Jan Djuhana |
Insting Jan Djuhana (73) pada lagu tenar telah memengaruhi jutaan pendengar musik di Indonesia. Pada 1970-an, ia mengedarkan kaset yang diperbanyak dari piringan hitam lagu Barat agar lebih bisa merakyat di telinga pendengar dalam negeri. Lantas, ia juga mengorbitkan musisi dalam negeri dari bukan siapa-siapa menjadi bintang. Wajar jika menyebut Jan bertanggung jawab atas pembentukan selera musik orang kita.
Identitas profesi Jan sudah sangat kentara begitu memasuki JD Records di Jakarta Selatan. Di kantor itu, poster musisi-musisi dunia, seperti The Beatles, Mick Jagger, Keith Richards, hingga Marilyn Monroe, terpajang di dinding. Ruang Jan juga disesaki foto Jan bersama pesohor nasional, juga penyanyi AS, Taylor Swift.
Ia berpose, antara lain, dengan Achmad Albar, Superman Is Dead, Yon Koeswoyo, Ahmad Dhani, Titiek Puspa, dan Ruth Sahanaya. Tembok yang dilabur warna-warni tak lazim, coklat dipadu oranye namun terlihat serasi, turut memampangkan intuisi seni Jan.
”Saya senang mendekor. Warna, saya yang pilih. Saya senang oranye karena cerah. Ceria. Dulu, waktu kantor Sony Music Indonesia masih kosong, saya bantu dekor juga,” ujarnya. Di sudut ruang seluas 16 meter persegi itu tampak tumpukan kaset, cakram kompak, sampai piringan hitam.
Bicara musik dengan Jan memang tak ada habisnya. Ia dengan antusias lalu menyetel ”Jagalah Hatimu”, nyanyian terbaru Pinkan Mambo. ”Luar biasa, the queen is back (sang ratu sudah kembali). Vokalnya masih prima. Baru dirilis kemarin lagunya,” katanya, Jumat (8/7/2022). Pinkan Mambo, yang pernah berduet dengan Maia Estianti dari duo Ratu itu, merupakan salah satu artis di bawah payung JD Records, label bikinan Jan.
Jan juga memainkan lagu teranyar band VOC, ”Jelangkung” yang lucu. Alunan pop yang diselaraskan dengan keroncong itu divisualisasikan dengan komik dalam klip videonya. ”Seram tapi liriknya, kok, kocak. Sebenarnya, saya lebih suka pencipta lagu yang baru untuk diorbitkan,” katanya.
Media yang menunjukkan kedekatan Jan dengan bintang-bintang tersebut diimbuhi plakat dari para karyawan Sony Music Indonesia atas rekam jejaknya yang cemerlang. Pada bilah kayu tertanggal 17 Maret 2000 itu tercantum ”Godfather of Music” yang disematkan pendiri Sony Music Indonesia Sutanto Hartono kepada Jan.
Ia memang diberkahi naluri teramat tajam untuk menaksir lagu-lagu yang bakal digilai penikmat musik. Jan menemukan bibit-bibit unggul yang siap bersemi untuk merajai dunia musik. Sebut saja Kla Project, Dewa 19, Padi, dan Sheila On 7 yang diantar menuju gerbang popularitas.
Jan sudah menggeluti perekaman sejak tahun 1968. Ia menjual kaset dengan lagu-lagu direkam dari piringan hitam. Labelnya kecil-kecilan, yaitu Saturn Records dan Team Records. Setelah Team Records gulung tikar, Jan bergabung dengan label besar seperti Sony Music Indonesia dan Universal Music Indonesia. Seusai purnatugas dari Universal, Jan akhirnya mendirikan JD Records.
Kebanyakan asam garam Jan dicecapnya dengan pilah-pilih lagu dan artis. Pada puncaknya, seleksi kiriman sampai 350 grup musik dan solois per minggu bukan perkara baru buat Jan. ”Sempat keteteran juga. Awalnya, malah saya yang terima dan dengar semua demo lagu,” ucapnya.
Ia bersyukur tak sampai stres, sakit, atau kurang tidur. Setelah lagu-lagu Sheila On 7, Padi, Cokelat, dan /rif meledak, demo yang diterima Jan mengalir deras. ”Waktu masih zaman kaset, dipaketkan pakai amplop. Setiap amplop bisa berisi sampai tiga kaset dari band yang beda,” ucapnya.
Pada masa itu, antara akhir dekade 1990-an dan awal 2000-an, Sony Indonesia sampai membuat alamat khusus di kantor pos (PO Box). Kiriman kaset demo yang sampai berkarung-karung itu diambil hampir saban hari. Ia kerepotan juga memilah dan memilih demo yang sejalan dengan instingnya.
Belakangan, Jan dibantu tiga anggota staf untuk mendengar kreasi sebanyak itu. Lagu-lagu didengar di kantor, mobil, hingga rumah. ”Isi setiap kaset mulai satu, tiga, sampai lima lagu. Saya pantang kalau band membawakan lagu yang sudah terkenal,” ucapnya.
Jika lagu dianggap berpotensi, Jan selalu menyimaknya berkali-kali. Lelah, kesehatan yang sesekali terganggu, atau suasana hati sedang kalut tentu memengaruhi obyektivitas. ”Kalau enggak tenang begitu, break (istirahat) dulu. Minta pendapat staf juga, lagunya bagus atau enggak,” katanya.
Sebagian musisi tak dimungkiri memberondong Jan dengan pertanyaan hingga memaksa keyakinannya soal lagu yang bakal laku keras. ”Mereka tanya terus, gimana lagunya? Saya bilang, masih dengerin. Malah, dikirim dua sampai lima lagu lagi,” katanya sambil tertawa.
Banyak sabar
Kesabaran jelas terjejak dalam kiprah Jan yang menghadapi bermacam-macam keeksentrikan calon pesohor hingga megabintang. Pernah, terlontar celetukan musisi masyhur soal label yang digerakkan Jan tak kan ada apa-apanya tanpa figur tersebut. Ia tersenyum saja.
”Saya lupa namanya. Toh, kami, kan, partner. Paling penting, saya senang kalau mereka bisa terangkat fromzero to hero (dari nol sampai sukses),” katanya. Sindrom bintang beken tak melulu soal ulah, tetapi bisa merembet sampai narkoba, bahkan prahara keluarga.
Ia sungguh masygul saat mendapati mitra-mitranya terseret narkoba. Padahal, dalam kontrak terang-terangan dicantumkan, mereka dilarang mengonsumsi barang haram tersebut. ”Ada musisi yang sudah diurus pengacara, konser, tapi kena lagi. Artis lain main jadi ngawur sampai temannya marah,” ucapnya.
Gara-gara narkoba, beberapa band besar babak belur sampai terpaksa vakum dulu. Tak bisa berkarya, badan rusak, jadwal berpentas mereka pun berantakan. ”Perasaan saya campur aduk. Sedih, marah, atau kecewa. Diupayakan mereka rehab dulu, tapi produksi lagu jadi tertunda,” ucapnya.
Beberapa musisi juga tersandung cekcok keluarga. Jika tak dimintai tolong, Jan tetap tenang. Ia mewanti-wanti mereka membenahi keharmonisan pernikahannya dulu. ”Saya biarkan teman-teman membereskan urusan internalnya. Semua sudah dewasa,” ujarnya.
Belum lagi, sejumlah artis punya kebiasaan jam karet setelah menyepakati janji bertemu, bahkan mendadak hilang tanpa mengabari. ”Janjinya jam 12.00. Eh, telat tiga jam. Ada juga yang begitu datang, malah ke sana kemari. Ternyata, punya janji sama beberapa temannya di meja-meja lain,” katanya.
Ia meredam saja perasaannya. Paling-paling, Jan hanya menanyakan penyebab mereka bertingkah, tetapi nadanya tetap kalem. Jan mengaku kerap mesti menyabarkan diri. Sekonyong-konyong, Janawati Suratman (70) menambahkan bahwa suaminya itu kadang mangkel juga.
”Enggak pernah marah, tapi sudahnya kesal sendiri. Kalau artis bandel, saya yang ngomel. Anak-anak (kolega Jan) sampai sekarang masih sayang. Bapak ngomong apa, nurut,” ujarnya. Jana, panggilan akrabnya, lantas menuturkan vokalis kawakan yang terkenal keras kepala.
”Sambil bercanda, katanya, ’Kalau disuruh cium kaki, yang lain gue enggak peduli kecuali Pak Jan’. Saya ketawa saja,” kata Jana. Kehangatan itu juga memotivasi nama-nama kondang seperti Akhdiyat Duta Modjo, Armand Maulana, Andi Fadly, dan Kristina mau saja memeriahkan agustusan di lingkungan rumah Jan tanpa bayaran profesional.
Dicintai
Jan sungguh terharu lantaran band-band besar masih mengingatnya. Sheila On 7, misalnya, pernah mengirimkan undangan menghadiri konser di Kuala Lumpur, Malaysia. Demikian pula Padi yang menawarkan Jan untuk menyaksikan pertunjukannya di Padang, Sumatera Barat.
”Yovie & Nuno juga mengajak datang ke Kuala Lumpur. Mereka sekalian dapat penghargaan dari Sony Music Malaysia,” katanya.
Sebagian artis yang pernah ia asuh juga datang pada peluncuran buku biografi Jan di sebuah kafe di Jakarta, Rabu (22/6/2022). Ada Pinkan Mambo, Melly Mono, Terry, Teguh dan Sony dari band Vagetoz, Eross dari Sheila on 7, Piyu dari Padi, bahkan Kikan dan Edwin dari Cokelat reuni lagi di panggung setelah belasan tahun pisah jalan. Mantan rekan kerja Jan di Sony juga pada datang. Suasananya mengharukan.
Para artis bergantian bertestimoni, yang umumnya menceritakan perlakuan baik yang pernah mereka terima. Pinkan, misalnya, mengenang tanda tangan kontrak duo Ratu. ”Tanda tangan lain waktu saya mengirim surat resign (mundur dari Ratu), malah langsung ditawari kontrak baru sebagai artis solo,” kata Pinkan.
Teguh juga punya ceritanya sendiri. Sosok Jan, katanya, sangat perhatian untuk urusan di luar musik sekalipun. Dia sering ditanya kabar orangtuanya. ”Kami tak akan melupakan Pak Jan. Hampir semua label pernah kami datangi sejak 1999. Baru delapan tahun kemudian ada yang mau terima kami, yaitu Pak Jan,” katanya. Lagu pilihan Jan, ”Betapa Aku Mencintaimu”, kata Teguh, masih memberi penghasilan bagi mereka hingga sekarang.
Jan tak punya formula pasti untuk mencetak musisi sukses. Tak jarang, ia mengandalkan instingnya saja untuk menaruh kepercayaan kepada musisi.
Jan kini fokus menggandeng putra-putri daerah. Tunas-tunas muda dari Ambon, Purwakarta, Tegal, dan Majalengka ikut diangkat supaya meroket. ”Lebih dari 60 persen musisi saya bukan dari metropolis. Saya cari musisi, pencipta lagu, sampai pembuat klip video andal,” ujarnya.
Ia dengan senang hati mempromosikan generasi penerus, namun mereka pun harus berusaha dengan menambah pengikut media sosial, membuat klip video, dan melobi stasiun radio. ”Supaya lagunya sering diputar. Pesan saya, jangan bosan mencoba. Kalau gagal, jalan terus. Suatu saat, pasti sukses,” ucapnya.
Jan Djuhana
Lahir: Jakarta, 24 Agustus 1948
Istri: Janawati Suratman
Anak:
- Aulia Mariska Djuhana
- Angelika Agustin Djuhana
- Barry Hartanto Djuhana
Pendidikan:
- SD Pantjoran Jakarta
- SMP Pantjoran Jakarta
- SMA Negeri 19 Jakarta
- Program Studi Teknik Elektro Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
No comments :
Post a Comment