Bagaimanapun juga, pianolah yang telah membawa putra Indonesia yang bernama Yohanes Pasirua (11) atau dikenal dengan nama Canho mewakili Indonesia dalam ajang internasional World Championship of Performing Arts' (WCOPA), di Long Beach, California dan memperoleh 5 medali emas dari total 8 medali yang diperolehnya.
Di kategori Junior Instrumentalist, Canho berhasil meraih medali emas untuk style Instrument Classical, Instrument Contemporary, Instrument Jazz, Instrument Open, dan Instrument Original Works. Sedangkan untuk penghargaan pilihan Junior secara umum, Canho berhasil meraih penghargaan untuk untuk tingkat usia 11-15 tahun di kategori Instrument Contemporary, Instrument Jazz, dan Instrument Open.
Sumber: laman Facebook WCOPA.Indonesia |
Seperti tuts piano yang hitam, proses yang ditempuh Canho untuk meraih prestasi tidak selalu menggembirakan. Ia harus menempuh ke perjalanan ke sebuah kota lain, yang berjarak 140 kilometer dari kota kelahirannya, yaitu di Ende, Flores, NTT, agar bisa bermain piano. Hal itu karena di kotanya, tidak ada piano.
Canho yang lahir pada 2 November 2004 ini telah mulai belajar musik sejak umur tiga tahun, digembleng oleh sang ayah sendiri, Chris Jambru (lulusan Seminari Mataloko yang belajar piano di Institut Seni Indonesia). Pada usia empat tahun, Canho pun mulai lebih mendalami musik dengan kursus di Affrettando Music Course, Ende (2009).
Prestasi Canho ini menyusul kesuksesan Joey Alexander (13), seorang pianis jazz yang telah tampil di berbagai ajang internasional serta mendapatkan nominasi Grammy Awards tahun 2016 untuk dua kategori, Best Instrumental Jazz Album dan Best Jazz Solo Improvisation.
DSP, Joey Alexander dan Najwa Shihab |
Indonesia memang kaya akan generasi muda yang berbakat, utamanya di bidang musik, sehingga untuk itulah Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) terus berupaya untuk memberikan kesempatan bagi anak-anak yang berminat dan berpotensi dalam bidang musik agar dapat mengenal dan mempelajari musik tanpa dipungut biaya dengan bimbingan guru yang memiliki latar belakang pengalaman/pendidikan musik.
Salah satu penerima beasiswa dari YMSI ialah Djitron Korion Pah, putra pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Ia memainkan sasando dengan 32 senar, sebuah alat musik petik tradisional NTT. Memainkan Sasando tentu bukan perkara mudah. Dibutuhkan ketekunan dan kemauan yang luar biasa untuk bisa memainkan alat musik tersebut. Setelah belajar di sekolah dan di rumah, akhirnya Djitron bisa menguasai ratusan lagu dengan memainkan Sasando, tidak hanya musik daerah, tapi juga musik pop, jazz dan tentunya musik sastra (klasik).
Djitron pun tampil di ajang pencari bakat tingkat Nasional maupun Asia dengan menggunakan instrumen yang dibuatnya sendiri. Ia merupakan generasi ketiga dari keluarganya yang mewarisi keahlian membuat alat sasando. Keluarganya adalah satu dari sedikit penduduk Rote yang masih mempertahankan kelestarian alat musik sasando.
Djitron saat tampil di acara Seuntai Melati bagi Kartini Indonesia, di Griya Jenggala (2009) |
~ o 0 o ~
Seperti ujar Pujangga Spanyol, Miguel de Cervantes, "Mencintai musik berarti mencintai kehidupan," dengan segala hitam putihnya, naik turunnya, susah senangnya.
"Quién ama la música, ama la vida" |
Baca juga:
Kompas: Canho Pasirua, Kisah Pianis Cilik Indonesia untuk Ajang Internasional
Kompas: Sasando untuk Indonesia Raya
No comments :
Post a Comment