1 OKTOBER




Kalaupun tuntutan penuntasan Tragedi Kanjuruhan itu terpenuhi, ia merupakan reaksi keras pada kasus besar. Namun, tindakan itu tidak membongkar akar masalah struktural yang sudah kronis dalam sejarah nasional.

Ada yang lebih mengerikan daripada kisah gas air mata dan besarnya jumlah korban dari Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022. Yang paling mengerikan: tragedi itu seharusnya bisa dihindarkan. Hingga kini berbagai kajian rinci tidak menemukan alasan mengapa tembakan gas air mata diobral ke tribune penonton.

Bukan saja gas air mata terlarang digunakan di sana. Yang lebih memilukan: tak ada situasi gawat yang membutuhkan satu pun tembakan terlarang itu. Tak ada tawuran antar-suporter. Tak ada serbuan massa yang mengancam nyawa pemain atau petugas.

Tidak semua kekerasan negara bisa dibenarkan sekalipun dampaknya membawa manfaat bagi negara atau masyarakat umum. Ada kekerasan yang tidak bisa dibenarkan karena kadarnya berlebihan. Apalagi, kekerasan yang bersifat acak atau membabi buta, yakni kekerasan yang diobral tanpa alasan, tujuan, atau keuntungan bagi pelakunya atau siapa pun.

Sebesar apa keuntungan yang dicari pihak di balik pembunuhan Udin, Marsinah, atau Munir? Sudahkah proses hukum diusahakan maksimal untuk memberi keadilan bagi semua kasus itu? Apakah Orde Baru tidak bisa bangkit tanpa pembantaian hampir sejuta anak bangsa setelah Soeharto menaklukkan G30S pada 1 Oktober 1965?

Pertengahan Mei 1998 Jakarta terbakar oleh ledakan amunisi yang lazim di medan perang. Penjarahan dan perkosaan massal marak selama 48 jam nyaris tanpa hambatan dari aparat. Adakah keuntungan besar yang dicari atau diperoleh sebagian elite negara? Jika ada, betapa kejinya. Jika tidak, betapa mengerikan kekerasan acak itu!

Obral kekerasan acak atau tanpa alasan yang sepadan dengan akibat yang bisa diduga sebelumnya bisa terjadi bahkan berulang-ulang jika kondisi memungkinkan. Misalnya bila ada pihak yang menikmati impunitas. Mereka merasa kebal hukum, maka tak khawatir sanksi hukum. Kalaupun diadili,mereka yakin akan dibebaskan. Jika terdesak tekanan massa atau tekanan internasional, mereka hanya meminta maaf. Kalau perlu, beberapa orang kecil ditumbalkan sebagai ”oknum”.

Kita terpaksa berdamai dengan aneka bahaya yang tak mampu kita taklukkan, misalnya Covid, korupsi, dan impunitas. Tragedi Kanjuruhan mungkin tidak terjadi, atau terjadi tidak separah itu, jika berbagai kasus kekerasan di sekitar pertandingan sepak bola sebelumnya diusut tuntas. Berbagai kasus lama itu sendiri tidak terulang andaikan berbagai kekejaman berat lain di luar lingkungan sepak bola sudah ditindak tegas, adil, dan tuntas secara hukum.

Tragedi 1 Oktober 2022 di Kanjuruhan menguji penegakan hukum dan kesabaran bangsa. Langkah awal pemerintah dan berbagai lembaga swasta layak dihargai. Semoga kasusnya diusut tuntas dan yang bersalah dihukum setimpal.

Namun, kerugian para penyitas dan keluarga korban tidak terlunasi oleh ganti rugi sebesar apa pun. Tuntasnya satu kasus itu juga tidak membasmi habis akar masalah yang memungkinkan obral kekerasan. Tragedi Kanjuruhan bukan kasus tunggal yang lepas dari sejarah kekerasan nasional.

Kunci kejayaan Indonesia di masa depan terletak pada pembenahan radikal dalam bidang hukum dan pendidikan. Pendidikan membuka peluang selebar-lebarnya bagi pertumbuhan kreatif anak bangsa. Hukum menutup serapat mungkin peluang dan bakat kita yang bersifat merusak.

Pendidikan berlangsung tidak hanya di sekolah. Hukum tidak terwujud sebatas ruang pengadilan. Keduanya dihayati warga dalam aneka ruang dan ragam, termasuk kehidupan sehari-hari di rumah tangga, tempat kerja, juga lapangan sepak bola.

Perombakan hukum dan pendidikan tidak mudah. Dibutuhkan kerja sama berbagai pihak berjangka-panjang, selain dana besar. Dana bukan masalah besar bagi Indonesia. Dibandingkan dengan banyak negara lain, Indonesia terbilang makmur walau kemakmuran itu tidak merata. Yang lebih sulit diharapkan adalah komitmen bersama bagi perbaikan radikal dalam bidang hukum dan pendidikan.

Di mana pun hukum cenderung bias menguntungkan elit. Tak ada insentif bagi mereka untuk merombaknya secara radikal karena itu berisiko ”bunuh diri” secara politis dan ekonomis. Kaum elite memiliki peluang terbesar, tetapi bukan minat besar untuk investasi pendidikan nasional berjangka panjang.

Pendidikan cemerlang di banyak negara merupakan kerja keras yang hasilnya baru bisa dinikmati beberapa generasi kemudian. Kebijakan demikian membutuhkan negarawan berwawasan jauh ke depan. Sosokdemikian bisa lahir dari tuntutan mayoritas pemberi suara dalam pemilu, yang disambung dukungan, pantauan dan evaluasi dari lembaga independen seusai pemilu.

Kebijakan berkiblat masa depan sulit diharapkan bila debat publik terpusat pada sosok personal individu politikus, agamanya atau etnisitasnya. Jika setiap pergantian pemerintah terjadi perubahan kebijakan pendahulunya. Jika ambisi pejabat negara terpusat pada prestasi jangka pendek, sesuai tuntutan masyarakat akan hasil instan dari setiap pemerintah.

Membandingkan prestasi satu pemerintahan dengan pendahulunya sebatas masa jabatan merupakan kebiasaan buruk. Kinerja sebuah rezim sering ditentukan oleh warisan prestasi dan masalah dari pendahulunya.

Sepuluh hari sebelum Tragedi Kanjuruhan, Presiden Jokowi membentuk tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran berat HAM masa lalu. Keputusan itu menimbulkan dua kesan. Pertama, Presiden tidak percaya lembaga peradilan mau atau mampu menuntaskan masalah itu, maka diambilnya jalan pintas. Kedua, impunitas akan berumur panjang bagi yang punya koneksi kuat.

Kini banyak pihak menuntut kasus Kanjuruhan diusut tuntas. Kalaupun tuntutan itu terpenuhi, ia merupakan reaksi keras pada kasus besar. Namun, tindakan itu tidak membongkar akar masalah struktural yang sudah kronis dalam sejarah nasional. Maka ia tidak dengan sendirinya mengakhiri impunitas dan obral kekerasan.


Apa pun hasilnya, proses hukum kasus Kanjuruhan itu akan menjadi pelajaran nasional di luar sekolah tentang makna berbangsa dan bernegara. Apakah tanggal 1 Oktober layak diperingati dengan kibaran bendera nasional di puncak tiang sebagai warisan Orde Baru? Atau diturunkan setengah tiang untuk menge
nang para korban tragedi nasional?

No comments :