Selebrasi Musikal Indra Lesmana

Musisi Indra Lesmana saat wawancara khusus dengan Kompas di Jakarta, Rabu (24/8/2022).

     Konser tunggal Indra Lesmana pada Sabtu (27/8/2022) akhirnya berlangsung setelah               tertunda akibat pandemi Covid-19. Rentang karir selama 47 tahun dipepatkan dalam                 pertunjukan kolosal.

Setelah berkiprah selama 47 tahun, Indra Lesmana (56) akhirnya menggelar konser tunggal Indra Lesmana Legacy, pada Sabtu (27/8/2022). Bagaimana mungkin musisi sekaliber Indra Lesmana baru satu kali bikin konser tunggal. Rupanya, dia terlalu asyik bikin lagu, sehingga harus dibantu pihak lain memanggungkan karya itu dengan cita rasa spesial.

Jumat diam-diam berganti Sabtu ketika lagu “Selamat Tinggal” dimainkan di panggung. Tiba-tiba, Indra berujar, “Pak Aksan, ada tiga hal. Pertama, pengisi sesi all-artists nggak hadir semua hari ini. Kedua, ini sudah malam. Ketiga, besok saja latihan lagi untuk sesi all-artists,” kepada Aksan Sjuman, sang konduktor, ketika jam sudah menunjukkan pukul 00.20.

Sekitar 60-an pemain musik berseru “Yeaaa!” diikuti dengan merapikan perangkat masing-masing. Mereka akhirnya bisa beranjak pulang dari gedung konser Jakarta International Theatre JIExpo, Kemayoran, Jakarta itu.

Mereka sudah berlatih sejak Jumat sekitar pukul 18.00. Sesi run-through, atau latihan menyeluruh secara berurutan dimulai sekitar pukul 20.15. Namun, di latihan terakhir itu, masih ada beberapa kendala, seperti pianika yang tidak bunyi, dan kendala pasokan daya listrik yang lumayan memakan waktu.

Alhasil, sesi gladi-hampir-bersih itu tak lancar-lancar amat. Durasi yang direncanakan kelar sekitar tiga jam jadi molor. Padahal, kurang dari 24 jam lagi konser penting inidimulai.

Keputusan Indra menyudahi latihan yang nyaris tuntas itu adalah noktah kecil dari seluruh dinamika. Itu pun masih dalam batas kewajaran mengingat kompleksitas pertunjukan. Konser ini terbilang kolosal mengingat banyaknya orang yang terlibat dan jumlah nomor yang dimainkan.

Tak kurang dari 60 musisi bergabung dalam Indonesia Legacy Orchestra yang dikomandoi Aksan Sjuman. Masih ada pula sekitar 30 musisi tamu, di antaranya Once Mekkel, Ardhito Pramono, Eva Celia, ILP, Kaka Slank, Tohpati, Teza Sumendra, Monita Tahalea, dan Maliq & D’Essentials. Belum lagi ada 200-an awak panggung yang bekerja.

Selain Jakarta, konser yang dikelola Senyawa Entertainment ini akan diputar ke tiga kota lain, yakni Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Untuk seluruh rangkaian tur, Indra dan kawan-kawan menyiapkan 54 lagu, yang dipepatkan jadi 30-an nomor—beberapa lagu dirangkai sebagai medley. Durasi pertunjukannya sekitar tiga jam dengan satu kali jeda. Indra sampai menyiapkan empat kostum berbeda.

Musisi Indra Lesmana saat persiapan untuk konser "Indra Lesmana Legacy Concert" di Jakarta International Theatre, Kemayoran, Jakarta, Jumat (26/8/2022).

Dalam hidupnya, Indra pertama kali naik panggung ketika masih bocah, yakni 9 tahun, berduet dengan sang ayah, mendiang Jack Lesmana, begawan gitaris jazz Indonesia. Artinya, sudah 47 tahun Indra berkarir di bidang yang ia amat cintai ini.

Tapi kenapa baru sekarang dia membuat konser tunggal? “Bingung mau bawain semuanya. Harus konser sendiri. (Sementara) Konser sendiri pastinya harus besar (dalam skala pertunjukan, juga biaya),” kata dia ketika disambangi pada Rabu (24/8/2022) di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, tempatnya menginap selama menyiapkan konser ini.

Kebingungan Indra dilatari betapa beragamnya karya yang pernah dia hasilkan. Istrinya, Hon Lesmana, menyusun arsip karya-karya Indra yang berjumlah lebih dari 1.000 lagu, tersebar dalam 93 album baik sebagai solois, band, maupun di balik layar sebagai produser dan pencipta lagu. Corak musiknya pun beragam; mulai dari jazz instrumentalia, pop yang agak jazz, pop konsumsi radio, fusion, sampai metal progresif.

Sejak Indra dan Hon pacaran, sekitar 1998, dan menikah 1999, Hon selalu mendorong Indra untuk bikin konser tunggal. Tapi, Indra lebih suka bikin lagu. Kalau pun berkonser tunggal, dia ingin mempertontonkan bunga rampai rentang karier dan karyanya.

“Baru pada 2019 Reza Subekti dari Senyawa Entertainment bilang mau membikinkan konserku, menampilkan lagu-laguku dari pop, rock sampai jazz, dibalut orkestra. Lu gila. Lu tahu kan sesusah apa,” katanya disambung tawa kecil. Tawaran itu serius.

“Diskusi terus bergulir sampai Februari 2020 dan sepakat konser dibikin September 2020; angka tahunnya bagus, dan menandai 45 tahun karir bermusikku. Lalu pandemi. Aku jadi lupa (rencana konser) karena mengerjakan yang lain, bikin konten, bikin macam-macam,” kata Indra yang selama kurun 2020-2022 menghasilkan album penuh, album kompilasi, beberapa single, dan mendalami non-fungible token (NFT).

Baru pada Januari 2022, dia dihubungi kembali perihal konser itu. “Ooh, masih (lanjut), hehehe,” kenangnya. Indra dan Senyawa lantas makin menyeriusi konser perdana itu dengan menandatangani kontrak pada 20 Januari 2022. Jadilah mereka kerja bareng.

Diskusi terus bergulir sampai Februari 2020 dan sepakat konser dibikin September 2020; angka tahunnya bagus, dan menandai 45 tahun karir bermusikku. Lalu pandemi.

 

Meresapi lagu
Langkah pertama yang Indra lakukan adalah membongkar kaset-kaset koleksi album lamanya, mendengarnya satu per satu, mengingat-ingat momen apa yang yang membuatnya menciptakan karya itu. Perasaannya campur-aduk. Sebab, setiap lagu dan album punya ceritanya sendiri-sendiri. Ada yang manis, lucu, juga getir. Indra pernah sukses membuatkan album untuk Titi DJ, mantan pacarnya; juga kerja bareng Sophia Latjuba, mantan istrinya.

Tapi bukan romantisme sepele itu yang merisaukannya. Lagu-lagu itu perlu dipilih dan dipilah. Juga perlu diolah ulang dengan aransemen segar. Urusan memilih dikerjakan oleh tim Indra dan Hon. Mereka menyortir sekitar 100 lagu yang mengompromikan pilihan pribadi Indra dan selera pengikutnya di media sosial. “Kebanyakan permintaan follower-ku sesuai dengan yang kuharapkan,” kata dia yang nyaris menghabiskan seliter air putih selama bincang-bincang.

Lagu-lagu itu lantas dipilah lagi berdasarkan dekade lahirnya, mulai dari 1970-an sampai kiwari. Tiap dekade dicari lagu mana yang populer, atau menjadi favorit Indra meski tak terlalu ngetop. “Hits pop vokal seperti 'Ekspresi' atau 'Aku Ingin' itu harus ada. Lagu yang kurang popular tapi penting buatku itu seperti 'Stephanie', dan 'LA' dari album yang dirilis MCA Records di Amerika (Serikat) karena sebagai highlights perjalanan karirku,” ujarnya.

Indra pernah tinggal di Los Angeles, AS, sekitar 1,5 tahun waktu usianya baru 21 tahun. Ia tinggal di sana setelah mendapat kontrak rekaman dengan Zebra Records, unit perusahaan label besar MCA Records. Bersama label itu, ada dua album yang dia hasilkan, yakni No Standing (1984), dan For Earth and Heaven (1986).

Tantangan berikutnya adalah mengaransemen lagu-lagu terpilih untuk ditampilkan bersama orkestra. Nama pertama yang terlintas di benak Indra adalah Tohpati. Indra punya banyak kesamaan dengan gitaris itu. Mereka sama-sama main di kancah jazz, tapi juga gemilang menggarap musik pop. Tohpati juga berpengalaman merancang konser kolosal berdurasi panjang.

“Selera humor kami sama juga, he-he-he. Itu penting buatku,” kata Indra. Tohpati kebagian mengaransemen 20 nomor, misalnya beberapa lagu di era pop Indra Lesmana seperti “Aku Ingin” dan “Karina”. Selain Tohpati, Indra menggandeng Addie MS, Adra Karim, dan Indra Perkasa sebagai arranger.

“Aku ajak Mas Addie karena aku penggemarnya. Sebenarnya dulu aku skeptis dengan aransemen orkestra di musik pop Indonesia sempai aku dengar lagu ‘Burung Camar’. Aku suka banget. Aku cari tahu siapa yang mengaransemennya, ternyata Addie MS. Setelah itu aku selalu mengaguminya,” kata dia.

Hits pop vokal seperti 'Ekspresi' atau 'Aku Ingin' itu harus ada. Lagu yang kurang popular tapi penting buatku itu seperti 'Stephanie', dan 'LA' dari album yang dirilis MCA Records di Amerika (Serikat) karena sebagai highlights perjalanan karirku.

Regenerasi
Sementara Adra Karim dan Indra Perkasa dianggap Indra sebagai penerus arranger orkestra musik Indonesia di masa mendatang. Regenerasi pemusik di Indonesia sudah lama jadi pemikiran Indra. Ini adalah warisan pemikiran dari ayahnya.

“Ayah sering bilang, ‘In, Indonesia tidak akan kehabisan bakat, mungkin terhebat di Asia. Tapi kalau nggak didukung pendikan, sarana, dan komunitas yang baik, ya begitu-begitu saja.’ Aku setuju. Komunitas yang kuat bisa menghaislkan individu yang berkarakter. Bagiku, bikin sekolah musik bukan kasih pendidikannya saja, tapi lingkungannya juga, interaksi intens satu sama lain,” katanya.

Berbekal ilmu dari Conservatorium of Music di Sydney, Australia, dan berjejaring dengan pemusik jazz di Sydney dan Los Angeles, Indra diajak ayahnya mendirikan sekolah musik bernama Forum Musik Jack dan Indra Lesmana di Jakarta pada 1986. Beberapa murid awalnya adalah Dewa Budjana, Anto Hoed, mendiang Riza Arshad, dan Aksan Sjuman. Indra mengajar bidang improvisasi jazz.

“Sama murid-murid ini aku berteman karena sepantaran secara usia. Habis belajar, ya, aku ikut kumpul-kumpul. Aksan adalah salah satu yang paling akrab. Kami jadi berteman bukan hanya soal musik, tapi juga spiritual,” katanya. Komunitas yang terbentuk dari sekolah itu, harus diakui, mewarnai kancah musik dalam negeri sekarang.

Jack Lesmana meninggal dunia pada 1988. Kepergiannya meninggalkan lubang besar pada diri Indra. Dia berduka hampir dua tahun lamanya. Sekolah musik mereka berdua dihentikan karena Indra tak sanggup membawa beban nama besar sang ayah. Selama dua tahun itu pula dia tidak membuat album solo, periode yang cukup panjang bagi Indra yang produktif. Penampilan bersama band Krakatau dijalani sebatas sebagai anggota.

Sosoknya di depan panggung muncul lagi di tahun 1990 berkat album Aku Ingin yang bercorak pop. Indra menjadi penyanyi. Album itu sukses berat secara penjualan, yang katanya lebih dari satu juta kopi yang dilaporkan padanya. Saking larisnya, album itu dapat penghargaan dari BASF Awards. “Sebagai musisi jazz, penghargaan pertamaku justru dari album pop, ha-ha-ha,” tawanya berderai-derai.

Pada dekade ini, nama Indra Lesmana seolah jaminan kelarisan album pop dengan standar musikalitas tertentu. Album Cerita Lalu dan Biarkan Aku Kembali menempel di benak banyak kawula muda saat itu. Band Adegan pun menuai sukses. Indra juga sempat berduet dengan Gilang Ramadhan yang menghasilkan hit “Selamat Tinggal”. Album fusion yang patut dikenang dari dekade ini adalah dari band Java Jazz dengan lagu “Bulan di Atas Asia” yang dahsyat.

Sebagai musisi jazz, penghargaan pertamaku justru dari album pop, ha-ha-ha.
Menjelang akhir millenium, Indra mengaku jenuh bermain pop. Ia mengajak Aksan, Budjana dan Mates membikin proyek album Reborn (2000) yang seperti mengembalikan marwah Indra. Predikat sebagai musisi jazz menguat ketika menggarap musik untuk film Rumah Ketujuh (2003) yang kental nuansa swing itu.

Eksplorasi musikalitas Indra melebar ketika membikin grup ILP (Indra Lesmana Project) yang beraliran progresif metal pada 2018. Personilnya dia jaring dari pengikutnya di sosial media, yang umumnya berumur separuh dari dirinya. Di konser tunggal, ILP juga tampil memainkan dua lagu yang main kompleks karena iringan orkestra.

Orang-orang kunci di konser dan repertoar lagu jelas dipilih benar oleh Indra, menyesuaikan fase hidup, dan fase musikalitasnya. Dengan rentang karir 47 tahun, durasi pertunjukan sekitar tiga jam dirasa tak cukup. “Ini (konser) adalah perayaan kehidupanku dengan kalian dalam musik,” katanya. Setiap perayaan ada durasinya. Indra ingin orang-orang menikmatinya selagi bisa.

INDRA LESMANA
Lahir: Jakarta, 28 Maret 1966
  • Beberapa album penting:
  • Ayahku Sahabatku (1978)
  • No Standing (1982)
  • Tragedi (1984)
  • For Earth and Heaven (1986)
  • Karina (1986)
  • Kau Datang (Krakatau, 1988)
  • Aku Ingin (1990)
  • Bulan di Atas Asia (Java Jazz II, 1994)
  • Reborn (2000)
  • OST Rumah Ketujuh (2002)
  • Love Life Wisdom (LLW, 2011)
  • Sleepless Nights (2020)
  • In the Moment (2022)


No comments :