Cahaya Ilmu dari Panjalu

Oleh Ahmad Arif & Nawa Tunggal, Kompas, 4/7/2016

Kanker darah telah melumpuhkan kaki, membutakan mata, dan membuatnya tak bisa bicara. Namun, Rossy Nurhayati (36) tak menyerah. Saat maut terasa mendekat, ia justru mendirikan Rumah Baca Cahaya Ilmu. Tak hanya menerangi warga Desa Panjalu dengan pengetahuan, ia juga menemukan kekuatan untuk kesembuhannya di rumah baca itu.

KOMPAS/AHMAD ARIF

Rossy yang lahir dan besar di Dusun Pabuaran, Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Ciamis, Jawa Barat, baru mengetahui tubuhnya digerogoti kanker darah stadium empat pada tahun 2008. "Awalnya sedih, marah, kecewa, putus asa. Kenapa harus saya?" kisahnya.

Namun, tak lama, dia menemukan kekuatan dan keyakinannya kembali. "Hidup bukan untuk ditangisi, tetapi justru untuk diperjuangkan," tekad Rossy.

Doa anaknya yang masih kecil dan dorongan dari suami memompa semangatnya. "Kalaupun saya akhirnya meninggal, saya ingin berbuat untuk masyarakat. Dari dulu, saya suka buku dan mendapat banyak pengetahuan dari sana. Saya pun ingin membuat rumah baca di desa."

Maka, di sela-sela pengobatannya di Bandung, mulai dari kemoterapi hingga suntik sumsum tulang belakang, Rossy menyempatkan diri berburu buku. "Ditemani anak saya, Afifah, kami beli buku bekas di Pasar Palasari. Saat itu habis Rp 200.000, dapat tiga kardus," kisahnya.

Ia kemudian mendirikan taman bacaan di rumah ayahnya, Jajang Kabul Budiman (75). Suaminya, Mulyana (42), membantu menyulap ruang tengah rumah itu menjadi taman bacaan.

Awalnya, banyak saudara yang tidak setuju. Alasannya, ia tengah sakit malah mengurus orang lain, tanpa dibayar pula. Apalagi, Rossy sebenarnya juga kesulitan ekonomi untuk membiayai pengobatan. Bahkan, pernah, kartu tanda penduduk (KTP) suaminya terpaksa dijadikan jaminan untuk mencicil biaya pengobatan.

"Saat itu kami bawa uang Rp 5 juta, tetapi masih kurang Rp 1 juta. Jadi terpaksa ninggal KTP," ujarnya.

Kekuatan baru

Namun, Rossy merasa menemukan kekuatan baru dari kegiatan sosialnya. "Saya prihatin anak-anak di Panjalu lebih banyak nonton televisi dan main game. Dengan rumah baca ini, saya ingin membuat perubahan. Minimal, untuk keluarga sendiri, anak saya dulu," katanya.

Rossy merasakan hidupnya masih dibutuhkan oleh keluarga dan masyarakat sekitar, dan karena itu, ia tak ingin menyerah pada sakit yang diderita. Bahkan, ketika pada 2011 tubuhnya melemah sehingga kakinya lumpuh, matanya buta, dan mulutnya tak kuasa bicara, ia tetap menolak kalah. "Pekerjaan saya di rumah baca belum selesai. Saya tidak akan menyerah."

Ia mencoba berbagai macam pengobatan, selain rutin ke rumah sakit untuk kemoterapi dan suntik sumsum tulang belakang. Ia mencoba teh sarang semut, susu kefir, probiotik, remasan daun binahong, rosela, tapak dara. "Pernah juga ada yang menyarankan agar minum uap dari rebusan tulang ayam kampung yang telah dikeprek. Sampai habis ayam (milik) ayah. Semua saya coba karena ingin sembuh."

Anak-anak yang datang ke rumah bacanya pun diminta mendoakan kesembuhannya. Ajaib. Perlahan, kesehatannya membaik. Setelah setahun lumpuh, kakinya mulai pulih. Matanya kembali bisa melihat. Kanker darah yang dideritanya turun hingga stadium dua.

"Saya merasa yang menjadi kekuatan penyembuhan selama ini adalah semangat dari diri sendiri. Semangat itu saya dapatkan dari keluarga dan doa anak-anak. Rumah baca ini adalah semangat hidup saya," ujarnya.

Diusir petugas satpam

Rossy mencintai buku sejak kecil, tetapi sekolah di kampungnya hanya memiliki jumlah buku yang terbatas. Dia baru leluasa menyalurkan hobi membaca buku saat pindah ke Bogor, Jawa Barat, untuk sekolah menengah atas sekaligus bekerja di salah satu perusahaan garmen.

Di Bogor, ia tinggal di rumah pamannya yang kebetulan dekat dengan toko buku. Nyaris tiap hari, sepulang sekolah dia ke toko buku itu. Karena tidak memiliki cukup uang, ia lebih sering membaca buku-buku di tempat dibandingkan membelinya.

"Sering saya diusir petugas satpam, alasannya tokonya mau tutup," ujarnya. Hobi membaca ini berlanjut ketika ia kuliah.

Pada 2001, Rossy pindah ke Garut, mengikuti suami yang mengelola peternakan ikan milik keluarga. Di sana, ia menjadi penyiar radio. Ia juga mulai membuka kelas belajar membaca dan bahasa Inggris secara gratis. Inilah awal kegiatan sosialnya di bidang pendidikan.

Sejak 2004, ia pulang kampung ke Panjalu karena mesti menunggui ibunya yang sakit. Ketika itu, ia mulai merintis pendirian Sekolah Luar Biasa Panjalu dan menjadi guru di sana. Sekolah ini akhirnya berkembang dan mendapat penyetaraan dari pemerintah, tetapi Rossy akhirnya keluar pada 2012 ketika sakitnya bertambah parah.

Matematika Tuhan

Ditemui di rumahnya, Kamis (9/6) pagi, Rossy terlihat segar dan bersemangat. Rumah yang berjarak sekitar 2 kilometer dari alun-alun Desa Panjalu itu memiliki tiga kamar. Buku sebanyak 4.000 eksemplar memenuhi ruang tamunya. Tiga daun pintu kamar di rumah itu pun difungsikan sebagai rak buku, sementara di emperan rumah balok kayu untuk permainan anak-anak memenuhi satu-satunya meja yang ada.

Tak hanya mengelola rumah baca, hampir setiap hari ia menyambangi sekolah-sekolah taman kanak-kanak untuk mendongeng atau membacakan buku-buku serta mengajar bahasa Inggris. Dia juga merintis kembali pendirian SLB di desa tetangga. Setiap libur tiba, ia membawa sebagian koleksi bukunya ke alun-alun Panjalu dan membuka taman bacaan di sana.

Tak hanya itu, Rossy memprakarsai lomba mengarang dan juga menggambar. Tahun 2015, dia menyelenggarakan lomba menggambar untuk anak-anak. Pesertanya mencapai 1.476 anak.

Hebatnya, semua kegiatan dilakukan tanpa memungut bayaran. Padahal, kehidupan keluarga Rossy terbilang sederhana. Karena merawat Rossy, suaminya yang semula mengelola peternakan ikan keluarga di Garut pindah bekerja di perusahaan pakan ikan di Panjalu. Hingga saat ini keluarga ini pun masih menumpang di rumah ayah Rossy yang sekaligus menjadi rumah baca.

"Ini gerakan ikhlas. Saya percaya pada matematika Tuhan," ujar Rossy sambil tersenyum lebar.

Ketika hari menjelang siang, satu per satu anak-anak Desa Panjalu berdatangan ke Rumah Baca Cahaya Ilmu. Mereka segera mengisi buku tamu dan menyalami Rossy, yang menyambut mereka dengan wajah berbinar.

Sebelum memilih buku-buku yang berjajar di rak, bocah-bocah itu berdiri mengelilingi Rossy, sambil menengadahkan tangan. Mereka takzim berdoa. Suasana yang semula ramai beranjak syahdu. "Semoga, Bunda Rossy sembuh dan sehat sehingga bisa terus menyediakan bacaan bagi kami," ujar bocah-bocah itu....

No comments :