Di hari Minggu pagi yang cerah, saya terkesiap membaca artikel 'Etty Indriati Merenda Kesementaraan Hidup' di rubrik Persona Kompas. Kita sering sekali dari hari ke hari disibukkan dengan hal-hal yang sangat tergantung kepada peraturan, konstitusi, dan norma-norma yang jauh dari rasa keadilan dan penghayatan makna hidup yang hakiki.
Etty Indriati Merenda Kesementaraan Hidup
Sumber: Kompas, 3 Agustus 2008
Begitu seringnya menyaksikan kematian, yang telah terurai dari yang sehari sampai jutaan tahun, membuat Prof drg Etty Indriati PhD (44) semakin menghayati bagaimana alam bekerja melalui kehidupan dan kematian dan seluruh fenomena di antaranya.
Ilmu yang dikuasai guru besar Antropologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini termasuk langka. Polisi dan dokter forensik sering membutuhkan keahliannya untuk menyempurnakan temuan identifikasi forensik mereka.
”Kalau tulang biasanya diberikan ke laboratorium kami. Polisi di Polda Jawa Tengah dapat memisahkan mana yang perlu dikerjakan antropolog forensik, mana yang dikerjakan dokter forensik,” ujar Etty.
Ketika pesawat Boeing 737- 400 terbakar di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, Rabu pagi 7 Maret 2007, Etty bersama kolega forensik dan dokter gigi bekerja keras mengidentifikasi 22 jenazah.
”Di tengah puluhan jenazah, serasa banyak tangan yang menggapai-dan suara-suara ’tolong saya, tolong saya’. Bersama ahli identifikasi korban bencana, kami terus bekerja sampai dini hari, pagi-pagi sudah ada di lapangan lagi mencari jenazah karena ada ketidakcocokan jumlah,” ia mengenang.
Peristiwa kematian selalu menyisakan aroma yang khas, yang hanya bisa ditangkap mereka yang terlatih kepekaan inderawinya.
”Orang yang telah meninggal proteinnya terurai menimbulkan bau khas putrid,” jelas Etty.
”Kalau indera kita terlatih, kita bisa membauinya dalam jarak, juga dapat menangkap apa yang tak ditangkap banyak orang. Ketajaman inderawi ini juga terdapat pada mata burung elang atau penciuman anjing. Jadi, manusia bukan the best of the best di antara makhluk hidup. Tiap makhluk hidup memiliki kelebihan yang berbeda dari lainnya dan saling mengisi kekurangannya untuk hidup di muka Bumi.”
Identifikasi korban kecelakaan pesawat Garuda terbilang cepat. Seperti diungkapkan Etty, ”Kami melakukan klasifikasi, mana ras Kaukasid (warga Australia), mana ras Mongoloid (Indonesia), mana laki-laki, mana perempuan. Lalu kita kumpulkan data sebelum meninggal, ante-mortem, kita masukkan ke file. Data setelah meninggal, post-mortem, juga dimasukkan ke file sendiri. Kemudian kita bandingkan di ruang rekonsiliasi file siapa cocok dengan file siapa.”
Begitu seringnya bersentuhan dengan kematian membuat insting Etty terasah. Dengan itu pula ia menemukan jenazah Prof Kusnadi Hardjasumantri.
Kembali menjadi debu
Banyak orang bertanya mengapa Etty tidak takut memegang tulang manusia yang sudah mati. ”Saya justru merasakan Tuhan menghadirkan diri-Nya, tak hanya ketika memegang tulang dari korban mutilasi, bencana, kecelakaan, tetapi juga dalam fosil. Itulah prasasti yang dipahatkan Tuhan di alam. Di situ misteri alam disingkap sedikit demi sedikit,” ujarnya.
Apa artinya kematian?
Dengan kematian, manusia memberikan kembali ke alam apa yang sudah dia ambil dari alam; mengembalikan tubuh ke bumi. Raga kita mengucurkan air ke Bumi dan alam menyikluskannya. Jadi, siklus air dikembalikan.
Maksudnya?
Komposisi air dalam tubuh manusia 75 persen, persis seperti di Bumi, 75 persennya adalah lautan. Air tawar di Bumi sangat terbatas. Kalaupun teknologi bisa mengubah air laut dalam jumlah besar menjadi air tawar, keseimbangan akan terganggu, dan membahayakan kehidupan.
Tubuh manusia terbuat dari bahan-bahan yang terdapat di alam semesta. Di dalam tubuh kita juga ada kumpulan makhluk hidup. Ada bakteri E-coli di usus, ada mikroba Streptococcus mutans di rongga mulut. Mikro-organisme dan manusia saling membutuhkan. Yang harus dijaga keseimbangannya. Kalau jumlahnya terlalu banyak, kita infeksi.
Jadi, semua di alam ini harus seimbang, homeostasis. Kematian adalah keseimbangan, termodinamika, dinamika panas atau energi; hangat tubuh kita dikembalikan ke Bumi ketika kita mati.
Ketika kematian menjemput, raga kita secara gradual terurai kembali, dari individu, organ, jaringan, sel, molekul, atom, ke zarah sub atom. Jadi, kulit, otot, tulang, semua terurai menjadi tak kasatmata, menjadi fosfor, fosfat, natrium, kalsium hidrogen, sulfur, yang menyuburkan alam sekitar, dan jutaan atom yang melayang di udara ini dihirup lagi oleh segala yang hidup.
Tetap misteri
Menurut Etty, raga yang terurai ini dapat terhampiri oleh ilmu pengetahuan, tetapi jiwa atau roh tetap menjadi misteri sepanjang masa.
Perubahan wujud sisa hayat manusia tertangkap indera penglihatan dalam situs arkeologi. Kadang kita menemukan sisa rangka manusia, ada pula yang rangkanya telah membubuk seperti bedak tabur.
”Dalam situs paleoantropologis, sisa hayat manusia membatu karena proses fosilisasi di mana zat organik terisi anorganik. Sisa hayat berbagai rupa ini menunjukkan betapa manusia memerlukan makhluk hayati lain, tak hanya semasa hidup, tetapi juga setelah mati, untuk mencapai wujud atau energi yang lain,” jelas Etty.
Ia melanjutkan, ”Manusia makan ketika hidup, tetapi jasadnya dimakan mikroba dan insekta ketika meninggal. Ini menyiratkan betapa kehidupan di dalam semesta ini saling terkait satu sama lain seperti jaring-jaring raksasa.”
Lebih jauh ia menjelaskan, ”Planet Bumi, alam semesta raya, merupakan satu rumah bagi semua, manusia, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara. Hukum telekinetik membuat perubahan di belahan dunia yang satu akan memengaruhi belahan dunia yang lain. Limbah merkuri perusahaan yang jauh dari Alaska dapat meracuni tubuh bayi yang minum ASI tercemar dari konsumsi salmon pada orang Inuit di Alaska.”
Apa yang hendak Anda katakan?
Planet Bumi dan segala isinya adalah rumah bersama kita semua. Kehidupan semua makhluk hayati bergantung pada sinar matahari dan erat berhubungan satu sama lain dalam rantai makanan. Tetapi, dalam sistem hayat di Planet Bumi, manusia adalah satu-satunya spesies yang tega membunuh sesama spesiesnya demi harta dan kekuasaan.
Manusia tega mengambil hak bertahan hidup manusia lainnya, tega membuang limbah yang meracuni kehidupan di wilayah tetangga, tega merusak alam demi uang sebanyak-banyaknya. Kalau sumber daya alam habis dan lingkungan alam rusak, kita tak bisa makan uang.
Pelajaran apa dari sejarah peradaban kalau manusia menghancurkan alam?
Kolaps. Peradaban manusia di berbagai belahan dunia pernah sangat maju dan kompleks. Bangunan kuno monumental di ketinggian hutan tropis di Tikal, Guamatemala, kini tinggal puing-puing. Lalu ke mana lenyapnya kejayaan suku Maya? Juga bangunan batu Kalasasaya yang mahaluas di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut di Tiwanaku, Bolivia. Tiwanaku kolaps karena perubahan iklim makro yang menyebabkan kekeringan sekitar 1100 tahun Sesudah Masehi.
Berbagai studi menyimpulkan, kolapsnya peradaban terutama terkait dengan degradasi sistem sosial-politik karena hancurnya sumber daya alam, ledakan jumlah penduduk, penyakit zoonotik endemik karena habitat hewan dipakai untuk hunian manusia.
Manusia adalah pemakan segala: hewan, tanaman, ia juga pengguna energi alam, listrik, gas dan bensin, yang merupakan transformasi dari fosil pyhtoplankton di perut Bumi. Kalau sumber daya alam habis dan lingkungannya hancur, mudah terjadi disintegrasi sosial politik, komunikasi vertikal dan horizontal putus, perang, kelaparan.
Jumlah penduduk Bumi yang telah melebihi kapasitas Bumi mengolah siklus dan memberi energi terbukti dari deforestasi dan overfishing. Penting bagi Indonesia mengendalikan jumlah penduduknya karena tiap insan perlu makan, ruang, dan energi alam untuk menyangga hidupnya. Kalau tidak hati-hati, Bumi mereduksi jumlah manusia dengan timbulnya bencana kelaparan, konflik perebutan sumber daya, dan penyakit.
Dengan seluruh pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, menurut Anda, hidup ini apa?
Yang sangat terasa dalam hidup ini adalah kesementaraannya. Kita di sini sebentar sekali. Umur kita berapa sih? Umur Bumi 4,5 miliar tahun menurut tafsiran geologis. Yang sebentar itu kita mau kita apakan? Apa mau mengeruk energi alam sebanyak-banyaknya untuk keluarga sendiri, kelompok sendiri, atau mau ikut memberikan kesadaran kepada sebanyak-banyaknya orang bahwa kita tak boleh serakah dan mau merawat produsen ini, yang kita makan, flora, fauna.
Jika kita mati, kita cuma membawa raga, bukan sertifikat, uang, atau pangkat. Orang bilang, kita harus tahu artinya cukup, tetapi itu relatif juga. Namun, kalau kita benar-benar memahami kesementaraan, kita tak akan menumpuk sedemikian rupa. (Maria Hartiningsih)
* * *
Sungguh kita sangat beruntung membaca penuturan Prof. drg. Etty Indriati, PhD ini, karena hanya dalam waktu beberapa menit kita dapat menerawang masa 4,5 miliar tahun umur bumi kita.
(DSP)