Siapa yang tidak mengenal Avip Priatna, konduktor terkenal, sekaligus pendiri Batavia Madrigal Singer (BMS) dan Jakarta Chamber Orchestra, atau sekarang lebih dikenal dengan Jakarta Concert Orchestra.
Sejak umur delapan tahun, Avip Priatna (57) sudah jatuh cinta pada arsitektur dan musik klasik. Memori masa kecilnya banyak diisi dengan menggambar bangunan dan bermain organ. Cinta itu menuntunnya meraih gelar sarjana di bidang arsitek serta melambungkan namanya di panggung musik klasik dunia.
Avip Priatna di Balai Resital Kertanegara |
Senyum Avip merekah saat penonton bertepuk tangan di akhir penampilan paduan suara Batavia Madrigal Singers (BMS) di Balai Resital Kertanegara, Jakarta, Sabtu (9/7/2022). Sebagai konduktor, ia memimpin 44 anggota BMS membungkukkan badan, tanda hormat atas apresiasi penonton.
Apresiasi itu tidak berlebihan. Selain karena penampilan sore itu yang mengesankan, mereka baru saja membawa pulang piala European Grand Prix (EGP) for Choral Singing 2022 di Tours, Perancis, Juni lalu.
Capaian itu menambah jejak prestasi Avip dalam kompetisi paduan suara tertua dan tersulit di dunia yang telah berlangsung selama 33 tahun tersebut. Empat tahun lalu, ia menjadi dirigen paduan suara anak The Resonanz Children’s Choir ketika menjuarai kompetisi serupa di Maribor, Slovenia.
Lulusan Magister Artium University of Music and Performing Art, Vienna, Austria, itu menjadi orang Indonesia pertama yang menorehkan prestasi tersebut. Ia menyamai capaian konduktor asal Slovenia, Stojan Kuret, yang dua kali menjuarai EGP.
”Saya berharap capaian ini memantik semangat anak-anak muda Indonesia dalam bidang musik klasik. Jika kami bisa (berprestasi tingkat dunia), paduan suara atau penyanyi lain juga bisa,” ujar Avip.
Kemenangan di EGP menjadi prestisius karena ajang itu mempertandingkan juara umum dari enam kompetisi paduan suara paling bergengsi di Eropa. Kompetisi itu meliputi Concorso Polifónico Guido d'Arezzo (International Guido d’Arezzo Polyphonic Contest) di Arezzo, Italia; Béla Bartók International Choir Competition di Debrecen, Hongaria; International Choral Competition Gallus Maribor di Maribor, Slovenia; Certamen Coral de Tolosa (Tolosa Choral Competition) di Tolosa, Spanyol; Florilège Vocal de Tours (Tours Vocal Competition) di Tours, Perancis, dan International May Choir Competition ”Prof. G. Dimitrov” di kota Varna, Bulgaria.
Berdasarkan laman egpchoral.com, sejak pertama kali digelar pada 1989, pemenang EGP didominasi negara-negara Eropa. Hanya tiga negara Asia yang pernah menjadi juara, yaitu Jepang, Filipina, dan Indonesia.
”Orang Indonesia dibekali insting musikal yang kuat. Cita rasa musik itu harus diolah. Prestasi ini menunjukkan posisi Indonesia di panggung musik klasik dunia,” ucapnya.
Organ mainan
Saat masih anak-anak, Avip suka mengamati bangunan yang ada di sekitar rumahnya di Bogor, Jawa Barat. Bermodalkan pensil, kertas, dan penggaris, ia menggambar bangunan apa saja yang dilihatnya.
”Waktu di sekolah, guru sering tanya bangunan apa yang saya gambar. Saya jawab, itu semua rumah tetangga saya,” ujarnya diikuti tawa, mengingat kepolosan masa kecil.
Dua gelar juara EGP sangat disyukuri, tetapi tidak membuatnya cepat berpuas diri. Pencapaian itu bukan garis finis, melainkan landasan bagi paduan suara anak bangsa untuk menapaki anak tangga prestasi yang lebih tinggi.
Selain
menggambar, Avip juga senang mendengarkan musik. Ia rutin menonton musik klasik
orkestra Jepang yang ditayangkan TVRI.
Saat
berusia sembilan tahun, Avip melihat ibunya membawa organ mainan yang dibeli
dari pasar. Organ itu akan dijadikan kado untuk tetangganya yang mengadakan
sunatan.
Ia
memainkan organ itu semalaman. ”Saat organnya dibungkus untuk kado, saya merasa
sedih sekali karena enggak bisa main lagi,” katanya.
Kesedihan
itu sepertinya ”ditangkap” oleh ibunya. Beberapa bulan kemudian, Avip
mendapatkan kado serupa saat ulang tahunnya yang ke-9.
Momen itu masih sangat membekas di ingatannya. Saat bermain layangan di lapangan, ia dipanggil ibunya untuk segera ke rumah.
”Waktu saya masuk rumah, ada organ di atas meja makan. Meski hanya mainan, rasanya gembira sekali. Selama seminggu, saya enggak pernah keluar rumah setelah pulang sekolah,” ujarnya.
Avip menyalurkan hobinya itu dengan menjadi pianis paduan suara di tingkat SD, SMP, dan SMA. Ia juga mengikuti les musik untuk mengasah kemampuannya.
Setelah lulus dari SMA Negeri 3 Bandung pada 1983, ia kuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Sejak bergabung dalam paduan suara di kampus inilah ia mulai mengenal beberapa orang yang menyukai musik klasik.
”Akhirnya bertemu teman yang satu selera musik. Saya pun makin serius belajar piano. Mulai mendengarkan Vienna Boys Choir (kelompok kor laki-laki asal Austria) dan paduan suara lainnya,” ucapnya.
Kesempatan menjadi konduktor datang saat pelatih paduan suara mahasiswa Unpar lulus kuliah. Avip memberanikan diri mengambil posisi kosong tersebut.
Salah satu konser JCO (Sumber gambar: Jakarta Concert Orchestra) |
”Sebenarnya saya terpaksa melatih saat itu. Bermodal pendengaran dan imajinasi saja. Tetapi, justru kami bisa juara,” katanya.
Avip diminta segera mengirimkan daftar riwayat hidupnya. ”Saya ingat betul, waktu ditelepon Pak Benny (Benedictus), saya sedang mencuci mobil. Ternyata berlanjut dan bisa kuliah musik di Austria,” kenangnya.
Hal itu
memantapkan keinginannya untuk kuliah di bidang musik. Peluang tersebut datang
pada 1998 ketika rektor Unpar saat itu, Prof Benedictus Suprapto Brotosiswojo,
bertemu duta besar Austria untuk Indonesia.
Panen prestasi
Alasan Avip memilih memperdalam cintanya pada musik klasik ketimbang arsitektur sangat sederhana. ”Arsitek sudah banyak, sementara pengaba musik klasik belum,” ujarnya.
Pilihan itu tak keliru. Ia menuai panen prestasi berkat ketekunannya bermusik. Berbagai gelar yang diraih antara lain juara The Dutch International Choir Festival di Arnhem, Belanda (1995), juara kategori lagu rakyat pada lomba kor Guido d’Arezzo di Italia (1997), tiga medali emas Olimpiade Kor di Linz, Austria (2000), dan juara interpretasi lagu Perancis terbaik pada kompetisi paduan suara di Tours (2001).
Selain itu, meraih tiga gelar pada Florilège Vocal de Tours (2015), tiga gelar Tolosa Choral Contest di Spanyol (2016), dan juara umum Tolosa Choral Contest (2019) yang mengantarkan BMS berkompetisi di EGP. ”Juara EGP bisa dibilang prestasi paling pamungkas karena persaingannya sangat ketat,” katanya.
Prestasi itu tidak diraih dengan mudah. BMS mengungguli peserta asal Indonesia lainnya, yaitu Paduan Suara Mahasiswa Universitas Padjadjaran, dan dua kontestan asal Latvia.
Konsistensi berlatih juga diuji karena EGP sempat tertunda dua tahun akibat pandemi Covid-19. Tim paduan suara yang menjuarai Tolosa Choral Contest 2019 pun dibubarkan.
Avip membentuk tim baru dengan menggelar latihan dan konser daring. Hal itu membuatnya bisa mengenal lebih detail karakter, keunggulan, serta kelemahan vokal setiap penyanyi. ”Dengan begitu, akan terlihat siapa yang potensial untuk bergabung,” ujarnya.
Dua gelar juara EGP sangat disyukuri, tetapi tidak membuatnya cepat berpuas diri. Pencapaian itu bukan garis finis, melainkan landasan bagi paduan suara anak bangsa untuk menapaki anak tangga prestasi yang lebih tinggi.
Avip Priatna
Lahir:
Bogor, Jawa Barat, 29 Desember 1964
Pekerjaan:
-
Direktur dan Pendiri Batavia Madrigal Singers
Pendidikan:
- SD
Regina Pacis, Bogor (1976)
- SMP
Negeri IV, Bogor (1980)
- SMA
Negeri III, Bandung (1983)
-
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur
(1990)
-
Magister Artium University of Music and Performing Art, Vienna, Austria (1998)
Tayang di
Harian Kompas 26 Juli 2022 Hal.16
Oleh TATANG MULYANA SINAGA
No comments :
Post a Comment