Subak, Riwayatmu Kini



Gagasan masyarakat Yunani kuno dengan republik ternyata masih hidup di Bali. Tak seperti Republik Indonesia yang besar, bermasalah, dan sulit menerapkan hukum langsung pada anggotanya, masyarakat desa Bali dengan kesederhanaan justru menjadi representasi republik sejati.

--Sunaryono Basuki Ks, KOMPAS (29/08/2012)


Subak merupakan salah satu sistem demokrasi tertua di dunia. Sistem pengairan subak, pembagian air untuk persawahan, pura, dan bagi masyarakat menggunakan filosofi demokratis yang tidak mengambil dari luar tetapi menggali dari dalam negeri sendiri.

Di Bali, sistem pura air yang diwariskan nenek moyang memungkinkan subak untuk mengatur kegiatan di sepanjang aliran sungai. Naskah leluhur dari raja-raja Bali di abad kesebelas menyebutkan tentang sistem subak dan pura air yang sebagian masih berfungsi sampai sekarang. Sistem pengairan dianggap sebagai anugerah dari dewi penguasa danau yang terbentuk dari kawah. Setiap subak memberikan persembahan kepada para dewa dewi di pura air masing-masing. Pura ini juga menjadi tempat bertemu bagi para petani guna memilih pemimpin dan membuat keputusan bersama tentang jadwal pengairan mereka. Kelompok-kelompok subak yang memiliki sumber air yang sama membentuk perkumpulan pura air per wilayah, di mana semua subak menyepakati jadwal tanam di Daerah Aliran Sungai (DAS).

Pada sistem subak terjadi model kerjasama sosial dalam mengelola air, intinya di dalam sistem sosial, bentang lahan (landscape) tidak boleh diubah.  Aliran sungai yang tercipta oleh aliran gunung vulkanik tidak diubah, tetapi diatur aliran airnya untuk memenuhi kebutuhan areal persawahan. Jika terjadi pelanggaran, hukuman yang dijatuhkan, dilakukan melalui pembayaran sanksi denda berupa uang maupun kewajiban melakukan upacara.  Karena sifatnya yang dibangun dari bawah (bottom up), pemerintah tidak melakukan intervensi dalam pengelolaan sistem subak ini.

Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi, masyarakat adat Bali mempunyai konsep Tri Hita Karana sebagai landasannya. Menurut pengertiannya Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kesejahteraan di dalam kehidupan manusia. Pengertian tersebut diambil dari masing-masing katanya yaitu Tri yang artinya tiga, Hita yang artinya sejahtera dan Karana yang artinya penyebab. Konsep tersebut kemudian diterapkan juga pada sistem organisasi subak. Penerapan konsep ini bertujuan agar keseimbangan hidup (antara Tuhan, manusia dan alam) sebagaimana dalam ajaran agama Hindu tetap terjaga.

Tantangan terhadap Subak Saat Ini



Lanskap subak di Bali yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia menghadapi tantangan, antara lain alih fungsi lahan dan minimnya regenerasi petani. Ratusan hektare lahan sawah di Bali beralih fungsi tiap tahun. Peralihan fungsi lahan sawah juga berdampak rusaknya sistem irigasi pertanian, yang berpengaruh terhadap subak.

Steve Lansing, dari Arizona University yang telah lebih dari tigapuluh tahun meneliti tentang subak, menguraikan beberapa ancaman terhadap keberadaan subak saat ini, seperti dikutip oleh Mongabay.co.id:
  • - Penggunaan bahan kimia (pestisida) yang memperngaruhi kesuburan tanah. Petani sulit untuk mengembalikan lahan pertanian untuk produksi organik, karena lahan telah telanjur menggunakan bahan kimia penyubur tanah selama bertahun-tahun.
  • - Turisme yang menyebabkan fragmentasi teras persawahan Subak, meningkatnya laju penjualan lahan pertanian dan hilangnya kesatuan bentang lahan yang berganti menjadi lahan komersil untuk pembangunan hotel, villa, kios-kios souvenir.
  • - Kualitas air yang menurun disebabkan pesatnya tekanan pembangunan di kawasan hulu dan hilangnya wilayah tutupan hutan.
  • - Potensi terjadinya bencana alam termasuk gempa bumi yang bisa menyebabkan perubahan bentang lahan dan aliran air disebabkan Bali merupakan wilayah vilkasin.
  • - Perubahan iklim yang dapat berpengaruh terhadap frekuensi curah hujan baik menjadi lebih maupun curah hujan yang berkurang.


Usaha Konservasi Subak

Mengenai ancaman alih fungsi lahan subak, permasalahan yang terjadi sangatlah sistemik. Ketika sebuah petak sawah dijual untuk dikonversi menjadi bangunan komersial seperti hotel, maka otomatis pajak bumi dan bangunan serta tanah akan menjadi meningkat, tidak saja untuk bidang lahan yang dijual tersebut, namun juga berimbas untuk bidang lahan tetangganya yang berada dalam satu area.

Tentu saja, seorang petani tidak akan mampu untuk membayar pajak yang tinggi yang tidak sebanding dengan penghasilan yang dihasilkannya. Akibatnya, terjadi efek domino, seluruh wilayah yang terbebani oleh pajak yang meningkat akan dilepaskan oleh para petani. Alih-alih membayar pajak tinggi, pada akhirnya mau tidak mau, lahan persawahan produktif terpaksa dijual oleh pemiliknya. Dengan terjadinya efek berantai dari penjualan tanah, pada akhirnya sistem subak akan kolaps dan dikuatirkan berujung pada kehancuran.

Salah satu organisasi yang peduli terhadap keberlangsungan subak ialah Yayasan Konservasi Sawah Bali (Bali Rice Field Conservation Foundation). Manajemen pengelolaan lahan sawah yang akan diperkenalkan Yayasan ini mirip dengan konsep 'Land Trust' di Amerika Serikat yang telah berhasil diterapkan selama 40 tahun untuk melestarikan lahan pertanian. Yayasan Sawah Bali akan meniru konsep 'Land Trust' di AS untuk menjaga agar penduduk sekitar wilayah 'pilot project' mampu bekerja sama secara produktif dengan menerapkan praktek pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang baik guna meningkatkan daya saing produk pertanian lokal.

Sebanyak 135 anggota Subak Malung Bulu Jauk di desa Bunutan dan Tanggayuda, Ubud Utara, telah bersedia dan bertekad untuk menjadi subak pertama di Bali yang berpartisipasi dalam 'pilot project' ini. Konsep pertama dan yang paling sentral dalam usaha konservasi lahan adalah dengan menawarkan kompensasi finansial untuk lahan sawah petani lokal setiap tahun agar tetap melanjutkan pengelolaan pertanian. Sebagai gantinya, pemilik lahan sawah akan kehilangan hak mereka untuk menjual sawah mereka untuk tujuan pembangunan rumah, gedung, villa, dan bangunan lainnya. Pemilik sawah tetap mendapatkan hak milik sepenuhnya terhadap lahan sawah mereka dan dapat diperjualbelikan kepada petani lain untuk pengelolaan pertanian atau diwariskan kepada ahli warisnya.

Dalam proses ini, para petani akan diberikan bimbingan teknis serta konsultasi dengan para ahli untuk melaksanakan sistem pertanian 100% organik, menanam padi dan tanaman lain dalam rangka menjaga kelangsungan lahan pertanian.

~ o 0 o ~

Sumber:

nationalgeographic.co.id

worldagroforestry.org

sawahbali.org

No comments :