Garuda dengan Sayap Terluka

Bekasi, Mei 2005. Amat Sodikin dan Ike Priyanti adalah pasangan pengamen berbahagia yang mendapatkan bayi kembar tiga. Sayang, ketidakmampuan membuat saat bahagia melahirkan bayi kembar tiga itu menjadi cerita sedih karena tidak serta- merta mereka dapat membawa ketiga bayinya pulang ke rumah.

Dengan uang Rp 500.000 di tangan, mereka tak sanggup menyelesaikan administrasi pembayaran rumah sakit Rp 6 juta. Utang tetangga sempat menyelamatkan mereka beberapa hari. Mereka diizinkan membawa pulang anaknya. Sesampai di rumah, mereka segera harus bergulat mengembalikan Rp 5 juta uang pinjaman ditambah kegelisahan bagaimana membeli susu formula.

Karena masih berusia 20 tahun, Amat dan Ike, sama dengan banyak orang Indonesia lain, barangkali tak mengerti apa perbedaan suasana ketika Indonesia dijajah Belanda, dijajah Jepang, dan hari ini, ketika dikatakan Indonesia sudah merdeka. Yang jelas, Amat dan Ike merupakan salah satu dari sekitar 32,53 juta penduduk Indonesia dengan penghasilan di bawah Rp 182.000 per kapita per bulan. Ketiga anak kembar itu berpotensi menjadi salah satu dari 1,3 juta anak Indonesia penderita gizi buruk. Bila Indonesia digambarkan dengan seekor garuda gagah dan besar, mereka adalah bagian dari sayap garuda yang terluka.


Mereka terluka karena kemerdekaan negara kemudian merupakan pergulatan dari apa yang hari ini dikenal sebagai perburuan terhadap peradaban modern. Perkembangan peradaban manusia, dunia ilmu pengetahuan, komputerisasi, dan bisnis adalah kemewahan yang harus diraih. Ihwal itu dikejar karena semua ”kemenangan yang patut disyukuri” bermuara di sana. Orang bisa menjadi bahan tertawaan ketika hari ini dianggap gagap teknologi, tak kenal Facebook, tak paham internet, atau tak pintar memanfaatkan e-mail.

Salah satu ukuran hari ini sekitar 25 juta orang Indonesia mempergunakan internet dan sekitar 110 juta orang menggenggam telepon seluler. Selain itu, indikator kemakmuran juga ditunjukkan dari produksi mobil tahun 2008 yang pernah mencapai 45.000 unit per bulan. Ada indikator hasil kemerdekaan lain yang layak disyukuri. Dengan tarif naik haji sekitar 3.250 dollar AS hingga 3.575 dollar AS, sekitar 210.000 orang berangkat ke Tanah Suci setiap tahun. Bahkan, hari ini orang harus antre beberapa tahun untuk masuk dalam daftar dapat diberangkatkan untuk menunaikan ibadah haji.

Di samping sebagian masyarakat layak mensyukuri hasil kemerdekaan ini, sebaliknya tak dapat dimungkiri dalam upaya mengejar dan berlari kencang itu, entah karena talenta, entah karena situasi, sebagian orang tertinggal di belakang. Setelah 64 tahun merdeka, tercipta juga orang-orang kalah, terutama dari sisi pendidikan dan kemudian sisi ekonomi.

Gerakan peduli nasional


Image: Jaloee.blogspot.com

Merdeka tidak berarti lepas dari penjajahan Belanda atau Jepang. Kemerdekaan bisa saja segera sirna bahkan oleh bangsa sendiri, lingkungan sendiri, atau di dalam rumah sendiri. Kemerdekaan yang hilang karena orangtua memaksakan kehendak kepada anak. Kemerdekaan yang hilang karena kekerasan dalam rumah tangga. Kemerdekaan yang hilang ketika orang masih hidup dalam ketakutan tekanan mayoritas dan minoritas, baik suku, agama, maupun ras. Kemerdekaan hilang karena 60 persen dari sekitar 350.000 lulusan perguruan tinggi tak punya harapan mendapat pekerjaan dan hingga hari ini masih sekitar 9,4 juta orang menganggur.

Oleh karena itu, yang tidak boleh hilang dari kemerdekaan ini adalah kepedulian. Peduli merupakan hakikat hidup merdeka. Merdeka merupakan manifestasi dari kebebasan diri berekspresi, tetapi pada saat yang sama merdeka juga sebuah keterikatan, sebuah kewajiban. Bukan terutama karena norma, bukan terutama karena aturan, bukan juga karena sangat berbudi pekerti, melainkan karena manusia mencintai kemerdekaan itu.

Karena cinta, orang tak merasa tertekan ketika harus menyerahkan tempat duduk di bus kepada orang tua atau orang cacat. Karena cinta, seseorang tak harus merasa kehilangan kemerdekaan untuk menghormati orang lain yang menunggu antrean. Karena cinta, pejabat tak harus memamerkan kekuasaan. Karena cinta, tak sulit membangun rumah ibadah, tidak harus ada bom, tidak membuat orang lain sengsara. Prihatin ketika salah satu dari 6 juta TKI diperlakukan tak sewajarnya sebelum berangkat, baik di negeri orang maupun setelah pulang ke Tanah Air.

Upacara, seragam, karnaval, lomba makan kerupuk, panjat pinang, slogan di gapura, akan kehilangan nilai ketika tidak disertai pemberdayaan masyarakat terbelakang dan masih lebarnya kesenjangan sosial. Lebih-lebih ketika ingin menyelesaikan urusan teroris, kriminalitas, stres, dan penyakit masyarakat lain.

Tahun 1970, Korea menjalankan program Saemaeul Undong, sebuah program peduli sahabat tertinggal dalam bidang agrikultur, infrastruktur, dan pendidikan. Ditambah kultur kerja keras, hemat, dan merit system, Korea Selatan lepas landas dalam dua generasi.

Di Indonesia ada bantuan operasional sekolah, puskesmas, bantuan langsung tunai, kredit usaha rakyat, sarjana masuk desa, penyuluhan pertanian, PKK, media, dan tim koordinasi penanggulangan kemiskinan yang barangkali perlu dikemas dalam sebuah keranjang besar, dikonsolidasi menjadi sebuah gerakan nasional membantu warga negara tertinggal, supaya ada lebih banyak orang merasakan arti kemerdekaan.

Agung Adiprasetyo, Wakil Pemimpin Umum Kompas

Sumber: Kompas,18 Agustus 2009

Pesan Terakhir Burung Merak

Kenangan dan Kesepian 


Rumah tua dan pagar batu
Langit desa sawah dan bambu
Berkenalan dengan sepi pada kejemuan disandarkan dirinya
Jalanan berdebu tak berhati lewat nasib menatapnya
Cinta yang datang burung tak tergenggam
Batang baja waktu lengang dari belakang menikam
Rumah tua dan pagar batu
Kenangan lama dan sepi yang syahdu

Penyair yang selalu seperti mengepakkan sayapnya saat-saat membacakan puisi itu telah pergi. Mungkin keadaannya sebagaimana yang ia gambarkan dalam puisinya di atas.


WS Rendra bersama istri-istrinya, Sunarti (kanan) dan Sitoresmi (belakang), serta sebagian anak- anaknya.


Pesan terakhir ayahandanya, menurut Clara, hanya ingin tanah di Citayam seluas 6 hektar, di mana Bengkel Teater Rendra beralamat, dihutankan. Rendra sudah menanam ratusan pohon ulin dan eboni, yang tidak boleh ditebang sampai berusia 20 tahun. Dan tidak ada pesan apa pun dari Rendra menyangkut kelanjutan Bengkel Teater Rendra.

”Papa itu sebagai ayah sangat unik. Dia mengekspresikan perhatiannya dengan cara unik, jujur menghadapi situasi kehidupannya. Papa selalu ke saya, bahkan untuk hal yang sangat pribadi,” tutur Clara.

Sedang Rachel melihat Rendra sebagai a complete man. ”Dia itu orang lengkap, figur ayah, teman, dan guru. Saya anak beruntung karena tidak semua anak mempunyai pergaulan kreatif dengan ayahnya,” kata Rachel.

Minta lagu

Saat-saat dirawat di rumah sakit, kata Rachel, ia selalu diminta ayahnya menyanyikan lagu Don’t Cry for Me Argentina yang dipopulerkan Madonna lewat film Evita Peron. Lagu itu, kata Rachel, mewakili perasaan ayahnya dalam menjalani hari-harinya di rumah sakit. ”Rendra menyadari sakitnya mungkin tak bisa disembuhkan, tetapi semangatnya tetap kuat,” tutur Rachel, yang menetap di Yogyakarta.

Bengkel Teater Rendra memang satu cita-cita yang diwujudkan. Komunitas ini dibangun Rendra sebagaimana ia juga menyuarakan soal-soal kehidupan dalam komunitas manusia. Sitok bahkan menggambarkan Rendra adalah guru yang mengajarkan tentang keberanian hidup.

Keberanian itulah, yang menurut sahabat terdekat Rendra, budayawan Emha Ainun Nadjib, dihancurkan ketika ia sedang berbaring di rumah sakit. Rendra secara fisik memang sudah berumur, tetapi dia terlahir dengan semangat hidup menyala. ”Nah, jika semangat hidupnya yang dihancurkan, tahulah apa jadinya...,” tutur Emha. (XAR/IAM)

oleh Putu Fajar Arcana & Ninuk M Pambudy

Dikutip dari: Kompas, 9 Agustus 2009

Karena Namanya Tertulis di Langit

Mengenang Rendra adalah mengenang keberaniannya menerobos batas dan kebebasannya berkreasi. Bukankah kebebasan berpikir dan keberanian melakukannya yang membawa perubahan?


Jenazah almarhum penyair WS Rendra diusung menuju masjid untuk dishalatkan sebelum dimakamkan di padepokan seni Bengkel Teater di Citayam, Depok, Jawa Barat, Jumat (7/8). Rendra meninggal Kamis malam pada usia 74 tahun akibat serangan jantung.

Aktor Ikranegara telah bergaul dengan Rendra sejak 1960-an. Ketika Rendra pulang dari belajar di The American Academy of Dramatic Art di New York, Amerika, tahun 1967, Ikra melihat Rendra mengejutkan publik dengan mementaskan teater di luar cara yang dikenal selama ini.

”Dia membawa teater tanpa dialog dengan seminim mungkin menggunakan suara. Goenawan Mohamad kemudian memberi nama teater mini kata,” kata Ikra, yang saat itu menjadi wartawan lepas.

Pemimpin Redaksi Majalah Prisma Daniel Dhakidae yang mengenal Rendra sejak awal 1967-an saat kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, melihat Rendra sebagai sosok yang melawan feodalisme yang kental di Yogyakarta, tempat Bengkel Teater berada. Karena itu, Rendra mengeluarkan pernyataan tentang kebudayaan Jawa seperti kasur tua yang harus dirombak. Tetapi, itu menurut Daniel menjadi energi kreatif Rendra yang melawan budaya yang dia anggap sebagai penghalang. Daniel mencontohkan puisi ”Khotbah” yang terdapat di dalam Blues untuk Bonnie (1971).

Bagi sastrawan Danarto (69), Rendra adalah sosok seniman yang, selain menghasilkan bentuk-bentuk baru, juga mewakili suara hati masyarakatnya.

Danarto yang mengenal Rendra sejak 1958 terlibat dalam produksi Oedipus Rex pada tahun 1962 di Yogyakarta sebagai produser dan art director. Penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2009 ini menyebut Rendra sebagai pujangga dengan semangat melakukan perubahan sosial.

Lalu, apakah seorang seniman dapat mengubah kedaan, seperti yang dikhawatirkan pemerintahan Orde Baru sehingga perlu memenjarakannya selama enam bulan pada tahun 1978?

”Saya tidak percaya seniman akan mengubah keadaan, seperti yang terjadi pada revolusi. Peran Mas Willy sebagai seniman adalah memberi visi, arah perjalanan bangsanya,” kata Danarto.

Apabila pengaruh Rendra terasa begitu luas dan dalam, Danarto mengatakan, ”Karena nama Rendra sudah tertulis di langit.” (NMP/CAN/IAM)

Dikutip dari: Kompas, 9 Agustus 2009

Inspirasi dari Rendra


Pentas puisi Rendra di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, tahun 2005
foto:KOMPAS/DANU KUSWORO

Di balik pesona sebagai ”Burung Merak”, almarhum WS Rendra adalah pekerja seni budaya yang teguh memperjuangkan cita-cita. Melintasi berbagai tekanan ekonomi dan politik, Bengkel Teater-nya menancapkan tonggak penting teater modern serta melahirkan sejumlah seniman kuat di Tanah Air.

”Bersumpahlah.... Jangan bikin grup teater.... Hasilnya apa? Jangan nulis sastra.... Gajinya tak seberapa. Tidak ada kesempatan beridealisme di Indonesia,” kata Narti. Demikian catatan Rendra mengutip ancaman istri pertamanya, Sunarti, dalam buku Rendra dan Teater Modern Indonesia (editor Edi Haryono, tahun 2000).

Ancaman itu dilontarkan Narti ketika Rendra baru pulang studi dari American Academy of Dramatic Arts di New York, Amerika Serikat, tahun 1967. Namun, ternyata larangan itu didobrak, bahkan kemudian Narti ikut hanyut dalam idealisme jalan kesenian.

Masa sulit

Karena semua anggota belum bekerja dan sehari-hari hanya berlatih teater, Rendra menanggung makan mereka. ”Saya tanya, ’Mau makan apa?’. Rendra bilang, ’Sudah, pokoknya makan di rumah’. Dan saya tahu persis, banyak kawan disuruh Rendra menggadaikan apa saja, termasuk piring makan Mbak Narti,” tutur Amaq Baldjun, anggota Bengkel Teater sewaktu bermarkas di Yogyakarta.

Sitok Srengenge, penyair dan anggota Bengkel Teater, mengenang bagaimana seorang Rendra menekankan kebersamaan dan ketahanan dalam segala situasi. Seluruh anggota, misalnya, hanya boleh punya dua celana. Jika lebih, harus diberikan kepada kawan lain. ”Tujuannya, mengajarkan kesederhanaan. Kata Rendra, kegagahan dalam kemiskinan,” kenang Sitok.

Setelah tahun 1989, anggota teater mencapai sekitar 30 orang dan sebagian tinggal di bengkel. Setelah keuangan membaik dan dengan manajemen keuangan lebih profesional, anggota dapat uang transpor dan uang saku untuk keluarga. ”Bagi Rendra, berkesenian adalah jalan hidup dan kami bisa hidup dari karya seni,” kata Edi menambahkan.

Bengkel Teater terakhir kali pentas dengan lakon Sobrat tahun 2005. Setelah itu, tak ada lagi pentas atas nama kelompok ini karena biaya pentas semakin mahal dan sulit mencari sponsor. Rendra kemudian memilih banyak tampil membaca puisi, mengunjungi kelompok seni di daerah-daerah, dan berceramah.

Sosok Rendra bersama Bengkel Teater-nya telah menjadi kawah penggodok beberapa seniman penting di Tanah Air. Beberapa anggota Bengkel yang kemudian tumbuh menjadi seniman mandiri, sebut saja, antara lain, dramawan dan penyair Putu Wijaya, sutradara Chaerul Umam, aktor Amaq Baldjun, Edi Haryono, penyair Sitok Srengenge, dan aktor Adi Kurdi.

”Kehidupan dan kesenian Rendra itu sangat impresif dan inspiratif bagi anggota teater dan para seniman lain, mungkin juga siapa pun yang pernah menjumpainya,” kata Adi Kurdi, anggota Bengkel saat masih di Yogyakarta.
(Ilham Khoiri/ Putu Fajar Arcana/ Ninuk Mardiana Pambudy)

Dikutip dari: Kompas, 9 Agustus 2009

Hati Nurani Rendra Memilih Jalan Seni yang Terlibat...

...Inilah sajakku

pamflet masa darurat
Apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan...

Penggalan puisi WS Rendra berjudul ”Sajak Sepasang Lisong”, yang ditulis tahun 1978, tadi seolah menjelaskan seluruh kerja kesenian yang ditekuni lelaki berjuluk ”Si Burung Merak” ini sejak masih sangat belia.

Dramawan WS Rendra bersama anak-anak dari Sanggar Teater Jakarta ketika mementaskan "Saatnya Mendengar Suara Anak-anak" pada Parade Teater Anak di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Minggu (22/7). Pementasan itu dilaksanakan dalam rangka menyemarakkan Hari Anak Nasional 2007

Seni tidak berhenti pada bentuk estetika, tetapi ia menjadi seruan hati nurani yang berfungsi kritis, profetik. Seni, apa pun bentuknya, harus selalu berpikir kontekstual dan terlibat. Tidak hanya dalam puisi, karya drama pendiri Bengkel Teater Rendra ini juga menunjukkan kecenderungan serupa. Ia misalnya melahirkan SEKDA, Mastodon dan Burung Kondor, serta Perjuangan Suku Naga.

”Tidak berlebihan jika dikatakan pada sosok Rendra kesenian setiap kali berfungsi sebagai nurani peradaban. Orang menjadi merenung, berefleksi, atau becermin pada karya Rendra,” kata guru besar filsafat Universitas Parahyangan, Bandung, Bambang Sugiharto.

Bukan politikus

Penangkapan dan pemberangusan pentas-pentas Rendra justru telah menempatkannya pada kutub ”oposisi” dengan pemerintahan Orde Baru.

Budayawan dan anggota awal Bengkel Teater Rendra saat bermarkas di Yogyakarta, Bakdi Soemanto, melihat posisi yang melawan kekuasaan itu membuat Rendra menjadi besar. ”Ia bukan politikus,” kata Bakdi.

Menurut Bakdi, Rendra menganggap seni bukan art, tetapi juga masalah bangsa, manusia, dan kehidupan. ”Ia sangat perhatian pada soal-soal hidup manusia, masyarakat, ketertindasan, dan ketersingkiran,” ujar Bakdi.

Satu hal yang sebenarnya dirindukan Rendra adalah keseimbangan, adil, merdeka, punya banyak pilihan, membela kehidupan dan memiliki banyak harapan, serta tak ada penindasan.

Pekerjaan besar yang ”diwariskan” Rendra kepada kita adalah penyadaran harga diri bangsa, keberpihakan kepada hidup, keberanian, dan menolak menjadi koma.


Siswa dan guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo, Jawa Tengah, melepas kepergian WS Rendra dengan menggelar musikalisasi puisi karya Rendra di halaman sekolah, Jumat (7/8). Selain membaca puisi, mereka juga mendoakan agar arwah Rendra diterima di sisi-Nya. Rendra alumnus sekolah ini.

Kini ”Si Burung Merak” itu terbaring abadi di tempat ia mengonkretkan cita-citanya membentuk komunitas yang berpikir bebas, disiplin, penuh kreativitas berpikir, dan sederhana.

Penyair Sitok Srengenge mengakui Bengkel Teater Rendra adalah universitas sejati, tempat ia belajar hidup. ”Kami diajar berani menghadapi hidup,” ujar Sitok.

Rendra kini boleh tiada, tetapi semangatnya tetap hidup. Di Bengkel Teater Rendra, misalnya, semalam masyarakat spontan bertahlil, sementara keluarga bertahlil di rumah putri Rendra, Clara Shinta, di Depok.

Karyanya mungkin tidak dinilai dari pentas ke pentas, tetapi pada kelahiran seniman dan intelektual yang kini mendorong gerbong kebudayaan kontemporer di mana kita hidup. (CAN/NMP/XAR/IAM)

Dikutip dari: Kompas, 8 Agustus 2009

Artikel terkait:

Rendra: Saya Sangat Bahagia

In Memoriam Rendra: Tanahku, Hutanku, Kuburanku

Indonesian Concert Peace Tour


Bersama tokoh senior piano Indonesia, Ary Sutedja dan Insia Effendy

Di hari pertama bulan Agustus ini, Mikhail David dan Ary Sutedja mengadakan makan malam menyambut kehadiran Swara Sonora Trio dari Arizona, Amerika Serikat.


Cellis kondang, Asep bersama pianis Aryo Wicaksono


pianis Aryo Wicaksono, soprano Kathryn Mueller, bariton Nathan Krueger dari Arizona, USA

Trio yang terdiri dari, pianis Aryo Wicaksono, soprano Kathryn Mueller, dan bariton Nathan Krueger ini akan mengadakan Indonesian Concert Peace Tour, di Jakarta, Jogja, Bali, dan Surabaya, mulai tanggal 7 Agustus 2009.

Yang berminat mengadiri concert ini dapat menghubungi (021) 7496377

Bisnis Rezeki Dunia Digital

oleh BUDI SUWARNA

Shinta W Dhanuwardoyo (39) yakin benar, media generasi mendatang adalah media digital. Keyakinan itu mendorong dia masuk ke bisnis ini. Kini, Shinta menuai hasilnya.



Awalnya, Shinta bersama beberapa teman mendirikan PT Bubu Kreasi Perdana (bubu.com) tahun 1996 yang memberikan layanan perancangan situs. Ketika itu belum ada perusahaan sejenis di Indonesia. Sumber daya manusia di bidang itu pun masih minim. Pasarnya belum terbentuk. Orang bahkan belum banyak yang melek internet, apalagi merasa perlu membikin situs.

Namun, Shinta tidak menyerah. Dia berusaha mengedukasi masyarakat agar melek situs internet. Salah satunya dengan menggelar Bubu Awards, semacam kompetisi pembuatan situs. Hingga 2009, kompetisi ini telah berlangsung enam kali.

”Responsnya bagus. Sekarang, Bubu Awards tidak hanya mengompetisikan web design, tetapi juga konsep digital advertising,” ujar Shinta, Chief Executive Officer bubu.com, Selasa (28/7).

Meski edukasi berjalan, bisnis ini awalnya berkembang lambat. Hingga tahun 2000, kata Shinta, baru segelintir perusahaan Indonesia memiliki situs. Baru dua tahun belakangan kebutuhan membuat situs bermunculan.

Fenomena ini, menurut Shinta, antara lain dipicu semakin meluasnya penggunaan telepon seluler, merebaknya situs Facebook, dan krisis ekonomi global. ”Krisis memaksa perusahaan membuat kampanye yang murah, tetapi efektif. Internet kemudian jadi pilihan utama.”

Sejak saat itu, berbagai perusahaan, besar atau kecil, berlomba membuat situs kreatif. Permintaan pembuatan situs yang datang ke bubu.com pun deras berdatangan. Shinta mengatakan, dua tahun terakhir omzet usahanya tumbuh rata-rata 100 persen setiap tahun, tetapi dia tidak bersedia menyebutkan jumlahnya.

Bukan hanya bubu.com, para perancang situs yang bekerja paruh waktu pun kebanjiran order dari dalam negeri dan juga mancanegara. ”Saya sampai sering kehabisan tenaga freelance karena mereka juga sibuk semua,” ujar Shinta.

Pemain baru di bisnis ini pun bermunculan, tetapi menurut Shinta persaingannya belum tajam karena bisnis ini tumbuh terus.

Seiring dengan itu, Shinta memperluas layanan bubu.com dari perancangan situs ke digital marketing. Perusahaan itu sekarang memberikan layanan terintegrasi mulai dari pembuatan strategi kampanye di internet, perancangan, pengelolaan, pemeliharaan, hingga pengembangan situs. Perusahaan itu pun menjelma menjadi semacam perusahaan periklanan digital.

Ini memang zaman digital, Bung!

Sumber: Kompas, Minggu, 2 Agustus 2009

Aku dan Rumahku, Rumah untuk Semua Orang

oleh Putu Fajar Arcana dan Susi Ivvaty

Sastrawan Putu Oka Sukanta (70) tak pernah berpikir teknik pengobatan yang diajarkan dr Lie Tjwan Sien menginspirasi banyak orang. Selama periode 1966-1976, semasa keduanya berada dalam satu sel di penjara Salemba dan Tangerang, Putu belajar dan mengobati para narapidana dengan teknik pengobatan ”acupressure”, sejenis akupunktur tetapi tidak menggunakan jarum.

Salah satu buku karya Putu Oka Sukanta

Ketika dibebaskan, acupressure tak hanya membawa Putu menjadi pengobat, tetapi bersama istrinya, Endah Lasmadiwati (62), tahun 1992 ia kemudian membeli tanah seluas 700 meter persegi di Kampung Cimanengah, RT 04 RW V, Kelurahan Cipaku, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. ”Hampir enam tahun kami hunting mencari lokasi. Saya beli tanah dari hasil warisan sebesar Rp 17 juta,” tutur Putu Oka Sukanta, Kamis (30/7) di rumahnya yang teduh dan harum herbal itu.

Di situlah obsesi keduanya sebagai pengobat mulai tersalurkan. Endah tak hanya belajar acupressure dari suaminya, tetapi mantan pemilik tujuh sanggar tari Bali ini juga secara tekun mempelajari jenis tanam-tanaman obat. Sampai kini tak kurang lebih dari 400 jenis tanaman obat tumbuh di pekarangan rumah mereka.

”Kami berobsesi menjadikan rumah sebagai ruang publik, di mana semua orang bebas keluar masuk untuk memperoleh layanan kesehatan,” kata Putu. Benar saja, hasil praktiknya sebagai pengobat di bilangan Rawamangun, Jakarta, sebesar Rp 6 juta, dimanfaatkan untuk membangun rumah seukuran 8 meter x 13 meter. Dari sisi material, rumah yang berhadapan langsung dengan Gunung Salak di penjuru selatan itu sangat sederhana. Selain berdinding batako tanpa kulit, lantainya juga ”hanya” dilapisi ubin tua kombinasi warna terakota dan putih. Pada bagian depan terdapat ruang berukuran 32 meter persegi.

”Ruang ini kami manfaatkan sebagai tempat latihan pengobatan,” tutur Endah. Ada tiga kamar di bangunan utama ini, satu kamar tidur utama, satu kamar anak, satu kamar lainnya terdapat di lantai dua. Lantai dua dikonstruksi dengan kayu yang memberikan kesan natural dan bersahaja.

Ruang publik

Bangunan utama yang terletak pada sisi kanan bidang tanah, boleh dikata menjadi inspirasi munculnya dua bangunan berikutnya. Karena pengunjung terus bertambah, baik mereka yang berobat, mengikuti pelatihan, maupun sekadar studi banding soal tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat, pasangan ini kemudian membeli tanah seluas 300 meter persegi di samping tanah terdahulu. Di situlah kemudian didirikan Rumah Obat dan Klinik Pengobatan. Pasangan ini sepakat memberi rumah mereka nama Taman Sringanis. ”Nama ini kami ambil dari nama ibu, Ni Ketut Taman, dan kakak ibu yang membesarkan saya, Ni Ketut Sringanis. Kami satukan jadi Taman Sringanis, kedua orang ini yang berjasa dalam hidup saya,” tutur Putu.

Taman Sringanis kini tak kurang dikunjungi sekitar 500 orang setiap minggu. ”Mereka berasal dari kalangan PSK sampai ibu-ibu majelis taklim,” kata Endah. Pada awal pendirian Taman Sringanis, para PSK datang untuk memperoleh layanan informasi tentang HIV/AIDS. Putu sendiri selain menjadi guru acupressure dan akupunktur, juga melakukan pelayanan penyuluhan HIV/AIDS sampai ke penjara.

Putu Oka Sukanta
(photo: Armando Siahaan, JG)

”Saya selalu sebut rumah ini rumah dalam hati, tidak berpintu tidak berjendela. Artinya, biarkan ia menjadi milik semua orang, kapan dan untuk keperluan apa saja silakan,” kata sastrawan yang baru saja menerbitkan cerita-cerita seputar tragedi 1965/1966 di Bali berjudul Lobakan karya 12 pengarang.

Secara perlahan rumah pasangan Putu-Endah menjadi ruang publik yang ”riuh” oleh berbagai kepentingan seputar kesehatan. ”Karena kesehatan harus bisa diakses semua orang. Makanya kami beri pelatihan tentang kesehatan mandiri, semua orang harus sehat karena diri sendiri,” tutur Endah.

Masa-masa kritis, saat Putu dipenjara tanpa diadili dan depresi akut yang diderita Endah lantaran lima dari tujuh sanggar tari Balinya bangkrut, memunculkan kesadaran tentang pentingnya rumah bagi semua orang. Bagi keduanya rumah tak sekadar tempat tinggal, tetapi rumah mereka adalah wahana bagi semua orang yang membutuhkan bantuan, terutama kesehatan.

Sumber: Kompas, Minggu, 2 Agustus 2009