Abdurrauf al-Singkili a.k.a Syiah Kuala

Membaca “Wali Nusantara”

Tempo, 25-31 Mei 2020

 

Saya suka membaca dan kegiatan tersebut adalah vitamin yang cukup ampuh sebagai asupan bagi otak dan pikiran saya untuk terus bekerja. Majalah Tempo merupakan salah satu sumber bacaan yang saya suka. Pada edisi 25-31 Mei 2020, ada liputan khusus yang menarik, berjudul Wali Nusantara, ulama-ulama setelah era Wali Sanga yang mengembara menyebarkan Islam ke pelosok negeri berabad silam. Berikut, saya kutip untuk pembaca blog ini. Selamat membaca.

 

Abdurrauf al-Singkili a.k.a Syiah Kuala

Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah karya Azyumardi Azra disebutkan, Syiah Kuala menempuh pendidikan selama 19 tahun di Timur Tengah dan sempat berinteraksi dengan 19 guru dari berbagai disiplin ilmu belajar di Timur Tengah. Salah satu guru yang paling intens berkomunikasi dengannya adalah Syekh Ahmad al-Qusyasyi, ulama sufi pemimpin tarekat Syattariyah yang menggabungkan disiplin syariah dengan ajaran tasawuf. Kemudian beliau menjadi perintis ajaran tarekat Syattariya di Nusantara. Dua muridnya yang ikut menyebarkan tarekat ini adalah Syekh Burhanuddin Ulakan di Pariaman dan Syakh Abdul Muyhi di Tasikmalaya.

 

Beliau juga sempat berkelana ke berbagai wilayah Kesultanan Aceh sebelum menetap di Pantai Kuala Krueng, Aceh. Kawasan itu merupakan pusat perdagangan dan tempat menetap bangsa asing. Di sana terdapat Gampong Biduen, yang oleh Muhammad Yunus Jamil dalam bukunya, Gerak Kebangkitan Aceh, dikenal sebagai kompleks pelacuran. SejarawanAceh, Muhammad Adli Abdullah menjelaskan, Syiah Kuala tak serta-merta mengajarkan Islam di kawasan tersebut. Dia pernah menyamar sebagai orang yang memiliki kesaktian untuk menyebarkan dakwahnya dan menghilangkan pelacuran, pernah juga berperan sebagai tabib yang bisa menyembuhkan penyakit. Cara-cara tersebut berhasil mengubah kondisi sosial-budaya masyarakat Aceh.

 

Pernah ada satu masa dimana dua mazhab; Wahdatus Syuhud dan Wahdatul Wujud bertikai karena perbedaan konsep mengenal diri dan Allah terkait dengan ritual ibadah dan interaksi sosial. Syaih Kuala mendamaikan keduanya dengan pendekatan kompromistis, mengajak untuk tidak mudah melabeli orang lain sesat dan kafir hanya karena perbedaan mahzab. Ia menggunakan kata-kata yang samar dan bersifat umum dalam mengemas kritik dan masyarakat menilai pernyataan Syiah Kuala sebagai bentuk sopan santun dan toleransi tinggi.

 

Syiah Kuala juga membuat sejumlah karya tulis yang mengulas berbagai topik keagamaan seperti fikih, tafsir, kalam, dan ilmu tasawuf. Salah satu karyanya Mir’atuttullab berisi tentang muamalah, politik, sosial, ekonomi, sampai keagamaan. Salah satu yang juga menarik dalam kitab tersebut adalah bahwa Syiah Kuala tak membahas kepemimpinan perempuan secara gamblang namun tetap membuka ruang bagi kepemimpinan perempuan dalam Islam.

 

Syiah Kuala meninggal pada 1696. Dimakamkan di hilir sungai Aceh, sekitar 8 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh.  


No comments :