di dunia terkait vitamin B.
Sebelumnya Eijkman adalah direktur pertama Laboratorium Patologi Anatomi dan Bakteriologi di Batavia tahun 1886, cikal bakal Laboratorium Pusat Kedokteran, yang kemudian menjadi Lembaga Eijkman. Lembaga ini mengalami kemunduran di bawah pendudukan Jepang, dan ditutup tahun 1960, dan baru dihidupkan kembali oleh Menristek BJ Habibie tahun 1992.
Sesudahnya, Lembaga Eijkman sangat produktif dan tata kelolanya yang mandiri sampai dianggap sebagai rujukan ideal oleh banyak profesor universitas. Seharusnya universitas berstatus otonomi dikelola secara mandiri seperti Lembaga Eijkman itu.
Mestinya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sebagai lembaga penelitian besar juga memiliki filosofi, kesejarahan, dan budaya akademik yang khas, dan tidak bisa diseragamkan. Para peneliti generasi berikutnya berupaya keras mengembangkan keilmuan dengan kebanggaan di bawah panji-panji lembaganya.
Namun, tampaknya eksistensi lembaga penelitian itu harus berakhir. Kini mereka bekerja di bawah komando terpusat pemerintah, yang bernuansa politik. Para peneliti menjadi birokrat, yang capaian prestasi kerjanya akan lebih diukur secara administratif, bukan substansi ilmiah. Padahal, menjadikan lembaga ilmiah sebagai jawatan pemerintah sungguh bertentangan dengan khitah dan prinsip ilmu pengetahuan.
Lembaga ilmiah tidak bisa disamakan dengan lembaga apa pun, politik ataupun bisnis, karena fungsinya sangat khusus, yaitu memproduksi ilmu pengetahuan demi kepentingan umat manusia di muka Bumi.
Belenggu administratif
Dari sisi manajemen organisasi mungkin terdapat inefisiensi, inefektivitas karena terlalu banyak pegawai yang tidak produktif, atau kurang menghasilkan temuan yang spektakuler. Namun, apakah disadari bahwa keadaan itu juga karena kesalahan kebijakan yang kronis?
Pemerintah tidak pernah memandang lembaga penelitian sebagai lembaga otonom yang bebas mengatur dirinya sendiri. Intervensi administratif pemerintah terlalu besar, dalam bentuk penyeragaman birokrasi layaknya kementerian atau lembaga pemerintah.
Lihatlah,
misalnya, para peneliti LIPI bidang ilmu sosial. Mereka hanya boleh melakukan
penelitian lapangan lima hari. Data apa yang didapat peneliti ilmu sosial dalam
penelitian yang hit and run itu?
Dalam bidang sains, penelitian dibatasi apa yang boleh dan tidak boleh didanai. Padahal, satu temuan dalam sains akan menuntun kepada penelitian berikutnya yang tak akan pernah putus.
Kondisi yang ironis karena di era digital dan sains ini seharusnya tidak ada satu pun kebijakan diambil tanpa kajian saintifik.
Dalam cengkeraman birokrasi seperti ini, Indonesia sukar memiliki riset dasar, tulang punggung berbagai penelitian terapan yang bisa menghasilkan produk sains dan teknologi. Lembaga ilmiah kita hampir tidak pernah menghasilkan temuan yang spektakuler, dan amat jauh dari nominasi penghargaan dunia yang kredibel seperti Nobel, sungguhpun Indonesia berkelimpahan ilmuwan dan peneliti pintar.
Kondisi yang ironis karena di era digital dan sains ini seharusnya tidak ada satu pun kebijakan diambil tanpa kajian saintifik. Pemerintah di banyak negara maju sangat mendukung kebutuhan para ilmuwan untuk melakukan penelitian apa pun di berbagai bidang ilmu, bahkan dengan dukungan finansial tanpa batas.
Industri berskala dunia memiliki lembaga riset yang tangguh dan bekerja sama erat dengan universitas. Maka, begitu ada masalah besar, seperti pandemi Covid-19, para ilmuwan di lembaga penelitian dan universitas sudah siap menyediakan vaksin dan berbagai perangkat kesehatan lain. Apakah bangsa kita cukup rendah hati bersedia belajar kepada bangsa lain, yang menghargai para peneliti dan ilmuwan?
Implikasi
Sebenarnya kebijakan keliru mengelola lembaga ilmiah bukan hanya terjadi pada lembaga penelitian, tetapi juga universitas. Sudah lama universitas terkooptasi rezim birokrasi dan regulasi berlebihan. Bahkan universitas yang berstatus perguruan tinggi negeri berbadan hukum sudah kehilangan kebebasan akademik, yang padahal dibutuhkan para ilmuwannya.
Sementara tuntutan amat fantastis sebagai warga ”world class university”, ”entrepreneur university” dibebankan kepada para dosen secara tidak masuk akal. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia adalah contoh nyata.
Setidaknya pemerintah melakukan pembiaran terhadap hilangnya demokrasi dalam tata kelola dan potensi masuknya kepentingan politik ke dalam universitas. Statuta adalah konstitusi, acuan hukum tertinggi universitas. Jika statuta cacat, setiap kebijakan turunannya di kampus akan rentan terhadap keguncangan.
Apa dampak kebijakan yang keliru terhadap masyarakat ilmiah? Umumnya mereka menjadi bagian silent majority. Meskipun kebijakan melebur berbagai lembaga penelitian menimbulkan reaksi, letupan keras tidak akan terjadi.
Namun, kerusakan laten akibat tercerabutnya kebebasan akademik, ruh para ilmuwan, dan matinya budaya ilmiah akan terus menjalar. Masyarakat ilmiah akan menyusut dengan semakin hilangnya budaya mencintai ilmu dan pencarian kebenaran. Ini tanda kemunduran bagi suatu bangsa.
Akibat lanjutannya adalah masyarakat luas akan kehilangan kesempatan emas menikmati produk sains dan teknologi maju bangsa sendiri. Cara bernalar sehat akan mundur, digantikan kesukaan pada debat kusir berbasis berita palsu dan takhayul.
Lembaga ilmiah akan semakin kehilangan peneliti muda bergairah keilmuan, kecuali pengangguran sekadar pencari kerja, atau bahkan mereka yang akan berpolitik menggunakan lembaga ilmiah sebagai panggung. Cita-cita para pendiri bangsa agar bangsa Indonesia kembali merebut kejayaan Sriwijaya sebagai pusat ilmu mancanegara sudah menjadi mimpi yang patah.
Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum, FHUI
Editor: SRI HARTATI SAMHADI
BRIN Tanpa ”Brain”
Oleh
Carunia Mulya Firdausy
Awal Januari 2022, dunia riset dikagetkan dengan adanya berita seratusan saintis Lembaga Biologi dan Molekuler Eijkman yang dipecat tanpa pesangon. Berita yang sama juga terjadi pada puluhan anak buah kapal Kapal Riset Baruna Jaya yang langsung diperintahkan meninggalkan kapal per 1 Januari 2022 tanpa pesangon.
Kekagetan ini tentu bukan karena sebatas pecat-memecat saja, yang memang bukan hal baru dan tabu. Kekagetan itu juga karena para pegawai atau karyawan yang dipecat itu tidak diberi pesangon. Penyebabnya, diungkapkan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko pada apel pagi BRIN, 3 Januari 2022, ”mereka pegawai non-PNS atau non-ASN sehingga tidak berhak menerima pesangon”.
Bukan hanya Eijkman
Kasus seperti ini sebelumnya juga terjadi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan mungkin juga di lembaga penelitian lain, sebagai buntut dari peleburan empat lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), yakni Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Batan, LIPI, dan BPPT.
Detail jumlah yang sudah diberhentikan belum dapat dipastikan, tetapi menurut sumber yang dapat dipercaya lebih dari 1.500 orang. Mereka umumnya pegawai honorer atau pegawai non-PNS pendukung, baik langsung maupun tidak langsung, kegiatan riset dan inovasi di empat LPNK, seperti petugas keamanan, tukang kebun, petugas kebersihan (cleaning service), pegawai administrasi, anak buah kapal, analis kebijakan, staf laboratorium, dan pegawai sejenis lainnya.
Pemberhentian pegawai non-ASN ini telah menimbulkan berbagai ketidaknyamanan kerja peneliti dan perekayasa dan staf pendukung ASN.
Mereka yang diberhentikan ini memiliki kontribusi tersendiri dalam kegiatan riset dan inovasi di tiap LPNK. Sementara peneliti, perekayasa, dan sejenisnya aman karena umumnya pegawai aparatur sipil negara (ASN), kecuali ilmuwan, peneliti, atau dan laboran non-ASN di Lembaga Eijkman.
Pemberhentian pegawai non-ASN ini telah menimbulkan berbagai ketidaknyamanan kerja peneliti dan perekayasa dan staf pendukung ASN. Belajar dari pengalaman di LIPI, pengurusan terkait administrasi jadi lambat sebagai akibat didesentralisasikannya atau disedotnya tenaga administrasi pada tiap pusat penelitian di bawah sekretariat utama LIPI.
Efek yang tak diperhitungkan mungkin adalah terpecahnya peneliti dan nonpeneliti ke dalam empat kubu, yaitu kelompok pro-reorganisasi/peleburan, kelompok ”penentang reorganisasi dengan cara pecat-memecat dan komersialisasi aset”, kelompok oportunis, dan kelompok yang tak mau tahu.
Solidaritas ASN BRIN kepada kolega ilmuwan dan peneliti Lembaga Eijkman bermunculan. Begitu pula bentuk keprihatinan yang disebarkan pada Instagram, Telegram, Twitter, dan grup WA berlabel #save_karyawan Eijkman dan Barunajaya.
Solidaritas antara lain diwujudkan lewat inisiatif beberapa lembaga untuk bergotong royong memberikan pesangon dan bahkan membantu para pegawai non-PNS yang diberhentikan dengan cara tetap mempekerjakannya.
Pengurangan pegawai atau karyawan untuk tujuan efisiensi suatu organisasi memang lazim dilakukan. Namun, memecat pegawai bukan satu-satunya cara. Efisiensi juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan faktor produksi (dalam hal ini pegawai) dalam organisasi menjadi lebih produktif.
Memang benar, sudah banyak hal yang dilakukan oleh BRIN sejak Peraturan Presiden No 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diundangkan. Selain mewajibkan ASN BRIN mengisi absen di website yang telah terintegrasi dan apel pagi pada hari tiap hari Senin, berbagai reorganisasi melalui peleburan telah dilakukan, baik untuk empat LPNK (BPPT, Batan, LIPI, dan Lapan) maupun lembaga pemerintah kementerian (LPK).
Demikian pula pembentukan struktur organisasi, baik kedeputian, organisasi riset, Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA), maupun perangkat di bawahnya, termasuk penunjukan pejabat pelaksana harian dan pejabat pelaksana tugas, pembentukan rumah program riset, pengangkatan calon PNS, maupun memampangkan logo BRIN di kantor-kantor yang telah dilebur ke dalam BRIN.
Visi dan strategi BRIN
Namun, anehnya, di tengah apresiasi tinggi vis a vis berbagai kritik dan saran berbagai pihak atas kerja yang dilakukan BRIN selama ini, strategi dan taktik BRIN dalam program riset dan inovasi nasional, yang semestinya dirumuskan dan dipromosikan kepada publik, justru tidak pernah terdengar.
Padahal, perintah Presiden Jokowi dalam Peraturan Presiden No 78 Tahun 2021 tentang BRIN, khususnya Bab 3 Pasal 4 Ayat b dan c, seharusnya menjadi kunci atau substansi fungsi tugas utama dari dibentuknya BRIN.
Pertanyaan Presiden Jokowi terkait dominasi ekosistem riset oleh lembaga pemerintah yang tidak menghasilkan produk yang kompetitif di tingkat global selama ini mestinya harus bisa dijawab dan diterjemahkan dalam program kebijakan yang detail oleh BRIN.
Begitu pula dengan pertanyaan tentang bagaimana penggunaan anggaran puluhan triliun rupiah yang digelontorkan ke BRIN, dikaitkan dengan temuan apa yang akan BRIN banggakan di taraf global. Semua ini perlu diketahui dunia riset dan para pemangku kepentingan lainnya.
Juga, bagaimana BRIN menghasilkan riset dan inovasi untuk menjawab komplain masyarakat terhadap riset dan inovasi yang disebut-sebut tidak bisa berkompetisi.
Jika pertanyaan-pertanyaan di atas tidak dijelaskan jawabannya oleh BRIN, lantas mau dibawa ke mana BRIN ini?
Pula, apa dan bagaimana kebaruan dalam ekosistem riset dan inovasi yang akan dirumuskan dan dicapai BRIN agar memberikan manfaat ekonomi yang besar, yang juga perlu dijelaskan kepada publik. Demikian pula dengan strategi dan taktik BRIN dalam meningkatkan kualitas periset dan perekayasa yang dianggap rendah, dan sebagainya.
Jika pertanyaan-pertanyaan di atas tidak dijelaskan jawabannya oleh BRIN, lantas mau dibawa ke mana BRIN ini? Apakah kehadiran BRIN hanya sebatas reinventing the wheel yang bersifat coba-coba? Ataukan kehadiran BRIN ini hanya untuk memuaskan pikiran sepihak saja? Bukankah BRIN punya kewajiban mempertanggungjawabkan uang rakyat yang dipakai?
Jawaban BRIN atas pertanyaan substantif dan kunci terkait apa dan bagaimana strategi dan taktik BRIN dalam program riset dan inovasi nasional secara visioner dan terukur semestinya diungkapkan BRIN. Dengan demikian, BRIN bukan hanya berkutat dengan masalah administrasi, teknis, komersialisasi aset, peleburan, dan pecat-memecat yang membuat dunia riset dan inovasi resah.
Semua ini penting untuk meyakinkan publik bagaimana strategisnya kehadiran BRIN dan sekaligus untuk meredam pikiran-pikiran yang berseberangan dengan dibentuknya BRIN. Saya yakin Presiden Jokowi dan 10 anggota Dewan Pengarah BRIN, dan kita semua, ingin hal ini dijelaskan dan diyakinkan BRIN kepada dunia riset dan inovasi nasional. Jika tidak, BRIN hanya akan menjadi sebuah badan riset dan inovasi kosong tanpa brain.
Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
No comments :
Post a Comment