Silek Melawan Zaman

Oleh FRANS SARTONO DAN ISMAIL ZAKARIA
Silek atau silat Minangkabau diibaratkan sebagai ibu dari beragam kesenian tradisi Minang. Gerakan silek menurun pada tari, randai, dan menyusup ke beragam bentuk kesenian lain. Silek dihadirkan sebagai identitas Minangkabau hari ini.
Silek, dikatakan oleh Direktur Silek Art Festival 2018 Indra Yudha, sebagai titik tumbuh beragam jenis kesenian lain di Minangkabau. Itu mengapa silek dipilih menjadi tema utama festival kebudayaan Silek Art Festival 2018 di Sumatera Barat. Ia menyebutkan, setidaknya ada empat aspek dalam silek, yaitu bela diri, olahraga, spiritual, dan seni penyangga. Termasuk dalam seni penyangga itu adalah sastra, musik, dan seni gerak.
 Randai Tuah Sakato asal Kabupaten Sijunjung tampil pada Festival Nan Jombang setiap tanggal 3 di Ladang Tari Nan Jombang, Balai Baru, Kota Padang, Sumatera Barat, Rabu (3/10/2018).

Unsur seni gerak ini menjadi elemen dasar tari Minang. Itu mengapa dalam rangka festival digelar pula pertunjukan sastra lisan, randai, teater, tari, dan musik yang berbasis silek. Itu pula mengapa dalam pembukaan festival ditampilkan tari kontemporer Marentak Ranah Minangkabau karya Ery Mefri.
Kentara sekali gerakan silat dalam karya Ery: tegas, gesit, kuat, bertenaga, tetapi terasa ada juga kelembutan. Karya kontemporer yang terasa kuat jejak sileknya. Gerakan melompat dengan bertumpu pada dua tangan. Melompat dengan kedua kaki hampir lurus sejajar lantai.
Menurut Ery,dasar dari tarian Minang adalah silat. Karakter silat yang beragam, seperti silat harimau, silat buaya, dan banyak lagi aliran-alirannya, semakin memperkaya gerak tari Minang. Pengalamannya mencatat, dulu hampir semua penari tradisi itu pesilat. Seorang pesilat yang telah mencapai tataran yang tinggi, kata Ery, menari bagai bersilat. ”Namun, semua pesilat belum tentu bisa menari,” kata Ery.
Dalam catatan Hartati, koreografer yang menggarap tari untuk pembukaan Asian Games di Gelora Bung Karno itu, Huriah Adam (1936-1971) memformulasikan 13 gerak dasar tari yang diambil dari gerak silek. Gerak dasar tersebut kemudian menjadi gerak dasar tari Minang.
Hartati memberi contoh yaitu gerak yang disebut Suduang Aie atau tudung peneduh dari air. Pada gerak ini, satu tangan penari berposisi lurus ke atas, dan satu tangan lain ke bawah. Seperti posisi daun pisang saat digunakan sebagai peneduh orang dari terpaan hujan.
”Volume ruang gerak penari menjadi besar, lebar. Lingkaran sekitar badan seluas jangkauan tangan dengan bentuk lurus atau melengkung. Sikap kaki seperti kuda-kuda,” kata Hartati mendeskripsikan gerak dasar tari yang diinspirasi gerak silat seperti dicatat Huriah Adam.
Gerak silat yang ”menurun” ke tari juga tampak pada sikap badan yang agak menyerong, dengan posisi bahu lurus ke depan. Tubuh dalam posisi seperti melintir, dengan tatapan mata tajam. ”Ada pula sentakan kaki yang kadang mengagetkan. Itu pola kelincahan gerak silat,” kata Hartati.
Gerak dasar tari yang diambil Huriah Adam dari gerak silek itu, menurut Hartati, terus dieksplorasi oleh generasi penari setelahnya, yaitu Gusmiati Suid (1942-2001). Dan dikembangkan terus oleh koreografer Minang hari ini, termasuk Hartati, Ery Mefri, dan lainnya.
Randai
Silek juga menyusup ke randai. Di luar Silek Art Festival, kebetulan berlangsung Festival Nan Jombang yang digelar Sanggar Nan Jombang, Kota Padang, setiap tanggal 3. Tahun ini dipilih tema randai, termasuk pada 3 Oktober lalu yang menampilkan kelompok randai Tuah Sakato dari Nagari Limo Koto, Kecamatan Koto Tujuh, Kabupaten Sijunjung. Mereka mementaskan lakon ”Siti Rohana”.

Berlatih Silek Pauh di sasaran atau sasana Palito Nyalo, Kecamatam Pauh, Kota Padang, 6 September 2018.

Begitu musik talempong mengentak, belasan anak randai muncul mengenakan pakaian adat berwarna merah, kuning, dan hitam dengan taburan benang emas. Mereka memakai celana galembong berwarna hitam dan deta atau pengikat kepala. Dan, heits, mereka memasang kuda-kuda laiknya dalam silat.
Mereka membentuk lingkaran dan berjalan perlahan memutar. Seseorang yang bertindak sebagai pemimpin memberi aba-aba hep! tah! tih!. Seiring teriakan itu, para pemain bergerak, bertepuk tangan, dan menepuk celana galembong sehingga mengeluarkan bunyi khas.
Gerak melingkar dengan isian gerakan silek ini terus berulang. Ia menjadi semacam penanda pergantian adegan. Cerita ”Siti Rohana” dibangun di antara lingkaran-lingkaran tersebut. Ini kisah cinta segi tiga antara Siti Rohana, Sutan Rajo Ameh, dan Sutan Karangan yang berakhir dengan kematian dari salah seorang Sutan tersebut.
Randai dipilih sebagai tema festival karena seperti halnya silek, randai juga mengalami nasib yang hampir sama, yaitu sempat kurang populer. Direktur Festival Nan Jombang, Angga Djamar, mengatakan, mereka fokus ke randai karena setiap nagari di Sumbar memiliki randai. Apalagi setiap nagari memiliki ciri khas berbeda-beda, misalnya cerita kenagariannya.
”Sepuluh tahun ke belakang, randai juga sedikit dilupakan oleh anak-anak muda. Oleh karena itu, melalui festival ini, kami ingin mengenalkannya kembali kepada mereka sekaligus menjadi arsip kami karena sebagian besar kesenian tradisi yang lama tidak memiliki arsip,” kata Angga.
Edwel Yusri Datuak Rajo Gampo Alam, tokoh dan pelatih Silek Harimau.

Revitalisasi
Silek dan randai sama-sama mengalami semacam revitalisasi di tengah zaman yang terus berubah. Silek yang dulu menjadi ”kewajiban” bagai kaum muda Minang, kini berstatus pilihan. ”Dulu Ninik Mamak sebagai ’manajer’ kekerabatan menitahkan mereka (kaum muda) ke surau untuk belajar silek,” kata Indra Yudha, Direktur Silek Art Festival.
Dia mengakui, internalisasi budaya semacam sudah mulai menyurut seiring perubahan sistem pemerintahan daerah dari kenagarian ke sentralisasi. Pemahaman nilai-nilai lama sudah mulai berkurang. Dipaparkan Indra, dulu basis pendidikan bermula dari rumah gadang, surau, sasaran atau sasana latihan silek, kemudian ke lapau.
Di rumah gadang, Ninik Mamak mengajarkan kepada kemenakan tentang adat istiadat, cara berkerabatan, dan cara memandang hidup. Di surau, kaum muda mengasah mental spiritual. ”Setelah mengaji, mereka berkumpul dan belajar silek sebagai jalan spiritual,” kata Indra.
Di sasaran atau tempat berlatih, mereka belajar silek sebagai bela diri. Dan di lapau, mereka belajar silek dalam arti yang sebenarnya. ”Mereka belajar yaitu silek nonfisik. Mereka bersilaturahmi, saling memberi dan menerima. Mencari titik temu kebenaran,” kata Indra.
Generasi Minangkabau hari ini mencoba menghidupkan sekaligus mengembalikan silek ke ranah budaya yang melahirkannya, yaitu budaya Mianangkabau. Salah satunya adalah apa yang mereka sebut sebagai Minangkabau Silek Retreat. Ini semacam gerakan untuk mengembalikan jati diri dan kearifan silek tradisi Minangkabau.
Mereka, misalnya, menggunakan pakaian galembong dengan gerakan Bangga Bagalembong. Menggunakan kembali bahasa Minang untuk istilah-istilah dalam silek. Dan di atas semua itu, mereka belajar mendalami filosofi silek.
”Ini bukan eksotisme tradisi, melainkan suatu upaya menggali lebih dalam silek tradisi,” kata Asro Suardi dari bagian Penelitian dan Pengembangan Minangkabau Silek Retreat.
Salah seorang penggagas Minangkabau Silek Retreat, Edwardo Guci (45), prihatin dengan kondisi silek Minangkabau. Istilah retreat dimaksudkan sebagai upaya kembali mengingat nilai- nilai lama yang terkandung dalam silek. Nilai-nilai itu yang akan diaktualisasikan dan dikembangkan pada Minangkabau hari ini. ”Kok, budaya (Minangkabau) ditinggalkan, sementara silek hanya menjadi bela diri praktis,” kata Asro mengutip keprihatinan Edwardo.
Silek kini sedang pasang kuda-kuda menyambut zaman.

Dikutip dari Kompas Edisi 21 Oktober 2018



No comments :