Pasar Apung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan adalah salah satu peninggalan budaya peradaban maritim di Indonesia yang sudah ada sejak 400 tahun yang lalu. Dimulai pada tahun 1526, Sultan Suriansyah mendirikan istananya di sekitar tepi sungai Kuin, yang kelak menjadi cikal bakal dari kota Banjarmasin. Sejak saat itulah tepian sungai ini mulai ramai dikunjungi dan melahirkan sebuah pasar tradisional unik yaitu Pasar Apung.
Pada waktu itu disebabkan sulitnya akses transportasi darat, maka masyarakat di "kota seribu sungai" ini menggunakan sungai sebagai jalur alternatif. Hal ini kemudian menjadi wadah kegiatan ekonomi tradisional dalam bentuk barter. Pasar Apung akhirnya berkembang menjadi salah satu tujuan wisata air di Kalimantan Selatan.
Pasar terapung merupakan salah satu obyek wisata andalan di Banjarmasin karena hampir setiap hari wisatawan baik dalam maupun luar negeri kerap menyempatkan untuk datang ke lokasi tersebut. Umumnya mereka sangat menikmati perjalanan wisata tersebut karena selain ke pasar terapung, wisatawan juga menikmati kehidupan masyarakat yang berada di sepanjang daerah aliran sungai yang rumah-rumahnya terbuat dari kayu ulin.
Terdapat sejumlah Pasar Apung di Kalimantan dan salah satunya berada di atas sungai Barito di muara sungai Kuin. Uniknya pasar seperti ini hanya ada pada pagi hari yakni mulai pukul 05.30 sampai 07.30 WITA. Kalau sudah melewati jam tersebut, maka sudah tidak ada lagi.
Untuk menuju ke pasar terapung yang masuk dalam wilayah Desa Kuin Alalah, Banjarmasin Utara, pengunjung harus pagi-pagi datang ke pelabuhan di Desa Kuin Utara atau tepatnya berada di depan Masjid Sultan Suriansyah. Bagi wisatawan yang beragama Islam, biasanya menunaikan shalat Subuh dulu di masjid yang bangunannya terbuat dari kayu ulin tersebut. Baru berangkat ke pasar terapung dengan menggunakan perahu bermesin yang berpenumpang maksimal 10 orang.
Dinamakan Pasar Apung, karena memang transaksi jual beli dilakukan di perahu yang berukuran kecil dan sedang. Barang yang dijual hampir sama dengan pasar-pasar yang ada di daratan. Dan umumnya kebutuhan makanan sehari-hari, seperti ikan, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Di pasar terapung juga ada pedagang yang menjual makanan siap saji, seperti kopi, teh, kue, nasi untuk sarapan dengan berbagai menu, seperti soto banjar, ikan goreng, dan sate. Salah satu keunikan pasar terapung ini adalah apabila Anda ingin membeli jajanan kue maka cara mengambil kue tersebut harus menggunakan alat bantu seperti tongkat yang diujungnya terdapat kawat untuk ditanjapkan pada jajanan yang kita inginkan.
Kebanyakan para pedagang adalah para ibu-ibu. Menariknya, di Pasar terapung ini juga masih berlaku barter antar pedagang. Tak ada organisasi pedagang sehingga jumlah mereka yang berjualan tak terhitung. Mereka datang untuk berjualan, dan bubar dengan sendirinya ketika matahari pagi mulai terik.
Pasar Apung Terancam Punah
Aktivitas pasar terapung menghadapi ancaman besar beberapa tahun ke belakang. Transaksi perdagangan tidak lagi ramai. Dampaknya, banyak wisatawan yang kecewa. Dulu, di Kuin Selatan ada sekitar 300 pedagang. Kini, hanya tersisa puluhan orang.
Kegiatan pasar terapung yang mengandalkan musim panen juga terganggu akibat gagal panen dan bencana banjir. Modernisasi juga membuat pesona pasar terkikis. Saat transportasi darat belum berkembang, sungai menjadi sarana perjalanan utama. Pasar terapung pun ikut berkembang pesat. Namun sekarang penduduk sudah makin banyak yang memiliki motor dan mobil, sehingga banyak yang lebih memilih belanja di supermarket di kota.
Pemerintah provinsi maupun kabupaten tidak tinggal diam. Antara lain upayanya adalah menggulirkan bantuan berupa klotok dan jukung (perahu) untuk para pedagang dan juga menyelenggarakan festival-festival pasar apung secara reguler serta membangun kampung wisata di sekitar daerah pasar apung Kuin Selatan.
~ o 0 o ~
Sumber:
Kompas, 20/9/2013
Banjarmasinkota.go.id
wikipedia.com
Tarian Jiwa Mila...
Post by
DSP
Wajahnya yang ayu tiba-tiba berubah tak keruan. Menyeramkan. Bibirnya melotot ke samping kanan dan kiri, tak simetris. Pipinya melorot ke bawah, lalu tertarik ke atas. Bola matanya bulat melotot seakan-akan hendak copot....
Mila Rosinta Totoatmojo (26) tidak peduli jika harus kehilangan ekspresi kecantikan wajahnya saat menari. Ketika di atas panggung, ia memasrahkan diri, melebur dengan karakter yang ia bawakan. Tariannya adalah ekspresi jiwanya.
”Menari itu untuk apa sih, tergantung dari niatnya. Kalau menari untuk kelihatan seksi, ya begitu saja hasilnya. Bagiku, menari itu seperti berdoa. Seperti tari sufi yang menari untuk berdoa. Di atas panggung, saya niat berdoa, memasrahkan diri,” kata Mila.
Wajah mungilnya saat itu sedikit berembun karena lelah di sela persiapan pertunjukan kolaborasinya bersama penari senior Didik Nini Thowok, beberapa waktu lalu di Jakarta. Mila tampil percaya diri mewakili generasinya lewat karya kolaborasi berjudul ”Canda Tua Muda”. Tidak hanya ”beradu” kemampuan tari, tetapi juga menyelaraskan diri, berkomunikasi lewat gerakan dan pesan yang ingin disampaikan.
Tari telah menjadi bagian kehidupannya sejak kecil. Ketika di bangku SD, Mila ikut berbagai les. Namun, hanya les tari yang setia memberinya prestasi. Ia bahkan sudah mengkreasikan gerakan senam atau jaipong bersama untuk kegiatan di SD-nya. Selaiknya remaja Ibu Kota, Mila juga menyenangi pop dance dan tergabung dalam kelompok pemandu sorak di sekolah.
Ketika pindah ke Yogyakarta mengikuti orangtua, ia menemui tantangan baru. Saat itu, Mila diminta mengikuti seleksi pertukaran pelajar ke Jepang. Ia harus mempelajari tari Jawa yang halus. Padahal, selama ini yang ia pelajari tari Bali yang ekspresif. Setahun lamanya, ia ”berdarah-darah” belajar tari Jawa, termasuk kepada penari keraton. Hasilnya tak mengecewakan, Mila terpilih dan tinggal di Jepang selama setahun.
Rasa dahaganya mempelajari sesuatu yang baru membuatnya bak kutu loncat. Ia belajar ke sana-kemari tarian apa pun yang menarik hati, mulai dari hip hop, pop dance, sampai K-Pop. Sampai ketika harus kuliah, Mila memantapkan pilihan masuk Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta meski diterima pula di sejumlah perguruan tinggi ternama lainnya di Kota Gudeg. Ia tidak bisa mengingkari hatinya yang memilih tari. Untung saja, Mila berhasil meyakinkan orangtua akan pilihan itu setelah berjanji membiayai sendiri kuliahnya.
”Perjumpaan dengan seorang seniman asal Indonesia di Jepang membuka wawasan saya. Penari atau koreografer bisa menjadi profesi. Menyenangkan sekali, passion kita di situ, mengerjakannya tidak terpaksa dan menghasilkan,” kata Mila.
”Wirogo, wiromo, wiroso”
Segala macam tari tradisi Nusantara ia pelajari. Selain di kampus, Mila juga menimba ilmu kepada penari atau teman-teman dari lain daerah. Kesulitan dan tantangan masing-masing tarian menjadi ”tabungan” gerak tubuh seorang penari.
Kemampuan Mila semakin terasah setelah bergabung dengan Tembi Dance Company. Berbagai lokakarya membawanya berkenalan dengan tari topeng Cirebon hingga balet dan gerak gimnastik. Mila juga tidak hanya digembleng menjadi penari dan koreografer, tetapi juga penyelenggaraan acara, manajemen, ideologi, filosofi, dan politik tari. Dari sini, ia juga beroleh penghasilan untuk membiayai kuliah dan karyanya, selain dari beasiswa kampus. Hingga kini, sudah puluhan tari, baik karya sendiri, bersama Tembi maupun kolaborasi, yang ia pentaskan ke berbagai daerah dan negara, seperti Jepang, Belanda, Mesir, India, Thailand, dan Singapura. Di negeri orang, Mila akan menyuguhkan tari tradisi dan kontemporer.
Ia juga menambah kemampuannya mencipta tari dengan melanjutkan pendidikan ke tingkat strata dua di kampus yang sama dengan beasiswa dari India. Melihat pencapaiannya dalam menari, rasanya ia telah melampaui fasewirogo (teknik menari) dan wiromo (harmoni gerak tubuh dan irama). Sementara wiroso (rasa jiwa) yang membuahkan taksu dikembalikan kepada penilaian penonton.
”Ketika menari, saya mencoba melupakan masalah apa pun yang sedang saya pikirkan. Berusaha menyatu dengan apa yang ada. Saya percaya alam bersama kita. Sampai pernah tangan saya berdarah. Baru sadar setelah selesai menari,” kata Mila.
Setelah tiga tahun bergabung dengan Tembi, Mila memberanikan diri merintis sekolah tarinya sendiri, Mila Art Dance (MAD). Ia ingin menghidupi tari sekaligus hidup dari tari. Mila kemudian membaginya menjadi MAD School untuk yang tidak punya dasar tari dan MAD Group bagi para penari. Kebetulan yang bergabung dengannya sebagai pengajar kebanyakan para penari perempuan yang punya energi dan visi yang sama.
Mila sengaja menawarkan berbagai macam tarian, mulai tari tradisi, kreasi, yoga, ballroom, hip hop, hingga K-Pop. Selain mempermudah mereka yang ingin belajar berbagai jenis tarian di satu tempat, ia ingin menggaet simpati anak muda kepada tradisi. ”Mulanya mereka saya kenalkan dengan tari kreasi, tari yang ada unsur tradisinya. Lama-lama saya ajak melihat tari tradisi. Banyak yang tidak kenal, selain menganggap tari tradisi itu membosankan dan bikin ngantuk,” ujar Mila.
Apresiasi tradisi
Dari semula tidak menyenangi, anak-anak muda itu kemudian mulai mengapresiasi tari tradisi. Bahwa tari tradisi tidak kalah menantangnya. Saat ini, ada 60 orang yang bergabung di MAD School serta 18 pengajar dan penari di MAD Group. Pada awalnya, mereka harus menumpang latihan di lapangan atau pendopo rumah orang. Akhirnya sejak April lalu, mereka berhasil memiliki studio sendiri yang berlokasi di Jalan Manggis, Condongcatur, Sleman.
Setiap empat bulan sekali ia membuat lokakarya gratis bagi para peminat tari yang ingin bergabung dengan MAD. Peserta boleh mengikuti kelas apa saja selama sehari. Mila juga membuat Tinta Tari dan Metamorfosa, semacam festival yang mempertemukan penari yunior dan senior serta panggung menampilkan karya tari peserta.
Ketika menciptakan sebuah tarian, Mila tidak sekadar ingin membuat tariannya indah dilihat. Tariannya harus bisa menjadi penyampai pesan. Ia terbiasa riset untuk menyusun komposisi gerakan tarinya. Menurut dia, seniman punya tanggung jawab sosial. Seperti karyanya ”Sang Kaca Rasa”, yang wajahnya menjadi tak karuan, membawa pesan siapa menabur akan menuai.
”Saya yakin semua manusia punya tugas masing-masing, tinggal menyadari atau tidak. Nah, tugas saya adalah menari,” kata Mila.
(SRI REJEKI)
~ o 0 o ~
Sumber: Kompas, 18/10/2015
Mila Rosinta Totoatmojo (26) tidak peduli jika harus kehilangan ekspresi kecantikan wajahnya saat menari. Ketika di atas panggung, ia memasrahkan diri, melebur dengan karakter yang ia bawakan. Tariannya adalah ekspresi jiwanya.
KOMPAS/Riza Fathoni |
Wajah mungilnya saat itu sedikit berembun karena lelah di sela persiapan pertunjukan kolaborasinya bersama penari senior Didik Nini Thowok, beberapa waktu lalu di Jakarta. Mila tampil percaya diri mewakili generasinya lewat karya kolaborasi berjudul ”Canda Tua Muda”. Tidak hanya ”beradu” kemampuan tari, tetapi juga menyelaraskan diri, berkomunikasi lewat gerakan dan pesan yang ingin disampaikan.
Tari telah menjadi bagian kehidupannya sejak kecil. Ketika di bangku SD, Mila ikut berbagai les. Namun, hanya les tari yang setia memberinya prestasi. Ia bahkan sudah mengkreasikan gerakan senam atau jaipong bersama untuk kegiatan di SD-nya. Selaiknya remaja Ibu Kota, Mila juga menyenangi pop dance dan tergabung dalam kelompok pemandu sorak di sekolah.
Ketika pindah ke Yogyakarta mengikuti orangtua, ia menemui tantangan baru. Saat itu, Mila diminta mengikuti seleksi pertukaran pelajar ke Jepang. Ia harus mempelajari tari Jawa yang halus. Padahal, selama ini yang ia pelajari tari Bali yang ekspresif. Setahun lamanya, ia ”berdarah-darah” belajar tari Jawa, termasuk kepada penari keraton. Hasilnya tak mengecewakan, Mila terpilih dan tinggal di Jepang selama setahun.
Rasa dahaganya mempelajari sesuatu yang baru membuatnya bak kutu loncat. Ia belajar ke sana-kemari tarian apa pun yang menarik hati, mulai dari hip hop, pop dance, sampai K-Pop. Sampai ketika harus kuliah, Mila memantapkan pilihan masuk Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta meski diterima pula di sejumlah perguruan tinggi ternama lainnya di Kota Gudeg. Ia tidak bisa mengingkari hatinya yang memilih tari. Untung saja, Mila berhasil meyakinkan orangtua akan pilihan itu setelah berjanji membiayai sendiri kuliahnya.
”Perjumpaan dengan seorang seniman asal Indonesia di Jepang membuka wawasan saya. Penari atau koreografer bisa menjadi profesi. Menyenangkan sekali, passion kita di situ, mengerjakannya tidak terpaksa dan menghasilkan,” kata Mila.
”Wirogo, wiromo, wiroso”
milarosinta.blogspot.co.id |
Kemampuan Mila semakin terasah setelah bergabung dengan Tembi Dance Company. Berbagai lokakarya membawanya berkenalan dengan tari topeng Cirebon hingga balet dan gerak gimnastik. Mila juga tidak hanya digembleng menjadi penari dan koreografer, tetapi juga penyelenggaraan acara, manajemen, ideologi, filosofi, dan politik tari. Dari sini, ia juga beroleh penghasilan untuk membiayai kuliah dan karyanya, selain dari beasiswa kampus. Hingga kini, sudah puluhan tari, baik karya sendiri, bersama Tembi maupun kolaborasi, yang ia pentaskan ke berbagai daerah dan negara, seperti Jepang, Belanda, Mesir, India, Thailand, dan Singapura. Di negeri orang, Mila akan menyuguhkan tari tradisi dan kontemporer.
Ia juga menambah kemampuannya mencipta tari dengan melanjutkan pendidikan ke tingkat strata dua di kampus yang sama dengan beasiswa dari India. Melihat pencapaiannya dalam menari, rasanya ia telah melampaui fasewirogo (teknik menari) dan wiromo (harmoni gerak tubuh dan irama). Sementara wiroso (rasa jiwa) yang membuahkan taksu dikembalikan kepada penilaian penonton.
”Ketika menari, saya mencoba melupakan masalah apa pun yang sedang saya pikirkan. Berusaha menyatu dengan apa yang ada. Saya percaya alam bersama kita. Sampai pernah tangan saya berdarah. Baru sadar setelah selesai menari,” kata Mila.
Setelah tiga tahun bergabung dengan Tembi, Mila memberanikan diri merintis sekolah tarinya sendiri, Mila Art Dance (MAD). Ia ingin menghidupi tari sekaligus hidup dari tari. Mila kemudian membaginya menjadi MAD School untuk yang tidak punya dasar tari dan MAD Group bagi para penari. Kebetulan yang bergabung dengannya sebagai pengajar kebanyakan para penari perempuan yang punya energi dan visi yang sama.
Mila sengaja menawarkan berbagai macam tarian, mulai tari tradisi, kreasi, yoga, ballroom, hip hop, hingga K-Pop. Selain mempermudah mereka yang ingin belajar berbagai jenis tarian di satu tempat, ia ingin menggaet simpati anak muda kepada tradisi. ”Mulanya mereka saya kenalkan dengan tari kreasi, tari yang ada unsur tradisinya. Lama-lama saya ajak melihat tari tradisi. Banyak yang tidak kenal, selain menganggap tari tradisi itu membosankan dan bikin ngantuk,” ujar Mila.
Apresiasi tradisi
Dari semula tidak menyenangi, anak-anak muda itu kemudian mulai mengapresiasi tari tradisi. Bahwa tari tradisi tidak kalah menantangnya. Saat ini, ada 60 orang yang bergabung di MAD School serta 18 pengajar dan penari di MAD Group. Pada awalnya, mereka harus menumpang latihan di lapangan atau pendopo rumah orang. Akhirnya sejak April lalu, mereka berhasil memiliki studio sendiri yang berlokasi di Jalan Manggis, Condongcatur, Sleman.
Setiap empat bulan sekali ia membuat lokakarya gratis bagi para peminat tari yang ingin bergabung dengan MAD. Peserta boleh mengikuti kelas apa saja selama sehari. Mila juga membuat Tinta Tari dan Metamorfosa, semacam festival yang mempertemukan penari yunior dan senior serta panggung menampilkan karya tari peserta.
Ketika menciptakan sebuah tarian, Mila tidak sekadar ingin membuat tariannya indah dilihat. Tariannya harus bisa menjadi penyampai pesan. Ia terbiasa riset untuk menyusun komposisi gerakan tarinya. Menurut dia, seniman punya tanggung jawab sosial. Seperti karyanya ”Sang Kaca Rasa”, yang wajahnya menjadi tak karuan, membawa pesan siapa menabur akan menuai.
”Saya yakin semua manusia punya tugas masing-masing, tinggal menyadari atau tidak. Nah, tugas saya adalah menari,” kata Mila.
(SRI REJEKI)
~ o 0 o ~
Sumber: Kompas, 18/10/2015
Surga Segala Pohon
Post by
DSP
Kebun Raya Bogor pada awal abad ke-19 disebut-sebut sebagai surga dan kebanggaan Pulau Jawa. Jalan Kenari atau Kanari Avenue yang menjadi akses utama menuju Buitenzorg disebut sebagai jalan terbaik di dunia saat itu.
Segala puja-puji ini dituliskan Eliza Ruhamah Scidmore dalam bukunya Java: The Garden of The East yang terbit pertama kali tahun 1899. Scidmore cukup lengkap menggambarkan kondisi kebun raya dan koleksinya saat itu, yang sebagian besar masih bisa kita temui saat ini. Koleksi palem, bambu, anggrek, manggis, rambutan, beringin, paku-pakuan, kamboja, hingga tanaman bernilai ekonomis, seperti tebu, karet, teh, kopi, dan rempah-rempah.
Kebun Raya Bogor menjadi kebanggaan Belanda, bersaing dengan Perancis yang saat itu mencoba mengembangkan tempat serupa di Saigon (Ho Chi Minh City) serta Inggris di Singapura, Ceylon (Sri Lanka), Kalkutta, dan Jamaika.
Asia Tenggara selama 300 tahun menjadi fokus negara-negara Eropa dalam upaya mengontrol perdagangan rempah-rempah. Kebun raya, terutama di Bogor dan Singapura, memainkan peran penting dalam riset tanaman rempah dan tumbuhan lain dalam konteks kepentingan ekonomi, seperti disebut Francis Ng dan Gregori Hambali dalam bukunya Bogor, The Botanic Garden.
Kebun Raya Bogor (KRB) yang semula taman Buitenzorg dinaikkan statusnya menjadi kebun raya pada tahun 1817 oleh CGC Reinwardt yang saat itu menjabat direktur pertanian, seni, dan ilmu pengetahuan di Jawa. Reinwardt kemudian menjadi direktur pertama KRB. Patungnya dibangun di tepi danau gunting yang menghadap Istana Buitenzorg atau sekarang Istana Bogor.
Buitenzorg sendiri berarti without care atau tanpa pemeliharaan. Tanpa diapa-apakan, tempat itu aslinya memang sudah indah yang membuat Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff kepincut dan membangun tempat peristirahatan di sana pada tahun 1744. Sumber-sumber tidak tertulis menyebutkan, area KRB pada masa Kerajaan Pajajaran adalah samida atau kebun raja.
Dari semula 900 tumbuhan yang ditanam di lahan seluas 47 hektar, kini KRB yang mencakup luas 87 hektar memiliki koleksi 4.021 jenis dan 19.580 spesimen tanaman. Semuanya terbagi dalam koleksi kebun, koleksi rumah kaca anggrek, koleksi rumah kaca paku, dan koleksi rumah kaca begonia. KRB juga menjadi rumah bagi serangga, kalong, dan burung, seperti kepodang, kucica, cinenen, dan cekakak.
Jika dulu Belanda mengembangkan KRB sebagai tempat untuk adaptasi dan aklimatisasi tumbuh-tumbuhan yang didatangkan dari luar Indonesia, kini fungsi itu bertambah. Meski tetap ada kegiatan penelitian domestifikasi dan seleksi tumbuhan berpotensi ekonomis, fungsinya kini lebih ditekankan pada konservasi tanaman yang terancam punah, restorasi tanaman langka, dan riset perubahan iklim.
Pepohonan di KRB tidak luput dari pengaruh perubahan iklim. Begitu pun Bogor yang dahulu digambarkan hujan hampir setiap hari kini tidak bisa berkelit dari iklim global.
Setiap pohon di KRB memiliki identitas dan sejarah masing-masing yang ditulis lengkap. Data itu tetap dipertahankan meskipun pohon sudah mati. Selain pohon-pohon bersejarah, kebanggaan KRB yang lain adalah koleksi bunga rafflesia (Rafflesia arnoldii) dan bunga bangkai (Amorphophallus titanum) yang berasal dari Sumatera. Kedua jenis koleksi ini menjadi ikon KRB. Setelah tujuh tahun penelitian, rafflesia yang sebenarnya parasit ini akhirnya bisa dibudidayakan.
Bunga rafflesia ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles yang menjadi gubernur jenderal di Jawa (1811-1816). Raffles juga terpikat dengan Buitenzorg dan sempat membentuk kebun Istana Buitenzorg menjadi taman bergaya Inggris. Ketika istrinya meninggal di Batavia akibat malaria pada tahun 1814, ia membangun Monumen Lady Raffles di dalam kebun istana untuk mengenang sang istri, Lady Olivia Mariamne. Beberapa tempat, jalan, atau laboratorium di KRB diberi nama berdasarkan nama-nama mereka yang dinilai berjasa.
Peran penting KRB yang lain adalah memelopori budaya penelitian di Indonesia. Sejumlah lembaga penelitian, museum, hingga perguruan tinggi muncul sebagai perkembangan dari kegiatan penelitian di KRB.
~ o 0 o ~
Sumber:
Kompas, 18/102015
Tugu Lady Raffles (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA) |
Segala puja-puji ini dituliskan Eliza Ruhamah Scidmore dalam bukunya Java: The Garden of The East yang terbit pertama kali tahun 1899. Scidmore cukup lengkap menggambarkan kondisi kebun raya dan koleksinya saat itu, yang sebagian besar masih bisa kita temui saat ini. Koleksi palem, bambu, anggrek, manggis, rambutan, beringin, paku-pakuan, kamboja, hingga tanaman bernilai ekonomis, seperti tebu, karet, teh, kopi, dan rempah-rempah.
Kebun Raya Bogor menjadi kebanggaan Belanda, bersaing dengan Perancis yang saat itu mencoba mengembangkan tempat serupa di Saigon (Ho Chi Minh City) serta Inggris di Singapura, Ceylon (Sri Lanka), Kalkutta, dan Jamaika.
Asia Tenggara selama 300 tahun menjadi fokus negara-negara Eropa dalam upaya mengontrol perdagangan rempah-rempah. Kebun raya, terutama di Bogor dan Singapura, memainkan peran penting dalam riset tanaman rempah dan tumbuhan lain dalam konteks kepentingan ekonomi, seperti disebut Francis Ng dan Gregori Hambali dalam bukunya Bogor, The Botanic Garden.
Kebun Raya Bogor (KRB) yang semula taman Buitenzorg dinaikkan statusnya menjadi kebun raya pada tahun 1817 oleh CGC Reinwardt yang saat itu menjabat direktur pertanian, seni, dan ilmu pengetahuan di Jawa. Reinwardt kemudian menjadi direktur pertama KRB. Patungnya dibangun di tepi danau gunting yang menghadap Istana Buitenzorg atau sekarang Istana Bogor.
Buitenzorg sendiri berarti without care atau tanpa pemeliharaan. Tanpa diapa-apakan, tempat itu aslinya memang sudah indah yang membuat Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff kepincut dan membangun tempat peristirahatan di sana pada tahun 1744. Sumber-sumber tidak tertulis menyebutkan, area KRB pada masa Kerajaan Pajajaran adalah samida atau kebun raja.
Dari semula 900 tumbuhan yang ditanam di lahan seluas 47 hektar, kini KRB yang mencakup luas 87 hektar memiliki koleksi 4.021 jenis dan 19.580 spesimen tanaman. Semuanya terbagi dalam koleksi kebun, koleksi rumah kaca anggrek, koleksi rumah kaca paku, dan koleksi rumah kaca begonia. KRB juga menjadi rumah bagi serangga, kalong, dan burung, seperti kepodang, kucica, cinenen, dan cekakak.
Istana Bogor (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA) |
Jika dulu Belanda mengembangkan KRB sebagai tempat untuk adaptasi dan aklimatisasi tumbuh-tumbuhan yang didatangkan dari luar Indonesia, kini fungsi itu bertambah. Meski tetap ada kegiatan penelitian domestifikasi dan seleksi tumbuhan berpotensi ekonomis, fungsinya kini lebih ditekankan pada konservasi tanaman yang terancam punah, restorasi tanaman langka, dan riset perubahan iklim.
Pepohonan di KRB tidak luput dari pengaruh perubahan iklim. Begitu pun Bogor yang dahulu digambarkan hujan hampir setiap hari kini tidak bisa berkelit dari iklim global.
Setiap pohon di KRB memiliki identitas dan sejarah masing-masing yang ditulis lengkap. Data itu tetap dipertahankan meskipun pohon sudah mati. Selain pohon-pohon bersejarah, kebanggaan KRB yang lain adalah koleksi bunga rafflesia (Rafflesia arnoldii) dan bunga bangkai (Amorphophallus titanum) yang berasal dari Sumatera. Kedua jenis koleksi ini menjadi ikon KRB. Setelah tujuh tahun penelitian, rafflesia yang sebenarnya parasit ini akhirnya bisa dibudidayakan.
Bunga rafflesia ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles yang menjadi gubernur jenderal di Jawa (1811-1816). Raffles juga terpikat dengan Buitenzorg dan sempat membentuk kebun Istana Buitenzorg menjadi taman bergaya Inggris. Ketika istrinya meninggal di Batavia akibat malaria pada tahun 1814, ia membangun Monumen Lady Raffles di dalam kebun istana untuk mengenang sang istri, Lady Olivia Mariamne. Beberapa tempat, jalan, atau laboratorium di KRB diberi nama berdasarkan nama-nama mereka yang dinilai berjasa.
Peran penting KRB yang lain adalah memelopori budaya penelitian di Indonesia. Sejumlah lembaga penelitian, museum, hingga perguruan tinggi muncul sebagai perkembangan dari kegiatan penelitian di KRB.
~ o 0 o ~
Sumber:
Kompas, 18/102015
Subak, Riwayatmu Kini
Post by
DSP
Gagasan masyarakat Yunani kuno dengan republik ternyata masih hidup di Bali. Tak seperti Republik Indonesia yang besar, bermasalah, dan sulit menerapkan hukum langsung pada anggotanya, masyarakat desa Bali dengan kesederhanaan justru menjadi representasi republik sejati.
--Sunaryono Basuki Ks, KOMPAS (29/08/2012)
Subak merupakan salah satu sistem demokrasi tertua di dunia. Sistem pengairan subak, pembagian air untuk persawahan, pura, dan bagi masyarakat menggunakan filosofi demokratis yang tidak mengambil dari luar tetapi menggali dari dalam negeri sendiri.
Di Bali, sistem pura air yang diwariskan nenek moyang memungkinkan subak untuk mengatur kegiatan di sepanjang aliran sungai. Naskah leluhur dari raja-raja Bali di abad kesebelas menyebutkan tentang sistem subak dan pura air yang sebagian masih berfungsi sampai sekarang. Sistem pengairan dianggap sebagai anugerah dari dewi penguasa danau yang terbentuk dari kawah. Setiap subak memberikan persembahan kepada para dewa dewi di pura air masing-masing. Pura ini juga menjadi tempat bertemu bagi para petani guna memilih pemimpin dan membuat keputusan bersama tentang jadwal pengairan mereka. Kelompok-kelompok subak yang memiliki sumber air yang sama membentuk perkumpulan pura air per wilayah, di mana semua subak menyepakati jadwal tanam di Daerah Aliran Sungai (DAS).
Pada sistem subak terjadi model kerjasama sosial dalam mengelola air, intinya di dalam sistem sosial, bentang lahan (landscape) tidak boleh diubah. Aliran sungai yang tercipta oleh aliran gunung vulkanik tidak diubah, tetapi diatur aliran airnya untuk memenuhi kebutuhan areal persawahan. Jika terjadi pelanggaran, hukuman yang dijatuhkan, dilakukan melalui pembayaran sanksi denda berupa uang maupun kewajiban melakukan upacara. Karena sifatnya yang dibangun dari bawah (bottom up), pemerintah tidak melakukan intervensi dalam pengelolaan sistem subak ini.
Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi, masyarakat adat Bali mempunyai konsep Tri Hita Karana sebagai landasannya. Menurut pengertiannya Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kesejahteraan di dalam kehidupan manusia. Pengertian tersebut diambil dari masing-masing katanya yaitu Tri yang artinya tiga, Hita yang artinya sejahtera dan Karana yang artinya penyebab. Konsep tersebut kemudian diterapkan juga pada sistem organisasi subak. Penerapan konsep ini bertujuan agar keseimbangan hidup (antara Tuhan, manusia dan alam) sebagaimana dalam ajaran agama Hindu tetap terjaga.
Tantangan terhadap Subak Saat Ini
Lanskap subak di Bali yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia menghadapi tantangan, antara lain alih fungsi lahan dan minimnya regenerasi petani. Ratusan hektare lahan sawah di Bali beralih fungsi tiap tahun. Peralihan fungsi lahan sawah juga berdampak rusaknya sistem irigasi pertanian, yang berpengaruh terhadap subak.
Steve Lansing, dari Arizona University yang telah lebih dari tigapuluh tahun meneliti tentang subak, menguraikan beberapa ancaman terhadap keberadaan subak saat ini, seperti dikutip oleh Mongabay.co.id:
- - Penggunaan bahan kimia (pestisida) yang memperngaruhi kesuburan tanah. Petani sulit untuk mengembalikan lahan pertanian untuk produksi organik, karena lahan telah telanjur menggunakan bahan kimia penyubur tanah selama bertahun-tahun.
- - Turisme yang menyebabkan fragmentasi teras persawahan Subak, meningkatnya laju penjualan lahan pertanian dan hilangnya kesatuan bentang lahan yang berganti menjadi lahan komersil untuk pembangunan hotel, villa, kios-kios souvenir.
- - Kualitas air yang menurun disebabkan pesatnya tekanan pembangunan di kawasan hulu dan hilangnya wilayah tutupan hutan.
- - Potensi terjadinya bencana alam termasuk gempa bumi yang bisa menyebabkan perubahan bentang lahan dan aliran air disebabkan Bali merupakan wilayah vilkasin.
- - Perubahan iklim yang dapat berpengaruh terhadap frekuensi curah hujan baik menjadi lebih maupun curah hujan yang berkurang.
Usaha Konservasi Subak
Mengenai ancaman alih fungsi lahan subak, permasalahan yang terjadi sangatlah sistemik. Ketika sebuah petak sawah dijual untuk dikonversi menjadi bangunan komersial seperti hotel, maka otomatis pajak bumi dan bangunan serta tanah akan menjadi meningkat, tidak saja untuk bidang lahan yang dijual tersebut, namun juga berimbas untuk bidang lahan tetangganya yang berada dalam satu area.
Tentu saja, seorang petani tidak akan mampu untuk membayar pajak yang tinggi yang tidak sebanding dengan penghasilan yang dihasilkannya. Akibatnya, terjadi efek domino, seluruh wilayah yang terbebani oleh pajak yang meningkat akan dilepaskan oleh para petani. Alih-alih membayar pajak tinggi, pada akhirnya mau tidak mau, lahan persawahan produktif terpaksa dijual oleh pemiliknya. Dengan terjadinya efek berantai dari penjualan tanah, pada akhirnya sistem subak akan kolaps dan dikuatirkan berujung pada kehancuran.
Salah satu organisasi yang peduli terhadap keberlangsungan subak ialah Yayasan Konservasi Sawah Bali (Bali Rice Field Conservation Foundation). Manajemen pengelolaan lahan sawah yang akan diperkenalkan Yayasan ini mirip dengan konsep 'Land Trust' di Amerika Serikat yang telah berhasil diterapkan selama 40 tahun untuk melestarikan lahan pertanian. Yayasan Sawah Bali akan meniru konsep 'Land Trust' di AS untuk menjaga agar penduduk sekitar wilayah 'pilot project' mampu bekerja sama secara produktif dengan menerapkan praktek pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang baik guna meningkatkan daya saing produk pertanian lokal.
Sebanyak 135 anggota Subak Malung Bulu Jauk di desa Bunutan dan Tanggayuda, Ubud Utara, telah bersedia dan bertekad untuk menjadi subak pertama di Bali yang berpartisipasi dalam 'pilot project' ini. Konsep pertama dan yang paling sentral dalam usaha konservasi lahan adalah dengan menawarkan kompensasi finansial untuk lahan sawah petani lokal setiap tahun agar tetap melanjutkan pengelolaan pertanian. Sebagai gantinya, pemilik lahan sawah akan kehilangan hak mereka untuk menjual sawah mereka untuk tujuan pembangunan rumah, gedung, villa, dan bangunan lainnya. Pemilik sawah tetap mendapatkan hak milik sepenuhnya terhadap lahan sawah mereka dan dapat diperjualbelikan kepada petani lain untuk pengelolaan pertanian atau diwariskan kepada ahli warisnya.
Dalam proses ini, para petani akan diberikan bimbingan teknis serta konsultasi dengan para ahli untuk melaksanakan sistem pertanian 100% organik, menanam padi dan tanaman lain dalam rangka menjaga kelangsungan lahan pertanian.
~ o 0 o ~
Sumber:
nationalgeographic.co.id
worldagroforestry.org
sawahbali.org
Ekonom Angus Deaton Meraih Nobel Ekonomi 2015
Post by
DSP
Pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 2015, Angus Deaton, terpampang di layar lebar saat pengumuman oleh Sekretaris tetap Royal Swedish Economy of Sciences, Goran K. Hanson (tengah), Ketua Komite Tore Ellingson (kiri), dan anggota akademi Jacob Svensson, Selasa (12/10), di Stockholm, Swedia (sumber gambar: REUTERS/TT NEWS AGENCY) |
The Royal Swedish Academy of Sciences menganugerahkan penghargaan The Sveriges Riksbank Prize dalam Ilmu Ekonomi untuk Mengenang Alfred Nobel kepada ekonom Angus Deaton dari Princeton University, Amerika Serikat, untuk analisisnya tentang konsumsi, kemiskinan dan kesejahteraan.
Deaton, yang mempunyai dua kewarganegaraan Inggris dan Amerika, dan lahir di Skotlandia, telah menjadi Profesor Ekonomi dan Hubungan Internasional pada Universitas Princeton di New Jersey sejak tahun 1983.
Komite Nobel mengatakan hasil penelitian Deaton berusaha memecahkan tiga pertanyaan, yaitu: bagaimana konsumen mendistribusikan uang belanja mereka di antara pilihan barang-barang yang berbeda; berapa banyak penghasilan masyarakat (konsumen) dibelanjakan dan berapa banyak yang ditabung, dan bagaimana cara yang tepat untuk mengukur dan menganalisa tingkat kesejahteraan dan kemiskinan (masyarakat)?
Komite itu mengatakan penelitian Deaton telah menunjukkan "bagaimana penggunaan data ekonomi pada tingkat rumah tangga secara tepat dapat menjelaskan isu-isu, seperti hubungan antara tingkat penghasilan dan jumlah asupan kalori, serta sejauh mana tingkat diskriminasi gender dengan keluarga."
Pemahaman secara mendalam tentang pola konsumsi sangat penting. Sebab, lewat pengenalan pola konsumsi, para pembuat kebijakan bisa meluncurkan produk kebijakan yang tepat sehingga konsumen tidak dirugikan alias tidak menjadi miskin.
Data statistik
Bagaimana mendapatkan reaksi individu-individu tersebut, Deaton mengatakan, dia mengandalkan survei rumah tangga. Dia menambahkan, di banyak negara, dia mengandalkan data statistik, terutama yang menjaring data tentang pola-pola konsumsi individu. "Kesalahan memahami data individu-individu konsumen bisa berakibat pada kebijakan yang gagal total," kata Deaton.
Untuk karyanya, Deaton telah menerapkannya antara lain di India, sejumlah negara di Afrika, dan negara berkembang lain. Analisis Deaton tidak hanya terbatas pada konsumsi terkait makanan. Hal itu juga bisa diterapkan pada konsumsi barang-barang kebutuhan lain, termasuk jasa pendidikan. Misalnya, bagaimana layanan jasa pendidikan terjangkau dan berkualitas bisa disediakan karena akan sangat menentukan bagi pengembangan sumber daya manusia. Dan, ini akan sangat menentukan kesejahteraan sebuah bangsa.
Analisisnya juga bisa diterapkan untuk pemberian subsidi yang mengandalkan anggaran pemerintah dan kelompok masyarakat mana yang amat memerlukan subsidi. Ini diperlukan sehingga subsidi tidak sia-sia.
Tujuan utama Deaton adalah juga untuk mengangkat status sosial ekonomi warga dunia yang masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan. Hal itu antara lain bisa dilakukan lewat kebijakan yang tepat, tetapi harus dengan terlebih dulu memahami karakter individu-individu warga di sebuah negara.
~ o 0 o ~
Sumber:
kompas.com
voaindonesia.com
#sharing Handry Satriago tentang Keajaiban
Post by
DSP
Keajaiban adalah milik Allah, Tuhan Yang Maha Mengatur. Yang diminta dari manusia adalah ke-tidak-pernah-berhenti-an untuk berusaha.
--Handry Satriago
pic from marketeers.com |
Seorang Handry Satriago sendiri adalah keajaiban bagi Indonesia. Ia adalah orang Indonesia pertama yang mencapai posisi puncak General Electric (GE) Indonesia, dan juga CEO termuda dalam sejarah GE global. Seperti kita ketahui General Electric adalah perusahaan raksasa kelas dunia, yang telah berumur 130 tahun. Didirikan Thomas Alva Edison di Amerika, perusahaan ini hadir di Indonesia sejak 70 tahun lalu--dan kini menggurita di 100 lebih negara.
Kehidupan masa remaja Handry tidak bisa dibilang mudah. Ia terkena kanker kelenjar getah bening pada usia 17 tahun (1987) yang merenggut daya kedua kakinya sehingga ia menjalani hari-harinya hingga kini di atas kursi roda. Handry dalam bukunya #sharing2 menulis:
Adalah suatu keajaiban bagi saya, ketika saya akhirnya berani untuk keluar dari kamar dan sekolah lagi untuk meneruskan hidup saat kelumpuhan kaki saya dinyatakan permanen. Betul ada proses usaha untuk bouncing back di situ. Ada nasihat dari ayah dan ibu saya. Ada api semangat yang timbul dari proses perlawanan. Namun, di atas semua itu, ada yang "menghidupkan" tombol perjuangan tadi. Itulah keajaiban dari Allah.
Adalah suatu keajaiban bagi saya, bahwa saya bisa bekerja di GE, dan menjadi CEO GE di Indonesia. Lho, bukankah itu hasil dari segala perjuangan, pembelajaran, dan segala macamnya yang saya sering sharing-kan di kultwit maupun di buku? Betul, tentunya ada upaya yang saya lakukan. Namun, siapa yang mengatur bahwa di pertengahan tahun 1996 itu akan ada seseorang yang memberikan kuliah tamu di IPMI dan orang itu adalah Stuart Dean, CEO GE Indonesia kala itu, yang kemudian tertarik dan ingin merekrut saya karena saya meluncurkan beberapa pertanyaan serta komentar yang menurut dia bagus? Bukankah hal ini tidak akan bisa saya ciptakan atau saya atur berdasarkan semua ilmu pengetahuan yang saya miliki? Itu adalah keajaiban dari Allah.
Awal prestasi Handry di GE Indonesia adalah ketika menangani Divisi GE Lighting, ia melejitkan pendapatan Divisi ini nol ke 3 juta dolar AS (sekitar 30 milliar rupiah) dalam waktu dua tahun. Beberapa proyek yang tercatat dalam portofolionya adalah pencahayaan Bandara Ngurah Rai Denpasar, pencahayaan Candi Prambanan, dan menyediakan 1.400 lampu pijar untuk jalanan di Jakarta.
Tanpa bermaksud sombong, saya telah mengarungi hampir tujuh samudra dan lima benua, saya duduk sebagai tim pimpinan di salah satu perusahaan terbesar dan tertua di dunia, dan saya telah menamatkan jenjang pendidikan formal tertinggi. Apakah semua hal ini terjadi karena usaha saya saja? I don't think so. Ada keajaiban di sini. Keajaiban dari Allah.
~ o 0 o ~
Sumber:
Handry Satriago. #sharing2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015
Twitter: @HandryGE
Perjalanan Wayang
Post by
DSP
Pada sebuah sore dua tahun yang lalu di sudut kota Paris, Prancis, tepatnya di Théâtre de Soleil-Cartoucherie, terjadi suatu kehebohan. Di arena Cartoucherie ini di mana terdapat beberapa teater besar yang unik, ramai-ramai orang membeli tiket seharga 22 Euro per orang, dari mulai anak balita sampai orang tua. Rupanya akan ada sebuah pertunjukan hari itu dan yang akan tampil bukanlah pertunjukan seni biasa untuk bangsa Eropa. Yang akan tampil dan ditunggu-tunggu itu rupanya adalah pertunjukan Wayang Kulit Jawa!
Pertunjukan Wayang yang berlangsung selama empat hari di Paris itu dilaksanakan oleh rombongan wayang kulit yang dipimpin oleh dalang terkemuka Purbo Asmoro. Alat musik gamelan dan pesinden Ibu Suyatmi yang melengking dengan eloknya, tidak hanya membuat anak-anak saja yang dibuat terpaku namun beberapa pengunjung dewasa pun sampai dibuat penasaran, dan ikutan naik panggung untuk melihat secara langsung dibalik layar.
Merupakan peristiwa langka bagi masyarakat Prancis menyaksikan sebuah pertunjukan tradisional semalam suntuk. Dan usai hari pertama pertunjukan, berita tentang pertunjukan wayang kulit ini muncul di beberapa media massa Prancis, dengan judul pertunjukan spektakuler dari tradisi kuno Jawa.
Asal-usul Wayang
Menurut Sri Mulyono seperti dikutip oleh Sunarto dalam bukunya Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarya, wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli, yang berarti bayang-bayang, atau bayang yang berasal dari akar kata "yang" mendapat tambahan "wa" yang menjadi wayang. Sedangkan Kusumajadi mengartikannya sebagai berikut, "Wayang ialah bayangan orang yang sudah meninggal. Kata wayang tadi dari suku kata wa dan yang. Wa = trah yang berarti turunan, yang = hyang berarti eyang kakek atau leluhur yang telah meninggal. Maka wayang ialah gambar-gambar orang yang telah meninggal.
Karya seni yang diakui "adiluhung" ini sarat dengan nilai filosofis, simbolis dan historis. Wayang bukanlah sekadar bentuk yang indah dan menyenangkan, tetapi mempunyai nilai khusus bagi bangsa Indonesia atau mengandung maksud-maksud yang lebih mendalam, yaitu memberikan suatu gambaran tentang hidup dan kehidupan.
Wayang dalam Perjalanan Sejarah
Seni pertunjukan Wayang ini merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua dan terbukti mampu tampil sebagai tontonan menarik sekaligus efektif dalam memberikan pesan-pesan moral kepada khalayak ramai. Pertunjukan wayang kulit telah dikenal di Pulau Jawa semenjak 1500 SM. Di masa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit, wayang adalah salah satu bentuk inovasi media komunikasi pada masa itu.
Sejak 7 November 2003, pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity), disusul berikutnya oleh Keris pada tahun 2005.
Dalam buku Mythology and the Tolerance of the Javanese, Benedict R. O'G Anderson mengemukakan bahwa wayang berperan secara etis dan metafisik dalam mengasah rasa toleransi masyarakat Jawa. Namun dalam perjalanan sejarah, terjadi penurunan rasa toleransi dalam masyarakat yang seiring dengan penurunan pamor wayang.
Salah satu contoh, penurunan kuantitas dalang seperti ditulis Tempo, jumlah dalang wayang kulit di Jawa Timur stagnan dan cenderung turun. Penyebabnya karena minim kaderisasi, baik melalui sekolah formal maupun belajar otodidak dari seorang dalang senior. Data Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Timur menyebutkan pada 2015 jumlah dalang sebanyak 1.600 orang atau sama dengan data pada 2006. Jumlahnya tetap, tidak bertambah. Salah satu penyebab adalah minimnya sekolah dalang di Indonesia.
Namun syukurlah kini telah ada portal kesenian wayang yang diberi nama Indonesian Wayang Network yang dikembangkan oleh tim peneliti Unika Soegijapranata yang beranggotakan Dr. Ridwan Sanjaya, dr. Rustina Untari, dan Tjahjono Rahardjo dan didukung oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Tengah, serta sanggar-sanggar kesenian di Solo dan Semarang.
Konsep dasar dari pengembangan portal tersebut adalah untuk mengenalkan kepada dalang dan sanggar kesenian wayang di Indonesia untuk memanfaatkan internet sebagai showcase pertunjukan-pertunjukan yang telah dilakukan selama ini. Dengan begitu, masyarakat dapat lebih mengenal kesenian wayang kulit beserta pelaku seninya.
Tayangan pertunjukan wayang pada portal ini dipersingkat menjadi 10-15 menit karena bertujuan menampilkan bagian yang paling menarik dari pertunjukan wayang kulit. Pengguna internet tidak harus menunggu berjam-jam atau semalam suntuk untuk dapat mengenal sisi yang menarik dari wayang kulit.
~ o 0 o ~
Sumber:
Sunarto. Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: sebuah tinjauan tentang bentuk, ukuran, sunggingan. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Kompas: Wayang Kulit Memukau Masyarakat Perancis
Mengangkat Wayang Lewat Internet
Sumber gambar: youtube.com
Pertunjukan Wayang yang berlangsung selama empat hari di Paris itu dilaksanakan oleh rombongan wayang kulit yang dipimpin oleh dalang terkemuka Purbo Asmoro. Alat musik gamelan dan pesinden Ibu Suyatmi yang melengking dengan eloknya, tidak hanya membuat anak-anak saja yang dibuat terpaku namun beberapa pengunjung dewasa pun sampai dibuat penasaran, dan ikutan naik panggung untuk melihat secara langsung dibalik layar.
Merupakan peristiwa langka bagi masyarakat Prancis menyaksikan sebuah pertunjukan tradisional semalam suntuk. Dan usai hari pertama pertunjukan, berita tentang pertunjukan wayang kulit ini muncul di beberapa media massa Prancis, dengan judul pertunjukan spektakuler dari tradisi kuno Jawa.
Asal-usul Wayang
Menurut Sri Mulyono seperti dikutip oleh Sunarto dalam bukunya Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarya, wayang adalah sebuah kata bahasa Indonesia (Jawa) asli, yang berarti bayang-bayang, atau bayang yang berasal dari akar kata "yang" mendapat tambahan "wa" yang menjadi wayang. Sedangkan Kusumajadi mengartikannya sebagai berikut, "Wayang ialah bayangan orang yang sudah meninggal. Kata wayang tadi dari suku kata wa dan yang. Wa = trah yang berarti turunan, yang = hyang berarti eyang kakek atau leluhur yang telah meninggal. Maka wayang ialah gambar-gambar orang yang telah meninggal.
Karya seni yang diakui "adiluhung" ini sarat dengan nilai filosofis, simbolis dan historis. Wayang bukanlah sekadar bentuk yang indah dan menyenangkan, tetapi mempunyai nilai khusus bagi bangsa Indonesia atau mengandung maksud-maksud yang lebih mendalam, yaitu memberikan suatu gambaran tentang hidup dan kehidupan.
Wayang dalam Perjalanan Sejarah
Seni pertunjukan Wayang ini merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua dan terbukti mampu tampil sebagai tontonan menarik sekaligus efektif dalam memberikan pesan-pesan moral kepada khalayak ramai. Pertunjukan wayang kulit telah dikenal di Pulau Jawa semenjak 1500 SM. Di masa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit, wayang adalah salah satu bentuk inovasi media komunikasi pada masa itu.
Sejak 7 November 2003, pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity), disusul berikutnya oleh Keris pada tahun 2005.
Dalam buku Mythology and the Tolerance of the Javanese, Benedict R. O'G Anderson mengemukakan bahwa wayang berperan secara etis dan metafisik dalam mengasah rasa toleransi masyarakat Jawa. Namun dalam perjalanan sejarah, terjadi penurunan rasa toleransi dalam masyarakat yang seiring dengan penurunan pamor wayang.
Salah satu contoh, penurunan kuantitas dalang seperti ditulis Tempo, jumlah dalang wayang kulit di Jawa Timur stagnan dan cenderung turun. Penyebabnya karena minim kaderisasi, baik melalui sekolah formal maupun belajar otodidak dari seorang dalang senior. Data Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Timur menyebutkan pada 2015 jumlah dalang sebanyak 1.600 orang atau sama dengan data pada 2006. Jumlahnya tetap, tidak bertambah. Salah satu penyebab adalah minimnya sekolah dalang di Indonesia.
Namun syukurlah kini telah ada portal kesenian wayang yang diberi nama Indonesian Wayang Network yang dikembangkan oleh tim peneliti Unika Soegijapranata yang beranggotakan Dr. Ridwan Sanjaya, dr. Rustina Untari, dan Tjahjono Rahardjo dan didukung oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Tengah, serta sanggar-sanggar kesenian di Solo dan Semarang.
Konsep dasar dari pengembangan portal tersebut adalah untuk mengenalkan kepada dalang dan sanggar kesenian wayang di Indonesia untuk memanfaatkan internet sebagai showcase pertunjukan-pertunjukan yang telah dilakukan selama ini. Dengan begitu, masyarakat dapat lebih mengenal kesenian wayang kulit beserta pelaku seninya.
Tayangan pertunjukan wayang pada portal ini dipersingkat menjadi 10-15 menit karena bertujuan menampilkan bagian yang paling menarik dari pertunjukan wayang kulit. Pengguna internet tidak harus menunggu berjam-jam atau semalam suntuk untuk dapat mengenal sisi yang menarik dari wayang kulit.
~ o 0 o ~
Sumber:
Sunarto. Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: sebuah tinjauan tentang bentuk, ukuran, sunggingan. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Kompas: Wayang Kulit Memukau Masyarakat Perancis
Mengangkat Wayang Lewat Internet
Sumber gambar: youtube.com
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)