Peni Candra Rini Persembahkan Semiopera "BHUMI Giri Bahari"

(KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
Konser gamelan semi opera "BHUMI - Giri Bahari" oleh komposer perempuan dari Solo, Peni Candra Rini, digelar di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (29/9/2015) lalu pukul 19.30 WIB. Dalam pegelaran yang terbuka untuk umum ini, Peni menyajikan 10 komposisi gamelan yang menggali gending tradisi dikombinasikan dengan komposisi kontemporer sebagai narasi panjang tentang nusantara.

Sejumlah karya dia ciptakan dalam rangka tema Bentara Budaya tahun 2015, "Jayagiri Jayabahari." Antara lain syair lagu Syair lagu yang menyiratkan kekayaan, kebesaran, dan kejayaan bangsa Indonesia sebagai berikut:

Doa dan harapan untuk kejayaan pertiwi sang Ibu Bhumi
Rahim Bhumi Indonesia, yang menyatu dalam lingkaran cincin api
Gunung yang menumbuhkan asam dan lautan yang melahirkan garam
Di garis jantung khatulistiwa yang membentang sebagai busur bangsa
Ketika sang ratu bersabda untuk kemuliaan dan kejayaan Giri Bahari
Jaya raya sang negeri Giri bahari
Pesat, menyusup mega, tinggi
Jaya raya Garuda menjadi kompas dunia
Jayalah Indonesia

Peni Candra Rini dilahirkan dari keluarga seniman tradisi. Darah seni teralir dari kakek buyutnya yang bernama Seran, seorang pemain musik gender yang terkenal di daerahnya. Lalu menurun ke kakek dan ayahnya yang kemudian menjadi dalang bergelar Ki Wagiman Gandha Carita. Sejak kecil Peni lekat dengan suara gamelan dan tembang, apalagi sering diajak menjadi sinden bila ayahnya pentas dalang. Hal inilah yang semakin mengasah kemampuan bermusiknya.

Kepiawaiannya menyinden, membuatnya memenangi sejumlah kompetisi dari tingkat sekolah, kecamatan hingga tingkat nasional. Tahun 2008 ia meraih silver medal for the best vocal performance pada The Spring Friendship Art Festival, Pyongyang, Korea Utara, 2008.

Menikah dengan Alam

(KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
Konser gamelan semiopera Bhumi membuka pikiran tentang persoalan penting dari kekayaan tradisi Nusantara yang terus terpinggirkan. Tradisi dan seni tradisi akan terus bermakna jika dibarengi praksis pengetahuan relevan. Jauh dari soal kepraktisan.

Komposer Peni Candra Rini (32) melakukan riset untuk 10 komposisi gending ini selama hampir dua tahun di tengah kehamilan dan melahirkan anak lelaki pertama yang amat dikasihinya serta jadwal ketat mengajar komposisi gamelan, vokal, dan koreografi serta lokakarya di sejumlah universitas di Amerika, Eropa, dan Asia.

”Tradisi—seperti seni gamelan ini—akan terus kontekstual kalau kita mempelajarinya serius. Saya beruntung bisa belajar terus tentang kekuatan tradisi musik gamelan yang di negeri kita sendiri malah disia-siakan,” ujar Peni seusai pergelaran.

Ia mulai ruang pertunjukan gelap. Dari arah penonton, 10 pemusik dan Peni masuk dengan lilin menyala di tangan. Dua orang menenteng bokor kembar mayang (hiasan janur untuk upacara perkawinan adat Jawa). Saat lilin terakhir ditiup mati, gema ”Giri Bahari” pelan masuk. Bunyi gong yang mendahului—sesuatu yang jarang dalam komposisi gamelan klasik—dipertemukan dengan tayangan grafis ”Bhumi” dan lirik gending di kain penutup bagian belakang panggung berisi ikhwal terbentuknya samudra dan gunung api Nusantara.

Pada komposisi ketiga, ”Kidung Kinanthi”, yang mengandalkan kontrabas di awal, lalu disambut sitar, gambang, dan bonang, pencapaian laras kidung doa untuk para arwah leluhur dan bumi pertiwi terasa sangat intens. Bayangan ”opera” tersirat dalam olah vokal Peni yang berubah-ubah karakter dan meluncur dalam nuansa gairah dalam ”Bedhaya Watu”. Komposer dan koreografer kelahiran Pacitan, Jawa Timur, itu demikian mengisap dengan senyuman, ukelan tangan, dan vokal yang sengaja bening melulu pada komposisi ini. Apalagi, ia ditolong talu-talu ketukan bunyi kemanak yang bergontai, disisipi saron dan ketukan gambang,seolah mengiringi langkah pengantin yang bersukacita.

”Kita harus menikah dengan alam, menjadi satu supaya kita tidak menyakitinya,” kata Peni menerangkan penggalan karya itu saat jeda ke sesi kedua. Rangkaian gending ”Giri Bahari”, ”Kanjeng”, ”Keraton”, ”Kidung Kinanthi”, dan ”Bedhaya Watu”, lima komposisi yang menjadi bagian pertama Bhumi.

”Sinden dan gending di Indonesia mengejar kepraktisan. Duit terus ukurannya. Jarang ditampilkan hanya semata untuk seni suara dan seni komposisi. Tradisi jadi alat, pelengkap, cara untuk perayaan, atau kegiatan politik. Seharusnya jadi ruang belajar dan pencarian jati diri.”

(KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
~ o 0 o ~

Sumber:

Kompas, 29/9/2015
Kompas, 30/9/2015

Andien Bermetamorfosa



Pada 15 September 2015 lalu, Andien Aisyah bermetamorfosa di Jakarta Convention Center Plenary Hall selama 3 jam lebih. Stamina Andien sedang pada puncaknya. Selama 3 jam penuh bernyanyi dan berceloteh. Tribute to Elfa Seciora, sangat memukau. Secara visual dan audio Metamorfosa berhasil memanjakan mata dan telinga.

Pemilihan lagu bagus, suara bagus, pendukung acara bagus dan last but not least fashion prima. Yang istimewa adalah kostum Andien yang dirancang oleh 5 perancang. Puncaknya adalah gaun merah pada akhir pertunjukan. Andien sungguh anggun dan dinamis.

Saya mengenal Andien sejak usia belia dan bakatnya sudah sangat tajam terlihat. Hingga sekarang Setelah melewati 15 tahun berkarir Andien menjadi sangat matang di dunia hiburan Indonesia. Konser tunggalnya ini bekerja sama dengan 5 musisi, Nikita Dompas, Ali Akbar, Aghi Narotama, Dandy Lasahindo dan Rishanda Singgih. Lima desainer, yaitu Didi Budiardjo, Sapto Djojokartiko, Mel Ahyar, Danjyo Hiyoji dan Tri Handoko. Dukungan penuh untuk konser megah ini juga diberikan oleh lima bintang tamu antara lain Teza Sumendra, GAC, The Cash, Yovie Widianto, serta Llyod Pop featuring Kevin Julio.

Saya tidak akan lupa pada saat Andien di SMP, saya bersama Elfa Secioria mengajak Andien melantunkan lagu My Funny Valentine. Setelah itu, kita dari waktu ke waktu bersosialisasi dalam berbagai kegiatan. Sayang sekali pada saat Andien menikah di Pine Forest, Maribaya saya tidak bisa hadir karena sedang di Gunung Rinjani.

Terus berkiprah, Andien!



English Conversation Club - Institute of Technology Bandung: Friendship and Peace



Pada saat bersekolah di SMP Negeri 2 Bandung, saya memperoleh pelajaran bahasa Inggris dari guru Alex Sahetapy. Entah kenapa saya dengan teman sekelas Yusuf Effendi sangat menyukai pelajaran itu, lisan maupun tulisan. Mungkin beliau mengajar dengan cara yang menggembirakan dan mudah. Yusuf Effendi sekarang seorang dokter di Jakarta dan menikah dengan teman sekelas kami juga, Hera Rifai, juga seorang dokter.

Kemudian saya masuk ke SMA Negeri 2 Bandung dan tidak ada kesan khusus mengenai pelajaran bahasa Inggris saat itu. Baru setelah saya masuk ITB tahun 1965 dan turut dalam gerakan penumbangan Orde Lama, para mahasiswa membuat berbagai aktifitas di kampus antara lain pendirian Student Center ITB bersama para sahabat; Bangun S. Kusmuljono, Hermen Makbul, dan lain-lain, atas sumbangan para simpatisan antara lain Sudarpo Sastrosatomo, A. Bakrie, Pertamina, Kepala Staff Angkatan Darat, dan lain-lain.

Adik kelas kami Egon Arifin yang dibesarkan di luar negeri bersama Aswin Lubis, aktifis, mendirikan English Conversation Club. Di situlah saya dan juga Fadel Muhammad, aktif kembali dalam kegiatan meningkatkan kemampuan dalam berbahasa Inggris.

Dalam suasana ekonomi yang masih prihatin hampir semua acara dilakukan di Aula Barat tanpa sponsor.

Gedung Student Center ITB saat ini (sekarang disebut Campus Center).
(sumber gambar)


Belajar dari Yus Rusamsi

Masih di SMP Negeri 2 Bandung, saya mendapat pelajaran menggambar dari Yus Rusamsi. Belakangan ia menjadi penulis dan menjadi pelukis. Sampai usia senja dia tekun melukis malah bulan yang lalu beliau menggelar pameran lukisan di Balai Budaya, Jakarta, mungkin yang terakhir karena penglihatannya sudah sangat terganggu. Karya terbaiknya dikoleksi di Gedung Energi dan di kediaman kami.

Gaya lukisannya naturalis, alam Parahyangan dengan detil.

Salah satu karya Yus Rusamsi
(sumber gambar)

Rumah Tebing di Tepi Kali Cikeas

Tanah bertebing di tepi sungai yang biasanya dihindari orang justru dicari pasangan Aranggi Soemardjan (41) dan Fransiska Oetami. Kontur tanah ini memungkinkan mereka mengadaptasi gaya rumah impian mereka yang terinspirasi dari rumah-rumah di Pulau Santorini, Yunani.

Fasad bagian belakang

Untuk mengikuti keseimbangan tanah yang sudah tercapai di lahan berkontur tidak rata ini, Aranggi atau Anggi menggali sedikit tanah yang kemudian dipindahkan ke tebing untuk retensi alias penahan. Di tempat ini kemudian dibangun fondasi yang menggunakan tiang pancang berkedalaman hampir 30 meter hingga ke dasar tebing. Hal itu dimaksud agar fondasi mampu menopang bangunan tiga lantai yang ia bangun.

Untuk dinding bagian luar, digunakan bata hebel yang ringan. Sementara dinding bagian dalam dibuat dari gypsum yang membentuk dinding tebal tetapi kosong di bagian dalam. Dalam perhitungan Anggi, kalaupun terjadi tebing longsor, rumah masih mampu tegak berdiri.

Pintu-pintu lengkung berwarna biru, jendela berbentuk lingkaran, serta dinding berwarna putih bersudut tumpul dengan tekstur tidak rata memperkuat kesan gaya Santorini. Ini masih ditambah dengan tangga melingkar yang dibatasi dinding dengan ketinggian berundak. Beberapa bagian dibuat menjorok ke dalam dinding, misalnya ruang perpustakaan, ruang makan, dan ruang untuk menaruh lemari pendingin.

”Meskipun belum pernah ke Santorini, suka saja dengan gaya rumah-rumah di sana. Kena di hati,” kata Anggi yang pernah tinggal 10 tahun di San Diego, Amerika Serikat, untuk kuliah dan bekerja.

Kamar tidur Anggi-Siska dan anak bungsunya yang bersisian dibuat menghadap tebing dengan dinding kaca yang dibuat dalam bentuk pintu lipat. Lantai kamar dilapisi vinil bermotif kulit kayu. Di atas lantai itu, Siska bersama anak bungsunya biasa melakukan yoga setiap pagi.

Teras kamar dibentuk setengah lingkaran dengan lantai kayu besi yang tahan rayap dan terpaan cuaca. Deretan pepohonan yang membentuk hutan kecil menjadi pagar alami yang tumbuh di atas tebing menuju bantaran Kali Cikeas. ”Kadang-kadang masih terlihat ular, burung elang, dan sriti di hutan itu. Ada pula yang pernah melaporkan lihat biawak di sungai,” ungkap Anggi.

Bagian paling bawah atau basement rumah digunakan sebagai kantor Anggi dan Siska, sekaligus Sekolah Coding Clevio yang dirintis keduanya sejak dua tahun lalu. Lantai satu digunakan sebagai ruang keluarga dengan ruang tamu dan tiga kamar tidur.

Sementara lantai paling atas khusus digunakan untuk keperluan lebih umum. Anggi dan Siska biasa menjamu tamu dan relasi mereka di lantai itu. Lantai ini bisa diakses lewat tangga di bagian luar atau dalam rumah. Ada sepasang sofa merah dan hijau di depan televisi yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga, dapur, dan meja makan. Sofa merahnya sudah mengikuti Anggi berpindah-pindah tugas ke sejumlah negara. Ia selalu membawa serta perabot rumahnya saat harus pindah ke negara lain. Di bagian luar, sebuah ayunan menemani meja yang biasa digunakan Anggi ngupi-ngupi di pagi hari atau mengobrol dengan tamunya.

Perspektif lingkungan

Teras balkon

Sudut ruang makan

Anggi mendesain rumah ini didampingi sang ibu yang seorang arsitek. Latar belakang Siska yang kuliah di jurusan teknik lingkungan memberi perspektif lingkungan pada rumah ini. Ada banyak jendela di rumah ini yang membuat ruangan-ruangan cukup mendapat sinar matahari.

Anggi cukup detail menggarap rumahnya. Warna cat pintu yang biru atau warna cat yang disapukan pada lantai sengaja dibuat tidak rata. Demikian pula tekstur permukaan dinding gypsum-nya dibuat tidak rata agar terkesan alami. ”Biar kesannya empuk, enak dilihat, enggak kaku. Justru ketidaksempurnaan itu yang bikin homey,” kata Anggi yang kuliah di bidang teknik industri dan teknologi informasi di San Diego.

Pengalaman Anggi dan Siska tinggal di San Diego yang lahannya berbukit-bukit dan tandus membuat keduanya menyukai rumah-rumah tebing. Tak heran, keduanya menamakan rumah mereka sebagai Rumah Tebing.

Semula, Anggi ingin membuat ada bagian rumahnya yang menonjol ke arah tebing. Namun, karena sulit mencari kontraktor yang bisa mewujudkan keinginannya, niat itu untuk sementara diurungkan. Anggi masih menyimpan impian membuat jembatan yang menghubungkan rumahnya langsung dengan tepi sungai. Dengan begitu, orang yang melalui jembatan akan mendapat pemandangan hutan dari atas.

Rumah ini selesai dibangun tahun 2009 di atas lahan seluas 1.000 meter persegi yang berlokasi di salah satu sudut kluster perumahan Riverside, Cimanggis, Kabupaten Bogor. Tanah ini dibeli Anggi tahun 2005 setelah kembali ke Tanah Air. Ia ditunjuk sebagai CEO ThyssenKruppe Elevator untuk wilayah Indonesia setelah bekerja lima tahun di cabang perusahaan itu di San Diego.

Meski begitu, Anggi sekeluarga tak langsung menempati rumah itu karena kemudian ditugaskan ke Tiongkok dan Singapura. Baru tahun 2012 mereka tinggal di Rumah Tebing. Dari total luas lahan, tak sampai 25 persen areal tanah yang digunakan sebagai tapak bangunan. Anggi dan keluarga menyukai halaman dan taman yang luas.

Penanda awal sejarah mereka bersama rumah ini adalah tapak kaki keempatnya yang ditorehkan di atas lantai semen gapura rumah dengan nama masing-masing di bagian bawah, Anggi, Siska, Neo anak sulungnya, dan Selo si bungsu. Di bagian ujung tertulis ”designed by Tuti & Anggi” dan ”12 Juli 2009” tanda selesainya pembangunan rumah.

Tuti adalah ibunda Anggi. Nama anak bungsu Anggi, Selo Soemardjan, sengaja dibuat sama dengan kakek Anggi, Selo Soemardjan, dekan pertama FISIP UI yang dijuluki Bapak Sosiologi Indonesia.

”Saat ulang tahun ke-10 windu, beliau berdoa kalau meninggal bisa reinkarnasi. Saya bilang, ya sudah eyang, jadi anak saya saja,” ungkap Anggi.

Ruang keluarga dengan hamparan pemandangan perkebunan.

Kamar tidur utama berbatasan langsung dengan kamar tidur anak dengan akses cahaya dan udara segar dari jendela yang dapat dibuka lebar.


~ o 0 o ~

Sumber artikel: Kompas, 27 September 2015
Sumber foto: Kompas/Riza Fathoni

Menebar Ketulusan, Cinta, dan Pengorbanan

oleh HAEDAR NASHIR

Ketika kaum Muslim dari berbagai belahan dunia menunaikan ibadah haji dan berkurban di hari Idul Adha, sejatinya dua ritual Islam itu mengandung nilai terdalam tentang ajaran kepasrahan diri.

Sebuah kepasrahan otentik (al-hanif) yang secara vertikal menjadikan setiap kaum beriman meneguhkan jiwa ketauhidan untuk selalu taat kepada Allah Yang Maha Esa, sekaligus merawat tiap perilaku agar tetap lurus di jalan kebenaran dan tidak terjerembap ke jurang kesalahan.

Insan yang bertauhid akan membenamkan hawa nafsunya pada kehanifan diri, berupa jiwa yang bening dari noda syirik dan dosa. Sumber segala nista di muka bumi ini bermula dari hasrat primitif manusia yang tak terkendali, yang oleh sufi ternama Jalaluddin Rumi disebut ”ibu dari semua berhala”.

Keangkuhan, keserakahan, kesewenangan, korupsi, kebohongan, kekerasan, kebencian, kemunafikan, dan segala wujud tiran adalah pantulan jiwa angkara manusia yang kehilangan sublimasi nilai ketuhanan.Manusia menjelma seolah menjadi tuhan sekaligus hamba dirinya.

Pada putihnya kain ihram yang tak beralas dan seluruh prosesi haji hingga puncak wukuf di Arafah. Pada kepasrahan Nabi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar dalam ritual ibadah kurban yang dramatik. Keduanya, selain mengajarkan orientasi ketuhanan yang hanif bahwa manusia sehebat apa pun sesungguhnya lemah di hadapan-Nya, secara horizontal juga menanamkan jiwa ihsan atau kebajikan semesta yang sarat makna.

Pesan kemanusiaannya sangat luhur agar setiap insan beriman berbuat kebaikan yang melampaui sekat agama, suku, ras, golongan, dan pagar kenaifan untuk tegaknya kehidupan bersama yang serba utama.



Ajaran ketulusan

Siapa pun yang berhaji dan berkurban dalam ritual Islam sejatinya menambatkan peribadatan itu pada niat tulus ikhlas hanya untuk Tuhan. Ketulusan merupakan jiwa ketundukan kepada kehendak Yang Maha Kuasa sehingga melahirkan jiwa merdeka dari segala kepentingan inderawi atau duniawi yang sering memenjara manusia.

Mereka yang beribadah dan beragama dengan tulus akan melahirkan sublimasi spiritual dan moral yang jernih karena Allah bersama dirinya sepanjang hayat. Jika setiap insan beriman merasa dekat dengan Tuhan, mereka akan dekat dengan sesama dan lingkungannya.

Kedekatannya dengan Tuhan tidak membuat dirinya jemawa dan semuci, merasa diri paling suci. Mereka juga tidak akan terjebak pada tafkiri, sikap suka mengafirkan sesama karena merasa diri paling benar dalam bertuhan dan beragama.

Sumber bencana kehidupan terjadi tatkala hubungan dengan Tuhan (hablun minallah) terputus dengan hubungan sesama insan (hablun minannas). Berapa banyak orang mengatasnamakan Tuhan justru menyengsarakan hidup diri, keluarga, dan lingkungan dengan berbuat kekerasan, teror, dan tindakan anarkistis.

Pada saat yang sama tidak sedikit anak cucu Adam menyebarkan tindakan merusak (fasad fi al-ardl) atas nama kemanusiaan yang serba liar dan terputus dari nilai ilahiah yang otentik.

Atas nama agama, politik, ekonomi, dan apa saja terjadi saling rebut akses kehidupan yang sangat keras. Manusia tampil dalam sosok-sosok ganas, yang ”bergigi dan bercakar merah”, tulis Tennyson. Lalu, berlaku hukum besi homo homini lupus, satu sama lain saling memangsa.

Ajaran cinta

Ibadah haji dan kurban juga mengajarkan sifat cinta, yakni kasih sayang atau welas asih yang jernih. Nabi Ibrahim, Isa, Muhammad, dan para nabi kekasih Allah mempraktikkan hidup welas asih itu terhadap sesama tanpa diskriminasi.

”Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah” (QS Hud: 75). Tuhan pun menjadikan ayah Ismail itu menjadi kesayangan-Nya (An-Nisa’: 125).

Nabi Muhammad, ketika dilempari batu oleh kaum Thaif tatkala hijrah, berkeberatan saat Jibril menawarinya agar mereka yang melukainya itu diberi azab. ”Jangan, mereka sungguh kaum yang belum mengerti,” ujarnya.

Ajaran dan praktik hidup Muhammad sarat cinta kasih, bahwa ”Tidak beriman seseorang hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya.” Rahmat Allah pun terlimpah bagi hamba yang menebarkan kasih sayang di muka bumi.

Kini, tidak sedikit manusia terjangkiti virus egoisme. Maka, ajaran welas asih menjadi mutiara yang hilang untuk ditemukan kembali. Perang, konflik, dan segala bentuk kekerasan di berbagai belahan dunia terjadi antara lain karena menguatnya egoisme dan luruhnya kasih sayang antarsesama.

Hans Kung menyuarakan pentingnya etika global sebagai arah moral. Maka, ketika sekelompok individu terkemuka dari berbagai agama berkumpul di Swiss pada Februari 2009, seperti ditulis Karen Armstrong (2013), semuanya sepakat untuk menjadikan ajaran ”belas kasih sebagai inti kehidupan religius dan moral”. Umat beragama harus menjadi pelopor dalam menebar ajaran welas asih guna melawan bentuk kebencian antar-insan di mana pun.

Ajaran pengorbanan

Ritual haji, lebih-lebih pada ibadah kurban, juga menanamkan nilai pengorbanan. Seseorang disebut beriman manakala di dalam dirinya bersemi jiwa berkorban untuk kepentingan sesama, hatta kepada yang berbeda keyakinan.

Ibrahim, Ismail, dan Hajar memberi teladan terbaik tentang praksis berkurban dengan penuh ketakwaan.

Setiap insan beriman yang kelebihan rezeki dan akses kehidupan niscaya peduli dan berbagi bagi sesama yang membutuhkan tanpa diskriminasi. Si kaya berbagi rezeki untuk si miskin. Kaum cerdik pandai berbagi ilmu kepada yang awam. Laki-laki dan perempuan saling menghormati dan memuliakan.

Para elite negeri yang mengaku insan beriman perlu mengambil makna dari ketulusan, cinta, dan pengorbanan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar sebagai model perilaku emas yang menebar keutamaan bagi rakyat.

Luruhnya jiwa kenegarawanan yang ditandai kian menguatnya kebiasaan mengutamakan kepentingan diri dan kroni di atas kepentingan publik boleh jadi karena makin terkikisnya jiwa tulus, cinta, dan pengorbanan sebagai kanopi suci yang diajarkan agama dan para nabi kekasih Tuhan yang kaya mozaik spiritual ilahiah itu.

Lalu, berkah Tuhan pun menjauh dari kehidupan!

(HAEDAR NASHIR, KETUA UMUM PP MUHAMMADIYAH)

~ o 0 o ~

Sumber: Kompas, 23 September 2015

Sumber gambar: jamiebeck.com