JIWA INDONESIA

 

Sukidi-Belajar Jiwa Indonesia




Saatnya, membangun jiwa bangsa yang hilang. Tegaknya Indonesia Raya dimulai melalui pembangunan jiwanya.


Hampir 78 tahun merdeka, Indonesia justru bergerak menuju bangsa tanpa jiwa. Jiwa bangsa rapuh dan bahaya terbesar di balik pertumbuhan Indonesia tanpa jiwa adalah pudarnya batas-batas moral yang tegas antara baik dan buruk, benar dan salah. Tatanan moral menjadi tunggang-langgang di semua lini kehidupan.


Saatnya, wahai para pemimpin, membangun jiwa bangsa yang hilang. Tegaknya Indonesia Raya dimulai melalui pembangunan jiwanya. Tanpa pembangunan jiwa, nilai, dan karakter bangsa yang kuat, janji untuk mentransformasikan Indonesia sebagai negara maju tak lebih daripada retorika politik dan bahkan ilusi belaka.


Bersikaplah rendah hati, wahai para pemimpin, dengan membuka hati dan pikiran yang jernih untuk membaca serta belajar dari kesuksesan negara-negara maju di dunia. Di balik kejayaan Inggris di masa silam sebagai negara imperium terbesar di dunia, ada jiwa, nilai, dan karakter moral yang membentuk identitas nasional bangsa Inggris.Dua filsuf moral Pencerahan Inggris, John Locke (1632-1704) dan Adam Smith (1723-1790), meyakini jiwa, karakter, dan nilai-nilai kebajikan sosial (social virtues) sebagai tali ikatan pemersatu yang kokoh antara satu warga dan yang lain. Nilai-nilai kebajikan sosial yang diformulasikan secara humanistik oleh Smith dalam karyanya, The Theory of Moral Sentiments (1759), meliputi rasa kasihan, simpatik, belas kasih, dan kemurahan hati.


Locke dan Smith menempatkan nilai-nilai kebajikan sosial sebagai jiwa dan karakter utama yang membentuk identitas nasional bangsa Inggris. Namun, kontribusi terpenting Locke sebenarnya tak terletak pada teori kebajikan sosial (a theory of social virtues), tetapi pada ”politik kebebasan” (the politics of liberty) yang berpengaruh besar pada pikiran-pikiran Bapak Pendiri Amerika.


Atas nama ”politik kebebasan,” John Adams dan Thomas Jefferson memproklamasikan kemerdekaan Amerika dari Inggris sebagai ”imperium kebebasan” (empire of liberty). Atas nama kebebasan, kaum puritan melarikan diri ke ”New England” agar dapat beribadat sesuai keyakinannya secara bebas dan setara.


”Ibadat yang dilakukan karena paksaan, bukan atas dorongan hati nurani,” tulis Roger Williams (1603-1704) dalam suratnya kepada Gubernur Connecticut Thomas Prence pada 22 Juni 1670, ”beraroma busuk di lubang hidung Tuhan” (forced worship stinks in God’s nostril).


Mural salah satu pernyataan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tergambar di sebuah gang di kawasan Cipayung, Depok, Jawa Barat, Kamis (22/4/2021). Pernyataan Gus Dur terkait pluralisme dan kesetaraan masih relevan hingga kini sebagai landasan berkehidupan bernegara yang majemuk.


Dan, atas nama kebebasan, Williams memperjuangkan kebebasan berkeyakinan secara setara, mutlak, dan komprehensif kepada semua manusia di seluruh bangsa dan negara. Atas usaha gigihnya untuk memperjuangkan kebebasan berkeyakinan secara setara sebagai jiwa bangsa Amerika (the soul of the American nation), Williams dinobatkan sebagai a prophet of religious liberty.


Kebebasan berjalan dalam satu tarikan napas dengan agama. Kebebasan dan agama berjalan secara serasi. Inilah yang meninggalkan jejak keterpesonaan intelektual pada Alexis de Tocqueville ketika berkunjung ke Amerika.


Dalam karyanya yang klasik, Democracy in America (1835), Tocqueville mengekspresikan kekagumannya pada kebebasan dan agama yang berjalan secara harmonis di Amerika, tidak seperti di negerinya, Perancis.


”Di antara kita (orang-orang Perancis),” kata Tocqueville, ”saya melihat agama dan kebebasan hampir selalu bergerak ke arah yang berlawanan”. Sejujurnya, Democracy in America ditulis Tocqueville untuk orang-orang Perancis agar mau belajar dari keharmonisan antara kebebasan dan agama yang mengakar kuat dalam habits of the mind sekaligus habits of the heart masyarakat Amerika.


Seperti Amerika, Indonesia juga didirikan para pendirinya sebagai bangsa yang religius. Seperti kebebasan di Amerika, Indonesia juga didesain untuk memberikan jaminan kebebasan keyakinan secara setara.


”Indonesia”, pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, ”adalah negara yang tiap-tiap orangnya menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.” Leluasa mengandung makna kebebasan bagi setiap warga Indonesia untuk dapat beribadat sesuai agama dan keyakinannya secara setara. Seperti konstitusi modern Amerika, Indonesia juga dibentuk dengan konstitusi modern yang menjamin kesetaraan dalam berkeyakinan, seperti termaktub dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945, yang berbunyi, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.


Dan, seperti tradisi kesetaraan di Amerika, Indonesia juga berpegang teguh pada prinsip dasar kesetaraan di tengah masyarakat yang berbineka. Kebinekaan menuntut semua warga negara adalah sama dan setara, memperoleh hak yang adil dan setara, serta berhak diperlakukan dengan penuh respek tanpa batas.


Saatnya, wahai para pemimpin dan rakyatnya, mewujudkan prinsip dasar kesetaraan sebagai jiwa bangsa Indonesia (the soul of the Indonesian nation). Kesetaraan demi tegaknya Indonesia ini berlaku bukan hanya pada hak beragama dan mendirikan rumah ibadat, melainkan juga pada hak-hak lainnya di semua lini kehidupan.

 

No comments :