Warung Kopi, Roda Ekonomi Banda Aceh


Kupi Sareng Aceh

Warung kopi bukanlah sekadar tempat nongkrong. Warung kopi adalah ruang publik dan urat nadi ekonomi kota. Perputaran uangnya mencapai ratusan juta sehari. Tanpa warung kopi, Banda Aceh terasa sangat sepi.

Masuk ke warung kopi Zakir Kupi di Lamprit, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, Dharma Putra (31) langsung menuju ke meja yang berada di sudut. Beberapa menit kemudian minuman sanger panas mendarat di atas meja.

“Tidak perlu pesan, barista sudah tahu saya minum apa,” kata Dharma, Jumat (24/2/2023).

Sang barista Hasannusi (31), bukan hanya tahu Dharma gemar minum apa, tetapi juga takaran sehingga sanger racikannya selalu membuat Dharma ingin kembali ke warung kopi itu.

Sanger adalah racikan kopi paling populer di Aceh setelah kopi hitam. Sanger merupakan paduan kopi, susu, dan gula dengan komposisi kopi lebih dominan. Meski manis susu dan gula terasa, tetapi rasa kopi tetap lebih kuat.

Sebagai marketing di perusahaan otomotif Dharma lebih banyak menghabiskan waktu di warung kopi. Bertemu calon pembeli lebih enak di warung kopi daripada di kantor, tidak terkesan formal. Dalam sehari minimal dia menghabiskan tiga atau empat gelas kopi sanger, setara dengan Rp 20.000.

Alasan memilih Zakir Kupi sebagai tempat ngopi karena sanger yang diracik oleh Hanannusi pas untuk mulut dan lambungnya. Beberapa kali dia pindah warung kopi, tetapi belum dapat sanger yang sesuai selera.

Warung Zakir Kupi di Lamprit berada di tengah kota, pusat perkantoran. Warung ini nyaris tidak pernah sepi. Suara bising kendaraan berpadu dengan tawa pengunjung membuat suasana selalu ramai. Warung buka pukul 07.00 tutup pukul 24.00 dini hari.

Zakir Kupi berkembang sangat pesat. Dibuka pada 2009, kini Zakir Kupi punya lima cabang. Dalam sehari Zakir Kupi dikunjungi 800 hingga 1.000 orang. Perputaran uangnya mencapai Rp 80 juta hingga Rp 100 juta per bulan.

Pengelola Zakir Kupi Lamprit Taufik Akbar (33) menuturkan warungnya punya pelanggan tetap. Dari 100 pengunjung 70 orang pelanggan tetap, sisanya orang baru.
Taufik merawat pelanggan dengan menyajikan kopi sesuai kemauan pelanggan. “Barista harus hafal kebiasaan kopi pelanggan karena itu barista tidak boleh ganti-ganti,” kata Taufik.

Hasannusi telah bekerja di Zakir Kupi sebagai barista sejak 2014. Posisinya di dapur racik belum tergantikan. Dia mendapatkan upah lebih besar dari karyawan lain, sebab di tangannya kepuasaan pelanggan ditentukan.

Zakir Kupi khusus menyajikan kopi saring menggunakan bubuk kopi robusta. Zakir Kupi tidak menjual kopi arabika. Boleh dikatakan Zakir Kupi masih mempertahankan warung kopi gaya tradisional.

Sebulan, sebanyak 200 kilogram bubuk kopi habis. Biji kopi dibeli dari petani di Gayo, tetapi disangrai di Banda Aceh oleh keluarga yang memiliki usaha pengolahan bubuk kopi.

Bukan hanya Zakir Kupi, warung kopi lain di Banda Aceh juga nyaris tidak pernah sepi pengunjung. Masing-masing warung punya pelanggannya sendiri. Bahkan prospek bisnis warung kopi masih cukup cerah.

Alasan ini pula yang mendorong Fakhri (29) memutuskan untuk membuka warung kopi. Dengan modal Rp 500 juta patungan bersama tiga teman, jadilah Haw Haw Kupi.
Haw Haw Kupi baru berusia empat bulan, tetapi penjualan cukup tinggi. Fakhri optimis modal setengah miliar akan kembali dalam dua atau tiga tahun. “Sebulan penjualan kotor mencapai Rp 100 juta. Kami mengandalkan kopi robusta atau kopi saring,” ujar Fakhri.

Sebagai konten kreator dan pekerja sosial, Fakhi memiliki banyak teman di komunitas. Saat Haw Haw dibuka teman-temannya menjadi pelanggan pertama.

Jika Zakir Kupi bertempat di ruko, Haw Haw menawarkan ruang terbuka yang luas cocok tempat ngumpul komunitas, tetapi kekurangannya jika musim hujan, pengunjung seret.

Warung kopi telah menjelma menjadi roda penggerak ekonomi kota. Warung kopi bukan hanya tempat ngopi, tetapi juga transaksi bisnis lain. (Mimiasri Aldian)


Haw Kupi



Dampak domino
Selain sebagai ruang publik, warung kopi juga menjadi roda penggerak ekonomi warga kota. Warung kopi telah menjadi tumpuan hidup bagi warga.

Zakir Kupi misalnya, selain memiliki 14 karyawan mulai dari barista hingga pelayan, mereka juga menyediakan 10 lapak bagi penjual makanan dan menampung titipan kue basah dari 20 usaha. Sedangkan Haw Haw Kupi menampung sekitar 30 orang pekerja dan pedagang makanan.

Satu warung kopi saja telah menghidupi puluhan orang. Sementara Banda Aceh memiliki ratusan warung kopi. Ribuan orang bergantung hidup di sana.

Data dari Dinas Pariwisata Banda Aceh, tahun 2023 menunjukkan, jumlah warung kopi atau cafe yang terdaftar mencapai 303 unit, bertambah dari 230 unit pada 2017. Namun, warung kopi skala kecil yang tidak terdaftar jauh lebih banyak.

Dalam 10 tahun terakhir warung kopi tumbuh sangat cepat. Warung kopi tumbuh berserakan di semua sudut kota. Beberapa warung kopi berdiri saling bersebelahan, namun masing-masing punya konsumen sendiri.

Dosen Kewirausahaan Universitas Muhammadiyah Aceh Mimiasri Aldian menuturkan pascarehabilitasi dan rekonstruksi bencana tsunami 2004, warung kopi telah menjelma menjadi roda penggerak ekonomi kota. Warung kopi bukan hanya tempat ngopi, tetapi juga transaksi bisnis lain.

Warung kopi juga mendorong pertumbuhan usaha kecil menengah. Produk usaha rumahan menjadikan warung kopi sebagai outlet bersama.

Kontribusi pendapatan domestik regional bruto (PDRB) Kota Banda Aceh dari sektor penyedia akomodasi dan makan minum pada tahun 2019 mencapai 4,47 persen. Aktivitas di warung kopi sempat menurun saat pandemi Covid-19, namun kini sudah ramai kembali setelah Covid-19 melandai.

Kepala Dinas Pariwisata Banda Aceh Said Fauzan mengatakan meski Banda Aceh bukan daerah penghasil kopi, tetapi kopi gayo kualitas terbaik ada di Banda Aceh. Bahkan budaya ngopi telah tumbuh menjadi komoditas wisata unggulan di Banda Aceh.
Sebagai bentuk dukungan pada usaha itu, setiap ada acara, pemerintah selalu menghadirkan warung kopi. Bahkan pemerintah juga menggelar festival kopi sebagai ajang apresiasi untuk kopi.

“Sebagian besar wisatawan kalau ke Banda Aceh pasti mencari kuliner kopi dan membeli kopi sebagai souvenir,” kata Said.

Pernyataan Said tidak berlebihan. Salah seorang wisatawan asal Sumatera Selatan, Rudi Setia (31), menuturkan dia menemukan kopi paling enak di Banda Aceh. “Sekarang kalau di Aceh saya minum tiga atau empat gelas kopi sehari,” ujar Rudi.


 

No comments :