Berkunjung Kembali ke Ranah Minang (1)

"Babendi-bendi ka sungai Tanang
Aduhai sayang

Babendi-bendi ka sungai Tanang
Singgahlah memetik
Bungo Limbayung"
Telah lama sekali saya mendengar lagu daerah Minang tersebut, dan setelah berkali-kali ke ranah Minang, baru minggu lalu saya mengunjungi sungai Tanang.
Dari Maninjau kami berkendaraan menuju jalan raya Padang, Bukittinggi. Karena lalu lintas macet maka supir membelokkan mobil ke arah Selatan dan secara tidak sengaja melalui sungai Tanang.


Ternyata sungai Tanang adalah sebuah mata air dan membentuk sebuah telaga yang luas. Dulu sangat terkenal menjadi pemandian umum, tapi sekarang kurang terawat dan tidak banyak dikunjungi orang lagi.


(Masjid dekat Sungai Tanang)


Padang

Pada 9 Agustus 2008 lalu, untuk ke sekian kalinya saya berkunjung ke ranah Minang, kali ini bersama arsitek muda berbakat, Budi Pradono dan arsitek Mellisa.


(Di kafe menghadap ke Sungai Batang Arau)

Kunjungan kali ini ingin menjajaki kemungkinan perluasan usaha pariwisata di Sumatera Barat, selain Bukittinggi. Setelah mendarat di Bandar Udara Internasional Minangkabau di Ketaping, kami tancap gas ke kota Padang menyusuri Jl. Jend. Sudirman, Jl. Bagindo Azizchan lalu belok ke Jl. Thamrin, atau disebut daerah Ganting, lalu memotong sungai Batang Arau.




Ternyata daerah Padang peninggalan Belanda tersebut banyak mempunyai gedung-gedung menarik. Salah satunya gedung Bank Tabungan Sumatera Barat (dahulu Padangsche Spaarbank), yang terletak di pinggir sungai Batang Arau dan sekarang dijadikan hotel kecil dan kafe oleh seorang pengusaha Amerika yang cerdik, Christina Fowler. Dia melayani para peselancar dari Mancanegara.



The Hills

Sore harinya, kami meluncur ke kota wisata utama Sumatera Barat yaitu Bukittinggi nan sejuk. Pada zaman kolonial Belanda, di sini didirikan kubu pertahanan yang hingga kini masih ada, yaitu dikenal dengan Benteng Fort de Kock, pada tahun 1825.

Sesuai namanya, kota yang berpenduduk 100 ribu jiwa ini berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut.

Ikon kota ini adalah Jam Gadang, yang dibangun pada 1926 oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Pada bagian atasnya terdapat ornamen rumah adat Minangkabau. Pembangunan jam Gadang ini konon menghabiskan total biaya 300 Gulden.


(Jam Gadang, ikon kota Bukittinggi)



Secara geografis, Bukittinggi terdiri dari deretan bukit-bukit sehingga jalan-jalannya mendaki dan menurun. Di antara bukit-bukit itulah berdiri Hotel The Hills, dengan perpaduan langgam Moorish serta gaya arsitektur lokal Minang.






Artikel selanjutnya:
Berkunjung Kembali ke Ranah Minang (2)

1 comment :

Anonymous said...

It is nice to "go back" to Bukit tinggi through your August 2008's trip Pak Dedi, and seeing Jam Gadang again. I like all the pictures you took. I will go back to West Sumatra next November for training Disaster Victim Identification at Unand Padang; but will visit Bukit tinggi and probably stay at THE HILL as shown in your beautiful picture.Bravo!