Sutan Sjahrir membuat terobosan penting di bidang seni rupa pada masa awal kemerdekaan. Dia memainkan seni rupa sebagai alat diplomasi sekaligus deklarasi bahwa Indonesia sangat beradab, tak suka kekerasan.
Dalam historiografi seni rupa modern Indonesia, kontribusi Sutan Sjahrir belum pernah dikaji dengan saksama. Namanya tenggelam di balik citra Soekarno yang lebih menonjol, baik sebagai pencinta seni maupun sosok yang mendukung aktivitas seniman. Ironisnya, Sjahrir hampir tidak pernah disangkutpautkan dengan pergerakan seni rupa modern Tanah Air.
Padahal peran ”si Kancil” yang di awal revolusi dikenal sebagai the noblest of the Revolutionary personalities (Johan Fabricus, 1947) dalam memajukan seni rupa modern di Tanah Air ini tidaklah kecil. Dua pameran seni rupa yang diselenggarakan selama menjabat sebagai Perdana Menteri (November 1945-Juni 1947) cukup untuk membuktikan perannya.
Membaca surat-suratnya sewaktu meringkuk sebagai tahanan politik pada 1930-an, siapa pun akan terkesan dengan luasnya wawasan Sjahrir atas wacana seni dan kebudayaan. Dengan lancar dia, misalnya, membahas situasi seni lukis di Batavia. Dia juga mengupas dilema identitas kesenimanan yang pernah menjangkiti pelukis Salim. Bahkan jauh sebelum S Sudjojono mencibir kebudayaan klasik Indonesia yang tersimpan di museum itu sudah ”bau kemenyan” (S Sudjojono, 1940), Sjahrir sudah terlebih dulu memakai kiasan tersebut.
Dari Banda Neira, dia mengusulkan sebaiknya pergerakan kebudayaan baru Indonesia ”jangan berbau udara museum atau menyan”. Ia paham bahwa tolok ukur hasil seni akan selalu terletak pada perkara isi dan bentuk. Dengan parameter ini, dia kemudian mengkritik estetika formalisme yang hanya mengutamakan bentuk, bukan isi. Sjahrir kemudian menggariskan batas kriteria seninya dengan mengatakan bahwa suatu ciptaan kreatif ”yang tiada berisi pikiran dan perasaan, bukanlah seni” (Sutan Sjahrir, 1938). Selain akrab di kalangan seniman, Sjahrir disebut-sebut mengoleksi beberapa lukisan (Rudolf Mrazek, 2018).
Pameran
Pameran dengan judul berbahasa Inggris Works of Indonesian Painters Today hanya berlangsung lima hari, mulai 27 hingga 31 Desember 1945. Ini adalah pameran pasca-perang pertama di dunia yang diselenggarakan oleh sebuah bangsa yang baru merdeka untuk menyatakan identitas budaya modern mereka (saya belum menemukan sumber dari belahan negeri lainnya yang menggelar pameran seni rupa pada bulan dan tahun tersebut).
Pameran resmi Pemerintah Indonesia ini diselenggarakan oleh Kementerian Penerangan, menggelar lebih kurang 141 karya dari 19 pelukis, mengambil tempat di gedung yang saat ini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba. Brosur pameran menyebutkan nama-nama seniman, antara lain: Barli, Basuki Abdullah, Hendra Gunawan, Affandi, Emiria Sunassa, Subanto Suriosubandrio, RM Soemitro, S Sudjojono, Rusli, Soelarko, Kartono Yudhokusumo, Sudjana Kerton, E Abedy, Baharudin Marasutan, Mochtar Apin, Suromo, Patty, Sumartono, dan Kusnadi.
Beberapa sumber menegaskan bahwa Sjahrir adalah inisiator pameran (Mochtar Lubis, 1980). Sukar untuk tidak mengatakan bahwa dia, selaku Perdana Menteri, sengaja menggunakan pameran itu secara politis untuk mencapai tujuan-tujuan diplomatik. Dia mengirim sinyal ke dunia internasional bahwa revolusi Indonesia dilakukan oleh kaum muda dari sebuah bangsa yang beradab dan berwawasan modern. Sjahrir ingin merehabilitasi atau membalikkan persepsi-persepsi negatif kepada Indonesia yang ketika itu kian memburuk.
Dengan seni, ia menegaskan bahwa bangsa yang memproklamasikan kemerdekaannya pada Agustus 1945 itu bukanlah segerombolan bandit radikal atau ekstremis tak berbudaya. Masuk akal, sebab ketika itu Belanda di lain pihak terus-menerus mendiskualifikasi kemerdekaan Indonesia dengan ragam propaganda, terutama ke para tentaranya yang mendengar, misalnya, fasisme Jepang telah menanam racun kebencian terhadap orang kulit putih di kalangan pemuda Indonesia (Gert Oostindie, 2015).
Dengan istilah Works of Indonesian Painters Today, makna pameran ini juga ingin menekankan spirit kebaruan dan kekinian karya seniman-seniman muda Indonesia. Meskipun demikian, saya kira penting untuk digarisbawahi bahwa kecamuk sosial di bulan-bulan awal revolusi menyulitkan seniman berkarya. Saya mencatat bahwa banyak lukisan di pameran itu tercipta di masa pendudukan Jepang. Menarik untuk dicermati bagaimana brosur yang dicetak secara bilingual (Indonesia dan Inggris) itu menyiratkan keinginan Indonesia meraih pembacaan dan simpati internasional.
Suasana mencekam di kota Jakarta menyelimuti acara pembukaan. Surat kabar memberitakan, ketika pameran dibuka, terjadi insiden ”tembak-menembak, rampok-merampok, bunuh-membunuh dan aneka kejadian kekerasan atas kemanusiaan” antara laskar Republik melawan tentara NICA di sejumlah tempat. Bahkan, sehari sebelumnya percobaan pembunuhan kepada Sjahrir terjadi di kawasan menteng. Mobil yang ditumpanginya diberondong peluru tentara NICA. Namun, situasi yang karut-marut itu tidak menggetarkan nyali para pembesar Republik.
Selain Sjahrir, surat kabar mencatat Soekarno, Muhammad Hatta, Amir Sjarifuddin, dan beberapa perwira militer Inggris—yang memang sengaja diundang—hadir di acara pembukaan. Kehadiran mereka mengisyaratkan, pameran itu jelas bukanlah ”pameran kaleng-kaleng”. Ragam surat kabar dunia melukiskan suasana persahabatan di antara para pembesar Republik dan Inggris sehingga: ”meneguhkan keyakinan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka”.
Yang sebenarnya cerdik adalah Sjahrir. Dia paham bahwa konstelasi global setelah Perang Dunia II sedang berubah drastis. Dalam pamfletnya yang masyhur, Perjuangan Kita (November 1945), dia menyatakan bahwa kedudukan Indonesia dikangkangi kekuatan yang berpengaruh di dunia sehingga nasibnya sangat bergantung pada kapitalisme dan imperialisme Anglo-Saxon.
Sjahrir sebenarnya ingin menghentikan kekerasan kaum muda militan terhadap kaum kulit putih, menawarkan suatu bentuk politik dan institusi yang diterima oleh Barat, dan suatu retorika nasionalis tanpa komponen radikal untuk menuai simpati dunia luar (Benedict Anderson, 1968).
Dengan demikian, pameran itu merealisasikan gagasan-gagasan Sjahrir tersebut. Secara pribadi, kedewasaan politiknya juga teruji sewaktu tentara NICA melakukan percobaan pembunuhan. Sjahrir bahkan tidak punya hasrat untuk menyerukan pembalasan balik. Ia dikabarkan tetap tenang dan tersenyum. Dia menghindari cacophony yang bisa merugikan revolusi Indonesia.
Pemerintahan Sjahrir memang tidak berlangsung lama. Akan tetapi, pameran bersejarah Desember 1945 itu menunjukkan bahwa Soekarno bukanlah satu-satunya pemimpin bangsa yang berperan memajukan seni rupa Indonesia.
Aminudin Th Siregar
Dosen Seni Rupa-ITB
No comments :
Post a Comment