Tidak Akan Ada Hotel Modern di Kawasan Muarajambi

Kompleks Candi Kedaton di Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi di Desa Danau Lamo, Kecamatan Maro Sebo, Muaro Jambi, Jambi, Selasa (7/5/2024).


 

MUARO JAMBI, KOMPAS — Pengembangan Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi dilakukan selaras dengan kearifan lokal dan kekhasan masyarakat adat setempat. Karena itu, di kawasan ini tidak akan dibangun hotel-hotel modern. Para pengunjung bisa merasakan suasana keheningan di pusat pendidikan Buddha peninggalan abad ke-6 ini dengan menginap di rumah-rumah adat dan tempat penginapan khas Jambi.

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Jambi Agus Widiatmoko mengatakan, Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi hanya berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Jambi dan bisa dijangkau dengan mudah karena terhubung oleh jalan nasional. ”Pembangunan hotel atau penginapan modern di kota saja. Jangan sampai investor membangun hotel-hotel dengan membeli lahan-lahan di desa sehingga delapan desa penyangga KCBN Muarajambi tetap memiliki kekhasan dengan rumah-rumah adat panggung mereka dan penginapan-penginapan khas Jambi yang dikelola BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) setempat,” ucapnya, Kamis (6/6/2024) di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.

Menurut Agus, rata-rata luas permukiman masyarakat desa di sekitar KCBN Muarajambi hanya sepertiga dari total luasan desa. Dengan demikian, masyarakat ataupun BUMDes masih bisa memanfaatkan lahan mereka untuk membangun tempat penginapan bernuansa adat Jambi.

”Kami sudah rintis BUMDes agar bisa mengoordinasi pembangunan rumah adat atau membuat penginapan yang memiliki kekhasan Jambi. Harapannya, ini akan mendukung kemajuan desa dan ke depan anggaran BUMDes juga bisa menyokong pendanaan kegiatan-kegiatan desa, pendidikan anak usia dini, madrasah, panti asuhan, dan juga guru-guru di desa yang selama ini jauh dari sejahtera,” tambahnya.


Seperti Angkor Wat
Penasihat Arsitektur pembangunan Museum KCBN Muarajambi, Yori Antar, sepakat menjaga keselarasan Muarajambi dengan kearifan lokal masyarakat setempat. “Biarlah hotel dibangun di luar kawasan ini. Yang kita garap di sini seperti Angkor Wat (Kamboja) saja. Di Angkor Wat, hotelnya semua, kan, di Siem Reap, tidak ada hotel di Angkor Wat,” ujarnya.

Menurut Yori, di Muarajambi, arsitektur-arsitektur adat khas Jambi akan diangkat lagi. Rumah-rumah panggung akan dikelola menjadi tempat penginapan. Dengan demikian, masyarakat akan ikut menikmati “kue pariwisata”.

Biarlah hotel dibangun di luar kawasan ini. Yang kita garap di sini seperti Angkor Wat (Kamboja) saja. Di Angkor Wat, hotelnya semua, kan, di Siem Reap, tidak ada hotel di Angkor Wat.

“Secara sosial, mereka ikut menjadi pendukung, bukan penonton. Homestay ini bisa masuk program Kementerian PUPR, bangunannya kita arahkan. Sekarang, kita sekarang sedang menggali lagi arsitektur rumah-rumah adat di sekitar Muarajambi,” ucap Yori.

Yori bersama tim kini sedang membangun Museum KCBN Muarajambi di atas lahan seluas 25 hektar. Luasan kompleks museum sekitar 10 hektar, yang terdiri dari museum, laboratorium, tempat studi merdeka belajar, galeri, dan tempat pameran.

Sekarang, di antara situs Muarajambi sedang dibangun jalan dengan resapan berupa kerikil, bukan konblok. “Bangunan-bangunan yang tidak relevan kita bongkar. Situs-situs sekarang terasa lebih luas, dan narasi yang kita pertahankan adalah suasana hutan,” kata Yori.

Menurut Yori, ada tiga hal yang penting untuk dijaga di Muarajambi, yaitu situs, alam, dan sosial budaya. Selain menjaga situs, alam juga harus dilestarikan sehingga pohon-pohon yang ada di kawasan ini tetap diperhatikan. Namun, kondisi sosial budaya masyarakat di sekitarnya juga harus dirawat.“Koleksi museum akan terus bertambah karena temuan-temuan baru terus muncul. Muarajambi menjadi laboratorium lapangan yang sangat besar. Tempat ini akan dikembalikan menjadi tempat pendidikan,” paparnya.

Pembangunan Museum KCBN Muarajambi berlangsung sekitar dua tahun. Namun, penataan KCBN Muarajambi ditargetkan akan selesai dalam tiga bulan ke depan.Terkait pembangunan museum, Koordinator Program Studi Arkeologi Universitas Jambi Irsyad Leihitu berpendapat, museum tidak cuma berfungsi melindungi sejarah masa lalu, tetapi juga mencatat sejarah masa sekarang. “Dengan menciptakan sejarah kecil dari masyarakat Jambi, hal itu bisa membuat museum ini semakin relevan, baik untuk warga setempat maupun wisatawan,” katanya.

Museum KCBN Muarajambi nantinya tidak hanya difungsikan untuk menyimpan artefak. Berbagai budaya masyarakat akan ditampilkan di sana. Selain itu, museum ini akan menjadi ruang belajar untuk berbagai bidang ilmu, seperti arsitektur, arkeologi, antropologi, dan botani.

Pengembangan KCBN Muarajambi juga perlu dibarengi dengan peningkatan kapasitas masyarakat. Pelatihan terhadap para pedagang terus dilakukan. Jumlah pemandu wisata di kawasan itu belum memadai.Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid memastikan Muarajambi adalah situs Buddha terbesar di Asia Tenggara. “Kita menargetkan, dalam lima tahun ke depan, Muarajambi bisa lebih besar dari Angkor Wat. Inilah situs terpenting di Asia Tenggara,” paparnya.

Jaga marwah

Pelaksana Tugas Kepala Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya atau Indonesian Heritage Agency (BLU MCB/IHA) Ahmad Mahendra mengatakan, pengembangan KCBN Muarajambi sangat terbuka untuk dikerjasamakan dengan berbagai pihak. Namun, pembangunan penginapan perlu disesuaikan dengan arsitektur lokal.

“Kita ingin menjaga marwah kebudayaan Jambi. Baiknya Muarajambi menjadi inspirasi bagi keseluruhan, termasuk bentuk rumah dan penginapan,” ujarnya.

Mahendra menuturkan, melalui BLU, pendapatan dari pengelolaan kawasan tersebut dapat langsung digunakan untuk memperkuat program pemajuan kebudayaan. BLU MCB mengelola 18 museum dan 34 cagar budaya nasional di Tanah Air.

“Kami juga mohon kepada pemda (pemerintah daerah) dan semua pihak, kalau mau berinvestasi di sini, silakan. Nanti bicara dengan BLU MCB. Kita bisa bekerja sama, tapi tidak merusak marwah budaya yang kita lindungi,” ucapnya.

Irsyad menambahkan, diperlukan sinergi yang lebih intim antara pemerintah pusat dan pemda dalam merancang konsep branding untuk Jambi. Hal ini dinilai penting agar Jambi lebih mudah dikenal dengan identitas yang kuat.

“Seperti Solo punya slogan Spirit of Java. Bali disebut sebagai Pulau Dewata. Padang punya Taste of Padang. Kalau Jambi, saya belum ketemu (slogannya). Dengan segala kekayaan kebudayaan, slogan ini harus diputuskan. Kita bisa riset bareng-bareng untuk memberikan legitimasi pada slogan itu,” jelasnya.

KCBN Muarajambi seluas hampir 4.000 hektar mempunyai lebih dari 115 situs percandian dan lebih dari 3.000 koleksi. Kompleks candi tersebut diperkirakan dibangun pada abad ke-6 dan bertahan hingga abad ke-13.

Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Jambi Abdul Haviz menuturkan, saat ini hanya ada tujuh pemandu wisata bersertifikasi di Muarajambi. “Hanya satu yang bisa berbahasa Inggris. Padahal, peranpemandu wisata sangat penting. Jika dilihat, bangunan candi hanya benda mati. Perlu pemandu yang bercerita untuk menghidupkan narasi candi tersebut. Jadi, pelatihan bagi pemandu wisata sangat dibutuhkan,” ujarnya.

artikel ini juga tayang di kompas

Iringan Tradisi Melestarikan Muarajambi

 

Tiang Tuo yang terbuat dari kayu bulian diberi hiasan dalam prosesi tradisi Tegak Tiang Tuo atau peletakan batu pertama pembangunan Museum KCBN Muarajambi di Desa Danau Lamo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Rabu (5/6/2024).


Kekayaan tradisi lokal jadi bekal pembangunan Museum KCBN Muarajambi. Museum lebih banyak mengakomodasi ruang terbuka.


Berbagai tradisi mengiringi pembangunan museum di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi. Tak cuma menyimpan benda bersejarah dan melestarikan budaya yang menebalkan jejak peradaban, museum ini juga membuka jalan untuk mengembalikan fungsi kawasan candi bercorak Buddha tersebut sebagai pusat pendidikan.

Terik menyengat di KCBN Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Rabu (5/6/2024) siang. Irama musik gambang, gendang, dan gong menyatu dengan desir angin yang membawa kesejukan. Alunan musik tradisional itu mengiringi langkah para alim ulama, petugas syara’, kepala desa, cerdik pandai, dan tuo tengganai (orang yang dihormati) yang menggotong balok kayu bulian (ulin) sepanjang 4 meter.

Suara alat musik tiup tekut (berbahan bambu) dan tamtuang (berbahan tanduk kerbau) bersahutan. Suara ini menandai dimulainya peletakan cecokot yang terdiri dari emas, perak, serbuk besi, tapak kuda, dan sawang angin ke dalam lubang pancang. Kemudian, setabun tawar dan secupak garam ditabur yang bermakna pengusiran segala bentuk hal negatif dari kawasan tersebut.

Kayu bulian dimasukkan ke lubang sedalam 1,5 meter. Bagian atasnya dipakaikan pakaian dan dirias bak seorang gadis dengan menggunakan minyak kemiri, bedak, celak, gincu, dan parfum. Ritual ini merupakan prosesi Tegak Tiang Tuo yang menandai peletakan tiang pertama pembangunan Museum KCBN Muarajambi.

”Karena tiang tuo untuk membangun museum ini ditegakkan di tanah kami, budaya kami juga tegak di sini. Kami berharap tradisi ini akan mengiringi perjalanan museum dalam melestarikan candi dan nilai-nilai budaya yang diwariskan turun-temurun,” ujar Sabli Usman, sesepuh adat Desa Danau Lamo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi.

Sabli mengatakan, setiap unsur dalam tradisi itu bukan sebatas material, melainkan juga sarat makna filosofis. Lima unsur cecokot, misalnya, mempunyai makna berbeda-beda. Emas melambangkan cahaya dan rezeki, perak melambangkan kemakmuran, serbuk besi melambangkan kekuatan tekad, tapak kuda melambangkan kekuatan dalam bergotong royong, serta sawang angin melambangkan kesejukan.

Adapun merias tiang tuo melambangkan harapan agar bangunan museum itu seperti seorang gadis yang memikat hati siapa pun yang memasukinya. Perempuan juga menggambarkan penghuni rumah yang mendatangkan ketenteraman.

”Jadi, tradisi ini bukan sebatas ritual. Ada makna dan nilai yang perlu diperkenalkan dan dilestarikan. Itu juga yang kami harapkan dengan adanya museum ini,” ucapnya.

Sabli menuturkan, saat ini alat musik tekut lebih banyak digunakan untuk memikat burung dengan tujuan menangkapnya. Padahal, dahulu tekut ditiup untuk mengundang burung memakan serangga di kebun dan sawah. Namun, ada juga yang memakainya saat mengawali membangun rumah.

”Suara tekut dipakai untuk memanggil burung. Kemudian, burung memakan rayap yang ada di sekitar rumah. Dengan begitu, kayu-kayu di rumah warga tetap kuat sehingga rumahnya tahan lama,” ucapnya.

Museum KCBN Muarajambi dibangun di atas lahan seluas sekitar 30 hektar. Pembangunan museum ini akan lebih banyak mengakomodasi ruang terbuka ketimbang bangunan permanen. Pembuatan museum merupakan bagian dari proyek revitalisasi KCBN Muarajambi.

Revitalisasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) diharapkan mendukung pemajuan kebudayaan dan pembangunan masyarakat di Jambi. KCBN Muarajambi seluas hampir 4.000 hektar mempunyai lebih dari 115 situs percandian dan lebih dari 3.000 koleksi.

Emas melambangkan cahaya dan rezeki, perak melambangkan kemakmuran, serbuk besi melambangkan kekuatan tekad, tapak kuda melambangkan kekuatan dalam bergotong royong, serta sawang angin melambangkan kesejukan.

Kawasan ini terletak di delapan desa di sekitar Sungai Batanghari. Kedelapan desa itu adalah Muaro Jambi, Danau Lamo, Kemingking Luar, Kemingking Dalam, Desa Baru, Tebat Patah, Dusun Mudo, dan Teluk Jambi.

Merekonstruksi peradaban

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan, prosesi Tegak Tiang Tuo merupakan langkah penting dalam upaya pemerintah mendorong perlindungan warisan budaya di Indonesia. ”Ini lebih dari sekadar pembangunan fisik. Kompleks candi ini dibangun kira-kira pada abad ke-6 hingga abad ke-12 atau ke-13. Artinya, selama lebih dari 600 tahun kawasan ini pernah dihuni dan ada peradabannya,” ujarnya.

Menurut Hilmar, masih banyak peninggalan situs KCBN Muarajambi yang belum digali. Hal ini perlu terus diungkap. Selain untuk menelusuri jejak sejarah masa lalu, juga menggali nilai-nilai budaya masyarakat yang masihhidup hingga sekarang.
”Kita tidak sekadar membuat proyek bangunan untuk bisa dikunjungi. Wisata memang salah satu aspeknya. Namun, yang utama adalah merekonstruksi peradaban itu sebagai sumber inspirasi kita di masa depan,” katanya.

Gubernur Jambi Al Haris mengatakan, revitalisasi KCBN Muarajambi akan mengembalikan fungsi kawasan tersebut sebagai pusat pendidikan. Hal ini diharapkan meningkatkan daya tarik pengunjung untuk mendatangi kawasan itu. Tak hanya untuk berwisata, tetapi juga mempelajari peradaban dan budaya.

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Jambi Agus Widiatmoko mengatakan, pembangunan museum sangat dibutuhkan di kawasan yang pernah menjadi pusat pendidikan Buddha terbesar di Asia Tenggara itu. Ia berharap museum tersebut dapat menjadi pusat pengetahuan berbagai bidang ilmu.

”Dalam pendidikan, kita punya kekayaan kearifan lokal yang memuat banyak pengetahuan. Museum ini nantinya bisa menjadi wadah untuk saling belajar tentang kearifan lokal tersebut,” ucapnya.

Pemugaran dan penataan kawasan masih berlangsung di sejumlah situs, seperti di Candi Kotomahligai, Candi Parit Duku, Menapo Alun-alun, dan Candi Sialang. Pemugaran dilakukan sejak Maret dengan melibatkan pekerja dari masyarakat setempat. Pemugaran sudah mencapai 45 persen dan ditargetkan rampung Oktober.

Saat proses ekskavasi, para pekerja harus berhati-hati dalam menggali agar tidak memutus akar pohon yang tumbuh di atas struktur candi. Penggalian memang diperlukan untuk mengungkap struktur, tetapi pelestarian alam di sekitarnya tidak boleh diabaikan.

Penasihat arsitektur pembangunan Museum KCBN Muarajambi, Yori Antar, mengatakan, museum tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tempat belajar bersama berbagai bidang ilmu, seperti arsitektur, arkeologi, antropologi, dan botani.

 Bangunannya akan menggunakan terakota seperti halnya struktur candi di kawasan itu.
”Museum ini akan menjadi laboratorium terbuka. Jadi, yang diangkat bukan cuma situs Muarajambi-nya, tapi juga alamnya dan sosial budayanya,” ujarnya.

 

Memahami Budaya Sebagai Investasi



Atraksi seni topeng ireng dari Komunitas Lima Gunung menyemarakkan pembukaan kegiatan Indonesia Bertutur di kompleks Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, September 2022.


 

Banyak negara telah mengalokasikan anggaran khusus untuk sektor kebudayaan. Mereka melihat kebudayaan sebagai investasi.     


    Banyak negara meyakini bahwa kebudayaan adalah ”detak jantung” masyarakat. Karena  itulah, pendanaan untuk sektor kebudayaan mesti dianggap sebagai sebuah investasi,  bukan sekadar biaya pengeluaran.

Sejak International Fund for Cultural Diversity (IFCD) diluncurkan pada tahun 2010, UNESCO telah menginvestasikan lebih dari 9,4 juta dollar AS di 129 proyek di 65 negara anggota. IFCD merupakan bagian dari Konvensi UNESCO 2005 tentang Perlindungan dan Pemajuan Keanekaragaman Ekspresi Budaya. Saat ini, 44 persen dana IFCD telah diinvestasikan di Afrika, terutama di negara-negara berkembang dan kepulauan-kepulauan kecil.

Pada tahun 2019, rata-rata 1,2 persen dari total belanja pemerintahan di negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga dialokasikan untuk sektor kebudayaan. Negara-negara seperti Estonia, Latvia, Hongaria, dan Eslandia bahkan sampai menyisihkan hampir 3 persen anggaran belanja mereka untuk sektor kebudayaanKebijakan serupa dilakukan National Endowment for the Arts (NEA) di Amerika Serikat yang memberikan hibah lebih dari 84 juta AS untuk mendukung proyek seni secara nasional pada tahun 2020. Hal ini menggarisbawahi komitmen moneter yang besar terhadap seni, yang mencerminkan upaya untuk mempertahankan dan memelihara sektor penting kebudayaan.

Setahun sebelumnya, pada 2019, sektor seni dan budaya di Amerika Serikat mampu menyumbang kontribusi ekonomi luar biasa sebesar 877,8 miliar dollar AS. Jumlah ini setara dengan 4,5 persen produk domestik bruto Amerika Serikat.

Di Eropa, Uni Eropa mengalokasikan sekitar 1,46 miliar euro untuk program Eropa Kreatif pada periode 2014-2020 (https://gitnux.org). Angka ini merupakan bukti nyata dukungan Uni Eropa terhadap kegiatan seni budaya.

Talangan darurat

Tak bisa dihindari, pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu benar-benar memberikan pukulan berat pada sektor kebudayaan. Di tengah aktivitas kebudayaan yang ”mati suri” selama masa pandemi, para pelaku kebudayaan di sejumlah negara meminta pemerintah untuk menyediakan dana talangan darurat.

Jika dilihat dari besaran dana pemulihan, Amerika Serikat tercatat mengalokasikan anggaran terbesar, mencapai 15,71 miliar dollar AS, disusul Perancis (8,3 miliar dollar AS), Kanada (4,7 miliar dollar AS), Inggris (2,74 miliar dollar AS), Jerman (2,37 miliar dollar AS), Norwegia (543,8 juta dollar AS), Korea Selatan (269,1 juta dollar AS), Singapura (55,6 juta dollar AS), dan Afrika Selatan (6,64 juta dollar AS).

Namun, jika dilihat dari jumlah populasi, Perancis tergolong unggul dalam pendanaan kebudayaan per kapita disusul Kanada dan Norwegia. Sementaraitu, Amerika Serikat yang mengalokasikan nominal anggaran kebudayaan terbesar, tetapi memiliki populasi tertinggi di antara negara-negara lainnya, akhirnya harus berada di urutan ke-4, disusul Inggris, Jerman, Singapura, Korea Selatan, dan baru Afrika Selatan (https://news.artnet.com).

Pada tahun 2022, pendanaan dari pemerintah federal, negara bagian, dan daerah di Amerika Serikat untuk sektor seni budaya mencapai 1,85 miliar dollar AS. Rinciannya meliputi National Endowment for the Arts (NEA) menerima dana 180 juta dollar AS (meningkat 7,5 persen), State Arts Agencies (SAA) menerima 833 juta dollar AS (naik 106,8 persen), dan Local Arts Agencies (LAAs) menerima 837 juta dollar AS (naik 23,5 persen).

Amerika Serikat yang mengalokasikan nominal anggaran kebudayaan terbesar, tetapi memiliki populasi tertinggi di antara negara-negara lainnya, akhirnya harus berada di urutan ke-4, disusul Inggris, Jerman, Singapura, Korea Selatan, dan baru Afrika Selatan.

Direktur Senior Penelitian National Assembly of State Arts Agencies Ryan Stubbs mengatakan, pendanaan untuk sektor seni di Amerika Serikat turun pada tahun 2021 akibat dampak pandemi. Para pengambil kebijakan kemudian merespons tantangan ini dengan menyalurkan bantuan dana. ”Kombinasi bantuan federal dan negara bagian, serta membaiknya perekonomian ketika dibuka kembali (pascapandemi), menyebabkan pendanaan sektor seni mencapai angka tertinggi sepanjang masa pada tahun anggaran 2022,” ujarnya seperti dikutip dalam Grantmakers in the Arts, Annual Arts Funding Snapshot 2023.

Keberpihakan Amerika Serikat pada sektor seni budaya tidak sia-sia. Pada 2022 pula, sektor ini mampu menyumbang kontribusi ekonomi sebesar 1,1 triliun dollar AS atau 4,3 persen dari produk domestik bruto Amerika Serikat.

Dana perwalian kebudayaan

Meski belum terlalu lama seperti Amerika Serikat atau negara-negara Eropa, Pemerintah Indonesia juga mulai mengalokasikan Dana Perwalian Kebudayaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemajuan kebudayaan seturut amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dana Perwalian Kebudayaan merupakan wadah pengelolaan dana hibah dari berbagai sumber, baik dari pemerintah maupun donasi swasta.

Dana Perwalian Kebudayaan merupakan dana yang dihimpun kemudian diinvestasikan dalam bentuk saham, obligasi, atau surat berharga lainnya. Hasil investasi dari dana inilah yang kemudian disebut Dana Abadi yang bisa digunakan untuk pendanaan kegiatan pemajuan kebudayaan.Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2 triliun untuk Dana Perwalian Kebudayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dana Perwalian Kebudayaan yang diwujudkan lewat dana abadi kebudayaan dan kemudian disebut Dana Indonesiana ini bersumber dari dana pokok yang diinvestasikan dan bunganya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pelindungan, pengelolaan, dan penguatan kebudayaan. Pengelola Dana Indonesiana ini adalah Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Menurut peneliti Koalisi Seni Ratri Ninditya, dalam riset Koalisi Seni berjudul ”Keberlangsungan Lembaga Seni Delapan Kota” (2015) ditemukan fakta-fakta yang menegaskan bahwa faktor pendanaan merupakan hal krusial untuk laju perkembangan seni Indonesia. Sayangnya, kontribusi pemerintah terhadap pendanaan seni masih sangat minim.

”Dari 227 responden, hanya 33,9 persen yang memperoleh pendanaan dari pemerintah daerah, sementara 15,4 persen (lainnya) didanai pemerintah pusat. Sebanyak 68 persen lembaga seni menyatakan tidak ada sosialisasi dari pemerintah mengenai dukungan untuk seni sehingga akses ke dana publik menjadi sulit,” paparnya.

Pada umumnya, dukungan dari pihak swasta terhadap kesenian masih berupa sponsor kegiatan yang mengharapkan kontraprestasi ketimbang donasi melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dampaknya, mayoritas lembaga seni (79,7 persen) masih bergantung pada pendanaan swadaya dari sumber daya internal.

Ratri juga menemukan adanya ketimpangan pendanaan antara pegiat seni pemula dan nonkomersial yang lebih sulit mendapat pendanaan ketimbang seniman komersial yang sudah populer. Sejumlah kegiatan seni, seperti penelitian, penerbitan, ataupun pengarsipan, juga kurang menarik donordibandingkan pertunjukan, festival, ataupun pameran.

Karena itulah, kemunculan Dana Indonesiana dengan sistem penganggaran yang lebih fleksibel diharapkan bisa menjawab berbagai macam kebuntuan terkait pendanaan kegiatan-kegiatan seni budaya. Menurut Ratri, fasilitas ini diharapkan bisa memberikan kesempatan kepada pelaku-pelaku baru kesenian untuk berkembang mengingat selama ini mekanisme sponsorship dari perusahaan cenderung memilih seni komersial atau pelaku yang sudah terkenal.

Akan tetapi, selain dari sisi investasi ekonomi, tentu kebudayaan memiliki nilai-nilai imateriel lain yang tidak kalah luar biasa. Di tengah banyaknya krisis yang terjadi di seluruh penjuru bumi, manusia butuh waktu untuk saling terhubung, saling memahami, dan membayangkan masa depan yang lebih baik.

Di sinilah, musik, seni, sastra, bioskop, tari, dan beragam ekspresi budaya serta kreativitas lainnya memiliki kekuatan untuk menyembuhkan, memberdayakan, dan mendorong momentum guna mengatasi berbagai tantangan. Ini semua bisa terjadi jika seluruh komponen masyarakat benar-benar bisa memahami kebudayaan sebagai sebuah investasi.

artikel ini juga tayang di kompas.co.id