Taman Ismail Marzuki sekarang telah memiliki warna baru, beberapa fasilitas umum seperti galeri, perpustakaan, dan lain-lain juga tampil lebih menarik dengan berbagai kegiatan seni budaya, salah satunya digelar oleh Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta yaitu pameran "Tribute to Urban Masters: Sapardi Djoko Damono & Wagiono Sunarto". Cerita tentang pameran ini saya baca di Minggguan Tempo, 1-7 Agustus 2022 yang ditulis oleh Seno Joko Suyono. Di bawah ini sedikit cuplikannya.
Program Pascasarjana Insitut Kesenian Jakarta menampilkan pameran "Tribute to Urban Masters: Sapardi Djoko Damono & Wagiono Sunarto" di Taman Ismail Marzuki. Membaca ulang perjalanan kesenimanan dua mendiang tokoh besar yang pernah mengajar di Pascasarjana IKJ.
Foto kecil hitam putih di sela-sela dinding yang memasang karya-karya (almarhum) Wagiono Sunarto itu mencuri perhatian. Foto tersebut menampilkan sekawanan mahasiswa seni rupa Institut Teknologi Bandung pada 1970-an. Terlihat empat mahasiswa dan seorang mahasiswi. Salah satu mahasiswa memiliki rambut kribo ala Gito Rollies, Ucok AKA, Achmad albar, atau Deddy Stanzah pada era itu.
Foto itu dipakai Wagiono sebagai dasar bagi tiga karya cetak saringnya. Tampak Wagiono bereksperimen dengan gelap-terang. Satu karya menampilkan lekuk tubuh dan kostum lima sosok anak seni rupa ITB itu dengan garis hitam, sementara untuk dasar cetakan semua terang. Adapun karya kedua seperti negatif foto. Mata, garis tubuh, dan garis kemeja berwarna putih tapi dengan dominasi dasar hitam. Akan halnya yang ketiga, baik tubuh, kostum, maupun latar dibuat gelap sehingga sosok-sosok itu serupa siluet.
Banyak hal yang tak terduga dalam pameran arsip "Tribute to Urban Masters: Sapardi Djoko Damono & Wagiono Sunarto" yang berlangsung di Gedung Panjang Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Di kampus keduanya dikenal sebagai akademikus cum seniman yang membaur ke segala lapisan.
Arsip milik Sapardi sendiri termasuk langka. Enam boks kaca menampilkan manuskrip buku tulis milik Sapardi, tempat dia menulis sajak-sajaknya selama 1958 sampai akhir 1960-an. Buku tulis sederhana keluaran pabrik kertas Leces itu terlihat sudah rapuh, tapi masih jelas menampilkan goresan tangan Sapardi. Menggunakan bolpoin hitam, Sapardi menulis sajak-sajaknya dengan huruf yang sangat kecil --hampir tak terbaca.
Saat menjadi mahasiswa Sapardi masih menuliskan sajak-sajaknya di atas buku-buku skrip itu. Ia baru punya mesin tiksaat sudah bekerja. Tampak tulisan tangan sajak Sapardi rapi dan teliti seperti menulis halus.
Penyajian panel arsip-arsip ini dirancang oleh Rektor IKJ Dr Indah Tjahjawulan. Dipamerkan pula manuskrip cetakan stensilan ketikan sajak Sapardi yang dibacakan Sapardi di Universitas Diponegoro pada Januari 1972.
Infografis riwayat Wagiono dan Sapardi membantu pengunjung memahami perjalanan mereka sebagai seniman. Wagiono juga aktif terlibat dalam gerakan-gerakan seni. Diantaranya Gerakan Seni Rupa 1975-1977 dan Persatuan Seniman Gambar Indonesia. Wagiono pada 1990-an juga aktif membuat poster sosial bernada kritis, dari kritik terhadap pencemaran lingkungan, permukiman padat, produksi ikan di teluk Banten yang menurun, sampai isu kesehatan.
Wagiono agaknya juga tertarik mengolah imaji-imaji dunia wayang dengan semangat main-main, jenaka, dan kritis. Sampai menjabat Rektor IKJ 2009-2016 Wagino tidak berhenti berkarya, ia terus memproduksi kalender, poster, artwork, ilustrasi, dan kartun.
Akan halnya Sapardi Djoko Damono mulai menulis ssajak pada 1957. Dua sajak awalnya yang berjudul "ulang tahun" dan "Liburan". Manuskrip buku kumpulan puisi pertama Sapardi, Dukamu Abadi, sajak-sajak 1967-1968 yang terbit pada 1970-an tampak juga disajikan di pameran.
Yang menarik, dalam pameran ini, panitia Pascasarjana Institut Kesenian jakarta menyajikan panel-panel yang mengkolaborasikan. Sapardi Djoko Damono dan Wagiono Sunarto, keduanya tidak pernah berkerja sama namun panitia membuatnya untuk kebutuhan pameran.
No comments :
Post a Comment