Pesta sepak bola Indonesia kembali bergelora setelah Presiden Joko Widodo turun tangan merestui digelarnya Kejuaraan Sepak Bola Torabika (Torabika Soccer Championship/TSC), yang dimulai 29 April 2016. Dari kejuaraan ini sudah memunculkan bintang baru, yakni Ratu Tisha Destria (30). Dialah Direktur Kompetisi TSC yang akan berperan besar untuk mengawal kualitas kompetisi.
KOMPAS/GATOT WIDAKDO |
Kehadiran alumnus FIFA Master dalam setiap rapat penting dengan klub, pertemuan dengan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), dan pembahasan peraturan kompetisi yang kadang berlangsung alot itu mengundang perhatian wartawan. Termasuk ketika dirinya mengantar semua punggawa klub peserta TSC bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Presiden karena satu-satunya perempuan.
Tisha bisa dibilang masih muda sehingga awalnya banyak yang meragukan kapasitas dari perempuan sarjana Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB) ini. Namun, pengetahuan dan visinya tentang sepak bola sangat jauh ke depan. Dengan peran besarnya dalam melahirkan konsep kompetisi yang baru ini, Tisha dengan mudah mendapat kepercayaan dan respek dari anggota asosiasi provinsi dan pengurus klub di Tanah Air.
"Saat ditunjuk sebagai direktur kompetisi, tentu saya kaget juga. Akan tetapi, saya kemudian merasa tertantang dan secepatnya pula saya ingin bekerja," kata Tisha saat dijumpai di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Rabu (27/4).
Menurut Tisha, tantangan terberat untuk penyelenggaraan kompetisi ini, selain membangun infrastruktur, juga dalam membangun komunikasi dan mendapatkan kepercayaan dari semua pemangku kepentingan.
"Sepak bola itu butuh sistem pendukung yang kuat, tidak bisa hanya satu aspek untuk membuat fondasi. Selama ini, mungkin yang berjalan baru satu aspek, yakni sisi penyelenggara kegiatan saja. Padahal, kolaborasi dengan banyak mitra menjadi kunci," ujar Tisha.
Tisha menambahkan, agar sepak bola berkembang lebih pesat, yang perlu dilakukan adalah bagaimana menciptakan keadaan atau kondisi yang mengundang banyak pihak untuk kreatif. Sepak bola tidak bisa dikelola dan dikuasai secara eksklusif. Pengembangannya harus dinamis dengan membangun banyak jaringan. "Meminjam istilah Steve Jobs, kita harus membuat connecting the dot,"ujar Tisha.
Selama ini orang memahami permainan bola adalah memperebutkan satu bola oleh 22 pemain. Namun, bagi Tisha, yang sesungguhnya adalah bagaimana sebelas pemain dari setiap tim membagi bola untuk mencetak gol dengan alur permainan dari kaki ke kaki yang indah.
Inspirasi kota Leipziq
Ketertarikan Tisha dalam mengurus olahraga, khususnya sepak bola, sebenarnya sudah ada sejak duduk di bangku kelas I SMA Negeri 8 Jakarta. Saat itu ia terlibat membangun tim sepak bola sekolah dan sekaligus menjabat sebagai manajer. Kemudian semakin tertarik ketika mengikuti pertukaran antarbudaya AFS, di kota Leipzig, Jerman, yang kehidupan masyarakatnya begitu bersemangat dengan acara-acara olahraga.
Hidup selama setahun di kota kecil di bagian Jerman timur, dia sangat menikmati masyarakat yang sangat senang dengan sepak bola. Bahkan, komunikasi dengan orang-orang bisa nyambung dengan membahas sepak bola.
KOMPAS/GATOT WIDAKDO |
"Saya juga senang melihat masyarakatnya yang mengambil nilai-nilai sportivitas untuk diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari," ujar Tisha.
Selama setahun berguru di Max-klinger Schule Gymnasium, Tisha juga sempat belajar manajemen olahraga. Pada kesempatan inilah, dia makin memahami bahwa yang menjadi kunci dalam olahraga adalah semangat.
Ketika kembali ke Tanah Air dan menyelesaikan sekolah di SMA Negeri 8 Jakarta, Tisha masih kembali mengurus kesebelasan sekolahnya dan berhasil membawa juara. Lulus SMA, dia langsung mengikuti tes masuk ke Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB, meninggalkan kesempatan bebas tes di Universitas Telkom di Bandung. Alasannya, dia memilih studi pada jurusan Matematika karena yakin dengan pilihannya dan juga tahu bahwa angka-angka berhubungan dengan olahraga, khususnya bola.
"Matematika itu raja dari semua ilmu," ujarnya sambil tertawa.
Sama seperti di SMA, Tisha kembali menjadi manajer bagi tim PS ITB yang berlaga di Divisi I Provinsi Jawa Barat. Dia tidak hanya menjadi manajer yang hanya mengurus persiapan tim untuk bertanding, tetapi juga menyusun data klub, jadwal latihan, serta kalender pertandingan dari klubnya. PS ITB sempat mendapatkan promosi naik tingkat ke divisi utama.
"Waktu di SMA, saya membangun tim sepak bola dari nol, dan saat di kampus saya langsung melebur mengurus tim ITB. Sebelum mendatangkan pelatih, untuk mendapatkan menu dan metode latihan fisik, saya selalu mempelajarinya dari buku di perpustakaan kampus. Modalnya cuma semangat. Dan ternyata, jika kita lakukan sungguh-sungguh apa yang kita impikan, bisa terwujud. Kami tak cuma sekadar membangun tim, tetapi juga menghasilkan tim juara," kenang Tisha, yang mahir dalam enam bahasa.
Pada akhir masa kuliah, Tisha bersama teman-teman yang hobi sepak bola mulai merintis membangun bisnis yang bergerak di bidang statistik olahraga, khususnya sepak bola.
Dengan bendera perusahaan yang diberi nama LabBola, Tisha dan kawan-kawan menawarkan jasa penyediaan data statistik performa tim. Data tersebut bisa membantu tim untuk mengajukan proposal kepada sponsor.
Setelah lulus dari ITB tahun 2008, Tisha menerima tawaran bekerja pada perusahaan jasa perminyakan Schlumberger. Di perusahaan ini, Tisha mendapat banyak tambahan ilmu, terutama dalam eksplorasi data dan konflik manajemen. Meskipun harus bekerja berpindah-pindah dari Kairo, Mesir; Houston, Amerika Serikat; London, Inggris; dan Beijing Tiongkok; di sela-sela waktu luangnya, Tisha tetap bisa berkomunikasi dengan teman-temannya yang mengelola LabBola.
Empat tahun kemudian Tisha memutuskan berhenti bekerja dan lebih memilih fokus untuk membesarkan LabBola. Dia kemudian mulai mempelajari kondisi sepak bola nasional sekaligus mencari kesempatan untuk menjalin komunikasi dengan federasi. Selain itu, untuk menambah ilmu dan wawasan, berbagai seminar sepak bola dia ikuti, termasuk seminar sepak bola internasional di Jepang, Belgia, dan Denmark.
Jaringan Tisha semakin luas. Dia pun mendapat informasi tentang program FIFA Master yang disponsori FIFA sebagai bagian dari mengembalikan 90 persen keuntungan mereka untuk pengembangan sepak bola. Program ini dijalankan International Centre for Sports Studies (CIES) yang menggandeng beberapa universitas. Beberapa bidang studi yang dipelajari dalam program ini di antaranya Sport Humanity, Manajemen Olahraga, dan Hukum Olahraga.
Berbekal portofolio dari kegiatan seminar yang dia ikuti, Tisha kemudian mendaftar dan mengikuti tes program FIFA Master. Dari 6.400 pendaftar, akhirnya hanya 28 orang yang diterima, termasuk Tisha. Setelah menyelesaikan studi selama satu setengah tahun dalam program FIFA Master, Tisha berhak menyandang gelar Master of Art. Tisha lulus dengan hasil memuaskan menduduki peringkat ke-7 dari 28 siswa.
Tisha menceritakan, program FIFA Master memberi dia banyak pandangan baru dalam pengembangan olahraga, terutama sepak bola. Potensi sepak bola Indonesia jauh lebih menjual dibandingkan dengan negara lain. "Basis market kita sudah jadi. Sekarang kita tinggal mengubah sistem marketing yang selama ini bersifat ownership menjadi partnership," katanya.
LabBola, yang kini memiliki 23 personel kreatif, sudah kian berkembang. Turnamen sepak bola Inter Island menjadi proyek besar pertama mereka. Berikutnya menyusul proyek di Liga Indonesia, tim nasional PSSI, serta klub Persebaya dan Bali United. Belakangan menyusul klien baru, seperti tabloid Bola, Chanel Bola Indonesia di K-Vision, serta Liga Kompas Gramedia U-14 Panasonic. Bahkan, LabBola juga sudah go internasional dengan menggarap proyek data dan statistik pada kompetisi Piala Raja Malaysia.
Kini, Tisha harus membuktikan keyakinan dan semangatnya mengurus sepak bola nasional ini agar bisa menuai hasil yang membuat pencinta bola di Tanah Air kembali bergairah kembali.
No comments :
Post a Comment