Sekolah Dasar Negeri 04 Dusun Hutan Samak, tak jauh dari pinggir Selat Malaka, berdiri kokoh. Jaraknya yang lebih dekat dengan Malaysia-45 menit perjalanan perahu-itu seakan menantang kemajuan pendidikan negeri jiran. Fasilitas sekolah lengkap, tak kalah dibanding sekolah serupa di kota. Enam ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang guru, dan ruang tata usaha tertata rapi di area seluas setengah lapangan basket, kontras dibanding ratusan rumah kayu milik nelayan di sekitarnya.
Sejatinya ada 192 siswa yang tercatat di sekolah wilayah terluar Kabupaten Bengkalis, Riau, ini. Tapi saban hari tak sampai seratus orang yang hadir di kelas. "Minat belajar masih rendah," kata Azhar, Kepala Sekolah Dasar 04, dua pekan lalu. Masalah ini sudah lazim sejak sekolah masih berkonstruksi kayu, yang berdiri pada 1980.
Menurut Azhar, rendahnya kehadiran itu terjadi lantaran mayoritas siswa sudah melewati usia sekolah dasar. Puluhan di antaranya masuk sekolah pada usia 10 tahun. Bahkan ada belasan siswa kelas tiga berusia 17 tahun atau siswa kelas enam berusia 20 tahun. Mereka biasa meninggalkan kelas berbulan-bulan dan kembali belajar tanpa bisa diduga. Wajar jika lulusan sekolah ini tak lebih dari delapan siswa per tahun.
Serupa tapi tak sama, minat seratusan siswa Sekolah Dasar 02 di Labuan Kalo, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, pun tergolong rendah. Permukim-an terapung para nelayan ini dipastikan kehilangan murid pada hari-hari tertentu, seperti acara pernikahan, panen tambak, dan pasar kaget. "Masih untung mereka mau sekolah," kata Amin Tohari, salah satu guru.
Menurut Amin, jangan membandingkan sekolah satu-satunya di kawasan Cagar Alam Teluk Apar ini dengan sekolah di dekat pusat kabupaten/kota. "Penduduk di sini hanya tahu laut, ikan, dan pohon mangrove," katanya. Setelah lulus sekolah dasar, hampir semua siswa bekerja sebagai nelayan. Maklum, wilayah ini jauh dan sulit dijangkau. Transportasi satu-satunya hanya mengandalkan perahu yang tak setiap hari mampir ke Cagar Alam. Butuh waktu seharian untuk mencapai kawasan ini dari pusat Kabupaten Paser.
Kualitas pendidikan yang tak merata itu melahirkan gerakan Indonesia Mengajar. Cendekiawan muda Anies Baswedan-lah yang menggagas ide mengirim 51 pengajar muda lulusan universitas terbaik ke daerah terpencil di seluruh Indonesia, seperti Dusun Hutan Samak, Riau, dan Labuan Kalo, Kalimantan Timur, pada 2010.
Awal bulan ini, gerakan Indonesia Mengajar kembali berkeliling kampus-Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya-menyiapkan 200 pengajar muda untuk menggantikan 51 pengajar muda lainnya yang selesai mengabdi pada November 2011. "Satu tahun mengajar, seumur hidup menginspirasi," begitu kredo yang digaungkan Rektor Universitas Paramadina ini.
Sarjana pilihan ini diseleksi ketat dengan indeks prestasi kumulatif minimal 3. Mereka mendapat pelatihan pendidikan guru dan digaji dengan standar upah setara dengan management trai-nee bank swasta.
Sudah tiga bulan Patrya Pratama menjadi primadona di permukiman terapung Labuan Kalo. Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini menikmati perannya sebagai guru. "Ini tantangan untuk belajar dan menginspirasi," kata pemuda 23 tahun ini.
Selama di Labuan Kalo, ia tinggal di rumah H Taming, orang terpandang di kampung itu. Saban hari, pada pukul 06.30, Patrya bergegas ke sekolah menyusuri jalanan kayu selebar rentangan tangan-lebih mirip jembatan-yang menghubungkan setiap rumah nelayan. Sekolah terletak di tengah-tengahnya. Tak lupa rumah murid-murid yang dilewatinya diketuk; dia lalu mengajak mereka ke sekolah. Para orang tua murid pun dia ajak ngobrol soal pendidikan.
Tepat pukul 08.00 ia membunyikan lon-ceng sekolah. Tanggung jawabnya ada-lah mengajar kelas tiga, yang menempati ruangan 8 x 8 meter yang disekat jadi dua bersama kelas enam. Ada 30 murid bertelanjang kaki di ruang dua kelas itu. Bukan karena mereka tidak punya sepatu, tapi penggunaannya hanya untuk hari khusus. "Susah sekali mereka pakai sepatu, padahal punya, yang dipakai saat kondangan saja," kata anak pasangan dokter ini sembari tersenyum.
Patrya datang saat dibutuhkan. Sekolah Labuan Kalo sedang kekurangan- tenaga pengajar. Meski punya tujuh orang guru, mayoritas tinggal di pusat- Kabupaten Paser. Waktu guru-guru itu- banyak dihabiskan dalam perjalanan- pu-lang-pergi Labuan Kalo-Paser. Hanya satu guru yang tinggal menetap di La-buan Kalo. Dan tidak ada satu pun warga di Labuan Kalo yang pernah mengecap sekolah hingga perguruan tinggi.
Hasilnya, guru-guru secara bergiliran dimaksimalkan untuk mengajar 120 murid dari kelas satu hingga enam. Patrya tak jarang harus mengajar dua kelas secara bersamaan. "Kelas enam saya kasih tugas, kemudian saya lari ke kelas tiga untuk membahas mata pelajaran yang lalu," katanya. Sesungguhnya memang berat.
Hal serupa dirasakan Agus Rachmanto, pengajar muda di Dusun Hutan Samak. Tak jarang dia mengajar beberapa kelas. Tapi lulusan Jurusan Administrasi Negara UGM ini lebih sedih saat para siswa lebih mementingkan membantu orang tua daripada sekolah. "Mereka lebih senang mencari ikan," katanya.
Agus pun tak ketinggalan muncul bak primadona baru. Pemuda 26 tahun ini mampu merebut hati anak-anak didik dan penduduk. Mungkin itu juga yang dirasakan 51 pengajar muda lainnya yang disebar di pelosok yang berbeda. "Keluwesan dan tampilannya sangat diterima warga," kata Azhar. Padahal, untuk warga yang 99 persen suku Akid, penduduk setempat yang terkenal ikatan komunalnya tinggi, bukan hal mudah masuk dan diterima tetua suku dan anak-anaknya.Tapi, dari sisi akademis, Patrya dan Agus sepakat bahwa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung siswa di daerah terpencil itu masih kurang. Mereka bisa dikatakan tertinggal di mata pelajaran paling dasar ini. "Ini jadi fokus kami," kata Agus.
Untuk menyiasati siswa yang tak hadir saat ada acara-acara tertentu, Patrya punya ide membuat kelas yang bisa dipraktekkan di kehidupan sehari-hari. Misalnya, pada saat panen tambak, murid-murid yang biasa tidak hadir dibiasakan belajar tentang ikan, seputar bagaimana berkembangbiaknya, apa namanya, dan berapa harganya sekilo di pasar.
Kalau ada acara perkawinan, mereka diberi pendekatan belajar tentang tradisi dan adat-istiadat. "Mereka harus bisa melihat apa pentingnya sekolah dan relevansinya dengan kehidupan mereka sehari-hari," kata Patrya. Adapun Agus melakukan pendekatan lebih personal dengan mengajak para siswa berladang dan berolahraga di halaman sekolah.
Memang gurulah sumber kemajuan pendidikan. Negara membutuhkan pemuda seperti Agus dan Patrya. -Anies Baswedan pernah berkata Indonesia sungguh kekurangan tenaga guru, baik di kota, desa, maupun daerah terpencil. "Di kota kurang 21 persen, di desa mencapai 37 persen, dan di daerah terpencil mencapai 66 persen," katanya. Rata-rata, menurut dia, 34 persen.
Data Kementerian Pendidikan Indonesia pada 2010 mencatat jumlah guru di Indonesia kini 2.607.311, terdiri atas 634.576 guru swasta dan 1.972.735 guru negeri. Dari jumlah itu, terdapat 1,5 juta atau 57 persen guru yang belum memenuhi kualifikasi sarjana/diploma 4 atau 78,92 persen belum tesertifikasi.Kehadiran gerakan Indonesia Mengajar bertujuan mendorong peningkatan kualitas pendidikan tanpa mengecilkan peran pemerintah. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar Hikmat Hardono, pendidikan bukan tanggung jawab pemerintah semata. "Tapi kita bersama," katanya.
Tim Indonesia Mengajar sadar gerakan ini bukan satu-satunya solusi menyelesaikan masalah pelik pendidikan Indonesia, tapi diyakini bisa menjadi model bagi guru dan masyarakat. "Nanti warga pelosok tak hanya bercita-cita sesuai dengan model paling tinggi di wilayahnya, semisal nelayan, tapi meniru para sarjana pilihan itu," kata Hikmat.
Rudy Prasetyo (Jakarta), Jupernalis Samosir (Bengkalis), S.G. Wibisono (Labuan Kalo)
No comments :
Post a Comment