Kajian Unesco 2012 lalu menyatakan bahwa “Seribu orang Indonesia hanya 1 orang yang membaca”. Dengan Gerakan Ayo Indonesia Membaca (AMIND) kita gerakkan perubahan menjadi “Seribu orang Indonesia hanya 1 orang yang tidak membaca”. Untuk itu, AMIND juga aktif mendorong upaya seperti Akhmad Supriyatna dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
--DSP
Ketua Pengawas AMIND, Kemendikbud, Dewi Utama
Faizah, menyerahkan hadiah buku kepada murid SDN Percobaan Palangka Raya saat pencanangan program Ayo Membaca Indonesia (AMIND), Selasa (28/4/15). Foto: PPost/Dewi |
. |
~ o 0 o ~
Mengatasi Anak Putus Sekolah
Oleh Dwi Bayu Radius, Kompas,8/9/2016
Demi menyambung pendidikan remaja kurang mampu di Desa Rancasumur, Kecamatan Kopo, Kabupaten Serang, Banten, Akhmad Supriyatna (49) nekat mendirikan Sekolah Menengah Atas Bina Putera. Ia menggenjot semangat belajar anak muda sembari mempertahankan kepercayaan para penyandang dana. Kini, banyak anak bersekolah, bahkan sebagian melanjutkan kuliah.
Meski berasal dari keluarga bertaraf hidup di bawah rata-rata, murid Sekolah Menengah Atas (SMA) Bina Putera punya banyak prestasi. Saat Kompas mengunjungi SMA itu pertengahan Agustus lalu, piala-piala tampak berderet di rak.
Kebanyakan dari piala tersebut diraih dari kejuaraan olahraga, seperti bulu tangkis, voli, atletik, dan maraton. Para siswa Bina Putera memiliki fisik prima karena terbiasa dengan kegiatan di luar kelas. Kegiatan itu juga yang menempa mereka sehingga memiliki karakter yang matang.
Tidak hanya di bidang olahraga, para murid itu juga kreatif mengembangkan teknologi serta mengolah berbagai produk dan kerajinan. Itu terlihat dari penemuan mereka dalam mengolah tempe hemat energi, mengawetkan tahu secara alami tanpa formalin, memanen kangkung, dan menjahit. ”Banyak teman ngeledek, Bina Putera itu SMA atau SMK (sekolah menengah kejuruan)? Saya menyebutnya kampung belajar,” ujar Supriyatna sambil tersenyum.
Jumlah murid Bina Putera sekitar 260 orang. Semangat sebagian remaja di Kopo untuk belajar sebenarnya termasuk rendah. Kondisi tersebut menciptakan dilema. Remaja putus sekolah akan lontang-lantung, berisiko terjerumus narkoba, hingga terlibat kriminalitas.
”Di sini budayanya, ngapain sekolah? Saya harus yakinkan mereka, sekolah itu bermanfaat. Ketika sudah masuk sekolah, saya harus menjaga semangat mereka,” katanya. Di sisi lain, mereka yang masih ingin melanjutkan pendidikan terbentur ketidakmampuan membayar iuran sekolah.
”Kata orang, remaja di sini tidak siap bersekolah, tetapi kalau dibiarkan, mereka akan menghabiskan energi dengan kegiatan yang tidak konstruktif,” ucapnya.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS |
Rasa memiliki yang kuat terhadap lingkungannya membuat Supriyatna merasa bertanggung jawab untuk mengentaskan remaja putus sekolah. ”Tugas murid hanya belajar. Mencari biaya sekolah dan pihak yang mau membantu adalah tugas kami,” ucapnya.
Biaya yang dibutuhkan dari setiap murid agar sekolah bisa beroperasi sebesar Rp 350.000. Jika orangtua murid dikenai biaya sebesar itu, mereka tak akan mampu membayarnya. Iuran yang ditarik hanya Rp 50.000 per bulan dan tidak pernah naik sejak SMA Bina Putera didirikan pada 2003.
”Kami sudah survei. Kalau lebih dari itu, orangtua berat membayarnya. Itu pun kalau mampu. Kalau mereka minta dibebaskan dari biaya, kami carikan donatur,” ucapnya.
Gundah
Pembentukan SMA Bina Putera berasal dari kegundahan orangtua dan lulusan sekolah menengah pertama setempat yang ingin melanjutkan pendidikan. Jarak SMA terdekat berada di Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang, sekitar 10 kilometer. Tidak ada angkutan umum ke SMA itu.
Sekolah lain, yakni SMA di Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak, Banten, berjarak 17 kilometer. Transportasi publik yang tersedia hanya kereta. ”Muncul ide, mengapa tidak mendirikan SMA saja. Waktu itu, saya masih tinggal di Bogor (Jawa Barat),” katanya.
Ternyata, pengelola SMP setempat menaruh harapan kepada Supriyatna. Dia mulai mewujudkan keinginan itu. Sekolah didirikan di lahan hibah dari masyarakat. ”Lahan seluas 1 hektar dititipkan kepada saya. Jadi, saya tidak bisa lari,” ucapnya.
Berkat jaringan pertemanan, Supriyatna mengenal anggota komunitas sepeda motor besar. Dia berhasil meyakinkan anggota komunitas itu untuk berkunjung ke lahan tersebut. ”Kebiasaan mereka, kalau berkunjung ke suatu daerah, pasti mengadakan bakti sosial,” ucapnya.
Mereka datang dengan berkonvoi dan menyumbang Rp 43 juta. Selanjutnya, beberapa anggota komunitas sepeda motor besar menanyakan kemajuan pembangunan sekolah dan memberikan sumbangan lagi. Uang yang terkumpul digunakan untuk membangun tiga kelas.
Sekolah pun dimulai dengan 38 murid saja. Sesekali, mereka ikut membantu membersihkan lahan yang sebelumnya masih berupa hutan. Kiprah Supriyatna menarik BRI. Dia diminta menyelesaikan pembangunan SMA Bina Putera. Donatur lain memberikan 20 kambing untuk dikembangbiakkan dan dijual.
Reputasi yang bisa dijaga membuat Bina Putera mendapatkan sumbangan Rp 150 juta lagi untuk membeli lahan. Luas SMA itu bertambah menjadi 3,5 hektar sejak tahun 2010. Pemerintah Kabupaten Serang juga memberikan bantuan untuk membangun dua kelas baru tahun 2011 dan dua kelas lagi tahun 2012.
Jarak SMA Bina Putera dari Kota Serang hanya 44 kilometer, tetapi kondisi infrastruktur membuatnya cukup terpencil. Akses dari jalan raya ke SMA itu masih berupa jalur tanah berbatu. Kemacetan dan perbaikan jalan membuat perjalanan dengan kendaraan pribadi harus ditempuh hingga dua jam.
Mandiri
Namun, berbagai keterbatasan itu justru memicu murid-murid SMA Bina Putera menjadi mandiri. Mereka antara lain menjadi petugas kebersihan, penjaga toilet, dan resepsionis. ”Kami tak punya uang untuk membayar cleaning service (petugas kebersihan). Maka, murid-murid diberdayakan,” ucapnya.
Dia bersyukur, di tengah kekurangan pun, Bina Putera masih meraih penghargaan sekolah dengan indeks integritas penyelenggaraan ujian nasional yang tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015. Sejumlah murid juga berhasil diterima di perguruan tinggi negeri.
Tahun 2016 ini, misalnya, 2 murid diterima di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, 1 orang di IAIN Salatiga, 4 orang di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Serang, dan 2 murid diterima tanpa tes di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang.
Perguruan tinggi negeri lain yang dapat ditembus murid-murid Bina Putera adalah Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Supriyatna masih membantu hingga lulusan Bina Putra benar-benar bisa kuliah dengan lancar.
”Untuk ukuran kampung, mereka sangat memberikan harapan. Kalau mereka kuliah, saya harus cari dana. Saya menjembatani mahasiswa dengan donatur,” katanya. Donatur kemudian langsung berkomunikasi dengan lulusan Bina Putera. Mahasiswa-mahasiswa itu juga diupayakan mendapatkan beasiswa.
”Ketika kami pantau, lulusan Bina Putera bisa bersaing. Ada yang meraih IPK (indeks prestasi kumulatif) 3,5,” ucapnya.
Padahal, sebelum mendirikan SMA Bina Putera, Supriyatna tak menyukai profesi guru karena nasib sebagian guru memprihatinkan. ”Jadi, saya kualat. Teman-teman juga meledek. Orang biasanya ke kota, saya malah pulang kampung,” katanya sambil tertawa.
No comments :
Post a Comment