oleh HAEDAR NASHIR
Ketika kaum Muslim dari berbagai belahan dunia menunaikan ibadah haji dan berkurban di hari Idul Adha, sejatinya dua ritual Islam itu mengandung nilai terdalam tentang ajaran kepasrahan diri.
Sebuah kepasrahan otentik (al-hanif) yang secara vertikal menjadikan setiap kaum beriman meneguhkan jiwa ketauhidan untuk selalu taat kepada Allah Yang Maha Esa, sekaligus merawat tiap perilaku agar tetap lurus di jalan kebenaran dan tidak terjerembap ke jurang kesalahan.
Insan yang bertauhid akan membenamkan hawa nafsunya pada kehanifan diri, berupa jiwa yang bening dari noda syirik dan dosa. Sumber segala nista di muka bumi ini bermula dari hasrat primitif manusia yang tak terkendali, yang oleh sufi ternama Jalaluddin Rumi disebut ”ibu dari semua berhala”.
Keangkuhan, keserakahan, kesewenangan, korupsi, kebohongan, kekerasan, kebencian, kemunafikan, dan segala wujud tiran adalah pantulan jiwa angkara manusia yang kehilangan sublimasi nilai ketuhanan.Manusia menjelma seolah menjadi tuhan sekaligus hamba dirinya.
Pada putihnya kain ihram yang tak beralas dan seluruh prosesi haji hingga puncak wukuf di Arafah. Pada kepasrahan Nabi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar dalam ritual ibadah kurban yang dramatik. Keduanya, selain mengajarkan orientasi ketuhanan yang hanif bahwa manusia sehebat apa pun sesungguhnya lemah di hadapan-Nya, secara horizontal juga menanamkan jiwa ihsan atau kebajikan semesta yang sarat makna.
Pesan kemanusiaannya sangat luhur agar setiap insan beriman berbuat kebaikan yang melampaui sekat agama, suku, ras, golongan, dan pagar kenaifan untuk tegaknya kehidupan bersama yang serba utama.
Ajaran ketulusan
Siapa pun yang berhaji dan berkurban dalam ritual Islam sejatinya menambatkan peribadatan itu pada niat tulus ikhlas hanya untuk Tuhan. Ketulusan merupakan jiwa ketundukan kepada kehendak Yang Maha Kuasa sehingga melahirkan jiwa merdeka dari segala kepentingan inderawi atau duniawi yang sering memenjara manusia.
Mereka yang beribadah dan beragama dengan tulus akan melahirkan sublimasi spiritual dan moral yang jernih karena Allah bersama dirinya sepanjang hayat. Jika setiap insan beriman merasa dekat dengan Tuhan, mereka akan dekat dengan sesama dan lingkungannya.
Kedekatannya dengan Tuhan tidak membuat dirinya jemawa dan semuci, merasa diri paling suci. Mereka juga tidak akan terjebak pada tafkiri, sikap suka mengafirkan sesama karena merasa diri paling benar dalam bertuhan dan beragama.
Sumber bencana kehidupan terjadi tatkala hubungan dengan Tuhan (hablun minallah) terputus dengan hubungan sesama insan (hablun minannas). Berapa banyak orang mengatasnamakan Tuhan justru menyengsarakan hidup diri, keluarga, dan lingkungan dengan berbuat kekerasan, teror, dan tindakan anarkistis.
Pada saat yang sama tidak sedikit anak cucu Adam menyebarkan tindakan merusak (fasad fi al-ardl) atas nama kemanusiaan yang serba liar dan terputus dari nilai ilahiah yang otentik.
Atas nama agama, politik, ekonomi, dan apa saja terjadi saling rebut akses kehidupan yang sangat keras. Manusia tampil dalam sosok-sosok ganas, yang ”bergigi dan bercakar merah”, tulis Tennyson. Lalu, berlaku hukum besi homo homini lupus, satu sama lain saling memangsa.
Ajaran cinta
Ibadah haji dan kurban juga mengajarkan sifat cinta, yakni kasih sayang atau welas asih yang jernih. Nabi Ibrahim, Isa, Muhammad, dan para nabi kekasih Allah mempraktikkan hidup welas asih itu terhadap sesama tanpa diskriminasi.
”Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah” (QS Hud: 75). Tuhan pun menjadikan ayah Ismail itu menjadi kesayangan-Nya (An-Nisa’: 125).
Nabi Muhammad, ketika dilempari batu oleh kaum Thaif tatkala hijrah, berkeberatan saat Jibril menawarinya agar mereka yang melukainya itu diberi azab. ”Jangan, mereka sungguh kaum yang belum mengerti,” ujarnya.
Ajaran dan praktik hidup Muhammad sarat cinta kasih, bahwa ”Tidak beriman seseorang hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya.” Rahmat Allah pun terlimpah bagi hamba yang menebarkan kasih sayang di muka bumi.
Kini, tidak sedikit manusia terjangkiti virus egoisme. Maka, ajaran welas asih menjadi mutiara yang hilang untuk ditemukan kembali. Perang, konflik, dan segala bentuk kekerasan di berbagai belahan dunia terjadi antara lain karena menguatnya egoisme dan luruhnya kasih sayang antarsesama.
Hans Kung menyuarakan pentingnya etika global sebagai arah moral. Maka, ketika sekelompok individu terkemuka dari berbagai agama berkumpul di Swiss pada Februari 2009, seperti ditulis Karen Armstrong (2013), semuanya sepakat untuk menjadikan ajaran ”belas kasih sebagai inti kehidupan religius dan moral”. Umat beragama harus menjadi pelopor dalam menebar ajaran welas asih guna melawan bentuk kebencian antar-insan di mana pun.
Ajaran pengorbanan
Ritual haji, lebih-lebih pada ibadah kurban, juga menanamkan nilai pengorbanan. Seseorang disebut beriman manakala di dalam dirinya bersemi jiwa berkorban untuk kepentingan sesama, hatta kepada yang berbeda keyakinan.
Ibrahim, Ismail, dan Hajar memberi teladan terbaik tentang praksis berkurban dengan penuh ketakwaan.
Setiap insan beriman yang kelebihan rezeki dan akses kehidupan niscaya peduli dan berbagi bagi sesama yang membutuhkan tanpa diskriminasi. Si kaya berbagi rezeki untuk si miskin. Kaum cerdik pandai berbagi ilmu kepada yang awam. Laki-laki dan perempuan saling menghormati dan memuliakan.
Para elite negeri yang mengaku insan beriman perlu mengambil makna dari ketulusan, cinta, dan pengorbanan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar sebagai model perilaku emas yang menebar keutamaan bagi rakyat.
Luruhnya jiwa kenegarawanan yang ditandai kian menguatnya kebiasaan mengutamakan kepentingan diri dan kroni di atas kepentingan publik boleh jadi karena makin terkikisnya jiwa tulus, cinta, dan pengorbanan sebagai kanopi suci yang diajarkan agama dan para nabi kekasih Tuhan yang kaya mozaik spiritual ilahiah itu.
Lalu, berkah Tuhan pun menjauh dari kehidupan!
(HAEDAR NASHIR, KETUA UMUM PP MUHAMMADIYAH)
~ o 0 o ~
Sumber: Kompas, 23 September 2015
Sumber gambar: jamiebeck.com
Menebar Ketulusan, Cinta, dan Pengorbanan
Post by
DSP
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment