Budaya Pop




Dengan detail faktual yang tidak seragam, pembajakan karya warga bawahan oleh elite merupakan kisah abadi yang berulang dalam sejarah. Begitulah sejarah musik jazz, rap dan tarian break-dance. Juga tato dan celana robek.


Budaya pop bagian dari kehidupan khalayak urban sehari-hari. Yang ngepop datang dan pergi silih berganti. Semua itu biasa-biasa saja sepanjang abad. Wajar dan sah tanpa perlu diatur atau disahkan aparat negara.

Ceritanya jadi lain ketika suatu budaya pop menarik perhatian besar-besaran dari warga elite. Itu yang terjadi bulan lalu pada kegiatan remaja berlatar ekonomi pas-pasan di salah satu pusat keramaian Jakarta: Dukuh Atas. Kegiatan jalanan yang sebelumnya biasa saja mendadak jadi luar biasa sejak dinobatkan sebagai Citayam Fashion Week (CFW) oleh warga gedongan.

Kini debat CFW mulai mereda, terlepas apakah kegiatan di jalanan itu berlanjut. Seusai demam CFW itu berlalu, apa hikmah yang bisa diambil dari hiruk-pikuk sebulan terakhir? Jawabnya bisa beraneka, bergantung sudut pandang kita.

Bagi peminat kajian budaya pop seperti saya, bukan detail-detail fakta empiriknya yang paling penting. Sebab, popularitas kebanyakan budaya pop berusia pendek. Yang lebih menggoda untuk dikaji adalah posisinya dalam dinamika sosial berlingkup makro dan berjangka panjang.

Demam CFW itu gejala sesaat di permukaan. Namun, ia tidak hadir tiba-tiba lalu lenyap tanpa makna. Kasus semacam CFW bukan yang pertama. Sama sekali tidak unik. Berbagai kasus budaya pop lain memicu perdebatan serupa, misalnya dangdut.


Musik dan pentas dangdut punya sejarah panjang. Berpuluh tahun ia menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, khususnya kelas bawah. Sebagian ragam dangdut berselera norak, kasar, dan jorok jika dinilai dengan norma konservatif kelas menengah.

Sekitar 20 tahun lalu, Inul Daratista diidolakan sebagai salah satu primadona dangdut di berbagai kota di Jawa Timur. Tak ada kontroversi. Masalah baru muncul sejak Inul ditemukan oleh warga elite Jakarta dan diorbitkan di media nasional.

Di TV dan koran nasional, Inul mendadak lebih sering tampil ketimbang presiden RI. Pendapatan finansialnya berlipat ganda. Begitu juga caci maki dan ancaman dari yang pihak tidak suka padanya. Pentas Inul terlarang di beberapa kota.

Kegiatan remaja di penyeberangan zebra Dukuh Atas sudah berlangsung lebih dari setahun. Bincang nasional tentang mereka baru meledak belakangan setelah ada campur tangan dari warga yang lebih makmur. Kaum elite dan setengah elite berbondong ikutan acara mereka. Lalu lintas tambah macet. Di kota-kota besar lain warga yang hidupnya cukup makmur ikut bikin acara serupa CFW.

Ketika ada warga kelas gedongan mendaftarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) untuk CFW, mereka diejek sesama elite sebagai cara orang kaya merebut ciptaan orang miskin. Ejekan semacam itu perlu, tetapi kurang tepat. Sebelum ada yang mendaftarkan HAKI, sebagian besar martabat dan identitas acara jalanan itu sudah direbut warga kelas gedongan.

Kelas menengah gedongan tidak hanya mengangkat derajat CFW sebagai kata kunci di ruang publik nasional, tetapi juga kerangka debatnya. Perlu forum lain jika mau dikaji apakah hal itu berkah atau bencana. Yang jelas, gara-gara campur tangan warga gedongan tadi, kurang tepat jika CFW diromantisir sebagai kegiatan ”organik”.

Remaja pinggiran perintis CFW bukan sebuah komunitas ”organik” dalam pengertian ”murni” dan tidak ”tercemar” pengaruh pihak lain di luarnya. Suka atau tidak, kita semua sudah menjadi bagian ”organik” dari kapitalisme global. Pegiat CFW tidak terkecuali. Perlu ditambahkan, kita tidak setara walau sama-sama menjadi bagian organik dari kapitalisme. Secara mendasar kapitalisme hidup dari ketimpangan sosial.

Andaikan Inul dan CFW diabaikan warga elite, kegiatan mereka berjalan biasa. Tanpa hiruk-pikuk nasional. Apakah itu cita-cita mereka? Sangat mungkin sebaliknya. Mereka tidak berbeda dari kebanyakan dari kita yang berusaha meningkatkan nilai ”jual” masing-masing dalam bidang profesi berbeda-beda. Popularitas adalah kekuatan yang bisa diterjemahkan jadi harta atau kuasa.

Maka, tidak aneh dua gubernur ikut menumpang bergaya di CFW. Tidak kebetulan keduanya sering disebut dalam bursa pencalonan presiden RI 2024. Sama tidak anehnya ada presiden dan calon presiden RI yang menebar pesona dengan gitar. Yang satu suka musik pop, yang lain musik metal.

Seorang politikus menasihati pengusaha agar tidak serakah dan mengomersialkan CFW lewat HAKI. Nasihat ini mengingatkan kita pada kejadian tahun lalu. Ketika Greysia Polli dan Apriyani Rahayu meraih medali emas Olimpiade, para politikus berlomba memasang baliho raksasa ucapan selamat. Wajah mereka tampil norak di latar depan, sedangkan sepasang juara itu ditempel sebagai embel-embel di latar belakang.

Mengharap pedagang tidak serakah seperti mengharap politikus tidak munafik. Di mana-mana budaya jelata diabaikan elite. Jika sulit diabaikan, akan ditindas. Jika sulit diabaikan dan gagal ditindas, mereka dirangkul dan dikemas-ulang sesuai selera dan kepentingan elite. Nasib dangdut dan CFW contohnya. Tidak unik.

Dengan detail faktual yang tidak seragam, pembajakan karya warga bawahan oleh elite merupakan kisah abadi yang berulang dalam sejarah. Begitulah sejarah musik jazz, rap, dan tarian break-dance. Juga tato dan celana robek sebagai gaya hidup urban di kalangan elite gedongan.

Jangankan CFW. Bahkan, reformasi berdarah-darah 1998 begitu mulus dibajak elite dari rezim yang digempur gerakan massa waktu itu. Agaknya ada yang terkaget-kaget lalu menilai CFW sebagai peristiwa luar biasa. Disebut sebagai perlawanan budaya. Bahkan, ada yang membahasnya sebagai subversi atau revolusi.

Bila demam CFW sudah basi bulan depan dan ternyata tidak ada perubahan sosial besar-besaran berbulan-bulan kemudian, apakah komentar menggebu semacam itu masih ada yang ingat? Banyak orang pendek ingatan. Mereka terkejut setiap kali ada produk baru budaya pop. Sebagian terkejut dengan risau, yang lain terpesona.

Nasib budaya pop penuh pengulangan walau rincian detailnya beraneka. Yang populer cepat berganti, kecuali setelah dikemas ulang dan dijinakkan elitenya. Detailnya beraneka, tetapi kisah mereka merupakan gejala sesaat dalam masyarakat yang timpang berkelanjutan.

Ariel Heryanto

Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia

Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ

No comments :