Pesan Terakhir Burung Merak

Kenangan dan Kesepian 


Rumah tua dan pagar batu
Langit desa sawah dan bambu
Berkenalan dengan sepi pada kejemuan disandarkan dirinya
Jalanan berdebu tak berhati lewat nasib menatapnya
Cinta yang datang burung tak tergenggam
Batang baja waktu lengang dari belakang menikam
Rumah tua dan pagar batu
Kenangan lama dan sepi yang syahdu

Penyair yang selalu seperti mengepakkan sayapnya saat-saat membacakan puisi itu telah pergi. Mungkin keadaannya sebagaimana yang ia gambarkan dalam puisinya di atas.


WS Rendra bersama istri-istrinya, Sunarti (kanan) dan Sitoresmi (belakang), serta sebagian anak- anaknya.


Pesan terakhir ayahandanya, menurut Clara, hanya ingin tanah di Citayam seluas 6 hektar, di mana Bengkel Teater Rendra beralamat, dihutankan. Rendra sudah menanam ratusan pohon ulin dan eboni, yang tidak boleh ditebang sampai berusia 20 tahun. Dan tidak ada pesan apa pun dari Rendra menyangkut kelanjutan Bengkel Teater Rendra.

”Papa itu sebagai ayah sangat unik. Dia mengekspresikan perhatiannya dengan cara unik, jujur menghadapi situasi kehidupannya. Papa selalu ke saya, bahkan untuk hal yang sangat pribadi,” tutur Clara.

Sedang Rachel melihat Rendra sebagai a complete man. ”Dia itu orang lengkap, figur ayah, teman, dan guru. Saya anak beruntung karena tidak semua anak mempunyai pergaulan kreatif dengan ayahnya,” kata Rachel.

Minta lagu

Saat-saat dirawat di rumah sakit, kata Rachel, ia selalu diminta ayahnya menyanyikan lagu Don’t Cry for Me Argentina yang dipopulerkan Madonna lewat film Evita Peron. Lagu itu, kata Rachel, mewakili perasaan ayahnya dalam menjalani hari-harinya di rumah sakit. ”Rendra menyadari sakitnya mungkin tak bisa disembuhkan, tetapi semangatnya tetap kuat,” tutur Rachel, yang menetap di Yogyakarta.

Bengkel Teater Rendra memang satu cita-cita yang diwujudkan. Komunitas ini dibangun Rendra sebagaimana ia juga menyuarakan soal-soal kehidupan dalam komunitas manusia. Sitok bahkan menggambarkan Rendra adalah guru yang mengajarkan tentang keberanian hidup.

Keberanian itulah, yang menurut sahabat terdekat Rendra, budayawan Emha Ainun Nadjib, dihancurkan ketika ia sedang berbaring di rumah sakit. Rendra secara fisik memang sudah berumur, tetapi dia terlahir dengan semangat hidup menyala. ”Nah, jika semangat hidupnya yang dihancurkan, tahulah apa jadinya...,” tutur Emha. (XAR/IAM)

oleh Putu Fajar Arcana & Ninuk M Pambudy

Dikutip dari: Kompas, 9 Agustus 2009

No comments :