Seni Topeng Malangan

Seni topeng malangan merupakan seni tari klasik asal Malang, Jawa Timur. Tarian itu lazimnya menceritakan legenda Panji, yang didalamnya mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran ksatria-ksatria Jawa dari kerajaan-kerajaan yang tumbuh di Malang dan sekitarnya, seperti Kerajaan Jenggala, Kediri dan Singasari.

Topeng digunakan menari waktu itu untuk mendukung fleksibilitas si penari. Sebab waktu itu sulit untuk mendapatkan riasan (make up), maka untuk mempermudah riasan, para penari tinggal mengenakan topeng di mukanya. Para penari pun bergerak sesuai karakter topeng yang beragam.

Seni tradisi ini dikenal sejak masa Kesultanan Demak (1524-1581). Pada masa itu, Sunan Kalijaga aktif menggubah pertunjukan wayang topeng Jawa. Pentas itu lantas menyebar ke Jawa Timur, salah satunya memusat di beberapa desa di Malang, sehingga kemudian seni ini dikenal sebagai topeng malangan.

Penceritaan dan dialog dalam pentas ini menggunakan dialek Jawa Timur. Topengnya dibuat dari kayu dengan guratan yang membentuk karakter wajah-wajah tertentu. Ada karakter jahat, baik, jenaka, sedih, bahkan wajah dengan citra yang berubah-ubah. Saat dibawakan penari di panggung, semua karakter itu menjadi bergerak hidup.

Penokohan



(sumber gambar: Kompas, 1/11/2015, hal.10)

Topeng malangan memiliki lebih kurang 76 tokoh/karakter yang terbagi dalam empat kelompok besar, yaitu:
  • - Tokoh protagonis, yaitu tokoh baik Kerajaan Jenggala dan Kediri yaitu Panji dan Dewi.
  • - Tokoh antagonis, dari Kerajaan Sabrang atau seberang yaitu, Kerajaan Dulang Kencana, Bantar Angin dan lainnya. Tokohnya adalah, Klana, Bapang, Patih Sabrang dan Butho.
  • - Tokoh jenaka, biasanya abdi yaitu, Demang dan Bambang.
  • - Tokoh hewan, seperti Ayam, Naga, Ikan (Bader Bang), Monyet, Lembu, Babi, Sapi, dan Lalat (jelmaan Walangwati-walang Semirang.
Karakteristik Topeng Malangan berbeda dengan topeng dari daerah lain, seperti Solo, Cirebon, dan Bondowoso. Perbedaannya terletak pada ragam warna yang lebih banyak dibanding topeng daerah lain.

Ciri Topeng Malangan dikuatkan dari pewarnaan dengan kombinasi lima warna dasar yakni, merah melambangkan keberanian, putih melambangkan kesucian, hitam melambangkan kebijaksanaan, dan kuning melambangkan kesenangan, serta hijau melambangkan kedamaian. Selain itu, ornamen atau ukirannya juga lebih detail.

Sanggar Asmoro Bangun



Memang sudah tak banyak seniman yang menggeluti kesenian ini. Tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Salah satu yang bertahan adalah Sanggar Asmoro Bangun.

Di sanggar yang terletak di Dusun Kedung Monggo, Desa Karang Pandan, Kecamatan Pakisaji, Malang ini biasanya digelar pertunjukan wayang topeng. Pertunjukan memiliki jadwal yakni biasanya digelar 36 hari sekali atau setiap Senin Manis atau Senin Legi.

Selain menampilkan pertunjukan Topeng Malangan, sanggar juga memberikan kursus tari kepada anak-anak. Biasanya pelatihan tari dilaksanakan setiap hari Minggu. Dan bagi yang ingin menyaksikan proses pembuatan topeng, dilaksanakan setiap hari, jam 8 pagi sampai 4 sore.

Alamat Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun
Jl. Prajurit Slamet, Dusun Kedung Monggo, Desa Karang Pandan,
Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang - Jawa Timur, Indonesia
Email: topengasmorobangun@gmail.com
CP. Bapak Handoyo (+62-8175404437)


~ o 0 o ~

Sumber:

bangunasmoro.blogspot.co.id

Kompas, 1/11/2015

Kompas: Topeng Malang Makin Terpinggirkan

Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun, Buku "Dramatari di Indonesia, Kontinuitas dan Perubahan", karya RM Soedarsono dan Tati Narawati.

Berubah Sebelum Diubah

pic from: indonesia-now.com

Oleh Steve Kosasih*

Dapat dikatakan semua makhluk hidup menyukai keseragaman dan tidak menyukai perbedaan. Di dunia fauna, hewan-hewan yang sama akan cenderung berkumpul dan menolak kawanan yang tidak seragam dengan mereka.

Peribahasa Inggris menggambarkan hal itu dengan kalimat, "Birds of the same feather flock together". Hal yang sama juga berlaku untuk manusia. Kita cenderung menyukai mereka yang sama dengan kita dan menolak mereka yang berbeda, dalam hal apa pun.

Anehnya, hal itu sama sekali bertentangan dengan prinsip sukses dalam kehidupan. Untuk bisa hidup dengan baik di tengah masyarakat, kita harus mampu membaur dengan lingkungan yang beraneka ragam dan penuh dengan perbedaan.

Lantas, mengapa kita cenderung tidak suka perbedaan? Selidik punya selidik, ternyata itu karena secara alami makhluk hidup membenci perubahan. Perubahan mengakibatkan ketidakpastian. Padahal, untu bertahan hidup, sukses dalam pelajaran, berhasil dalam bisnis, dan banyak hal lainnya, kita membutuhkan kepastian. Charles Darwin menemukan fakta bahwa bukan makhluk yang terkuat atau yang terpintar yang mampu bertahan hidup, melainkan hanya yang mampu beradaptasi terhadap perubahan yang akan tetap eksis.


Mengubah yang paling mudah

Riset yang diberitakan Cambridge News menyatakan bahwa 10 jenis pekerjaan dengan bayaran tinggi pada 2015 bahkan belum ada pada 2005. Jika riset itu benar, mungkin kita menyekolahkan anak-anak kita untuk menghadapi dunia kerja yang belum eksis hari ini, melatih mereka untuk menggunakan teknologi yang belum diciptakan hari ini, dan mendidik mereka untuk memecahkan masalah yang belum ada hari ini.

Masyarakat Ekonomi ASEAN yang konon akan diberlakukan pada akhir tahun ini tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan berbagai profesi lainnya. Artinya, persaingan akan semakin ketat untuk seluruh masyarakat yang tidak siap menghadapi hal ini.

Mau tidak mau, kita harus berubah karena dunia terus-menerus berubah. Kita harus mulai mengubah yang paling mudah diubah dan ada dalam kendali kita: diri kita sendiri.

Ekspektasi dan daya saing diri harus kita ubah untuk menghadapi tantangan masa depan. Bahkan, cara kita melihat dunia juga harus kita ubah. Bahayanya, kadang dunia berubah tanpa kita sadari.


Bagai katak dalam tempayan

Peneliti dari MIT William Thompson Sedgwick menyatakan, seekor katak jika dimasukkan ke tempayan yang berisi air bersuhu normal dan perlahan-lahan dipanaskan tidak akan meronta dan melompat, tetapi akan mati karena tanpa sadar perlahan-lahan ia direbus hingga matang.

Susunan syaraf dan otak kita bereaksi terhadap perubahan hampir sama seperti katak itu (walau kita berjuta-juta kali lebih cerdas daripada katak). Kita cepat bereaksi terhadap perubahan ekstrem, tetapi sulit mengenali perubahan yang bertahap dan perlahan-lahan menggerogoti eksistensi kita. Jangan jadi katak dalam tempayan. Mari kita secara sadar mengubah diri kita ke arah yang lebih dibutuhkan dunia sebelum kita perlu berubah. Jangan menunggu saat kita terpaksa harus berubah karena mungkin saat itu sudah terlambat untuk berubah.


*Pemimpin Perusahaan Transportasi Publik

~ o 0 o ~

Sumber: Kompas, 5/11/2015

Sel Punca: Terapi yang Menjanjikan

Sel punca adalah terapi baru dalam dunia medis. Meski masih dalam tahap penelitian dan belum jadi layanan standar, hasilnya cukup menggembirakan. Keberhasilan itu membuat para ahli yakin terapi sel punca akan jadi tren masa depan, menggantikan terapi konvensional dengan obat atau suntik.



Musa Asy'arie (64), Guru Besar Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, telah merasakan manfaat terapi sel punca. Sejak menderita diabetes melitus 10 tahun lalu, kadar gula darahnya selalu di atas normal. Berbagai pengobatan dilakukan, termasuk ke sebuah rumah sakit di Singapura. Namun, gula darahnya tetap tinggi.

Atas saran teman, ia mencoba terapi sel punca di RSUD dr Soetomo Surabaya, enam bulan lalu. Setelah tiga kali penyuntikan sel punca yang diambil dari sumsum tulang belakang, fungsi pankreasnya naik dari 30 persen jadi hampir 100 persen. Kadar gula darahnya turun mendekati normal. Jumlah dan dosis obat yang diminum pun berkurang.

"Sekarang diabetes tak menakutkan lagi. Selain tubuh lebih ringan, saya bisa melakukan berbagai aktivitas yang berguna bagi orang lain," ujarnya.

Manfaat serupa dituturkan Andi Muhammad Ardan (32), mahasiswa semester 10 program dokter spesialis bedah plastik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair). Pada 2013, ia dinyatakan mengalami sirosis hati level lanjut, 75 persen hatinya jadi jaringan ikat.

Akibatnya, berat badannya turun drastis. Kemampuannya mengoperasi hanya 2-3 jam, padahal tuntutan profesi mengharuskan ia harus bisa mengoperasi 7-8 jam. Itu sempat membuatnya putus asa dan berniat mundur dari pendidikan. Apalagi, sirosis tahap lanjut belum ada obatnya dan berpeluang jadi karsinoma atau kanker.

Atas saran rekan seprofesi, ia ikut terapi sel punca di almamaternya. Setelah disuntik sel punca dari jaringan lemak di perutnya tiga kali selama tiga bulan, berat badannya naik 17 kilogram. Nilai serum glutamic oxaloacetic transaminase dan serum glutamic pyruvate transaminase sebagai indikator kesehatan hati juga normal. "Operasi 12-14 jam pun tak masalah," tuturnya.

Ada pula Rio Gunawan (32), karyawan bank swasta asing di Jakarta, yang patah tulang paha pada 2009. Berbagai terapi dijalani, mulai pasang pen, delayed union atau penyambungan tulang yang tertunda pada 2010, dan bone graft atau cangkok tulang pada 2011. Semua tak memberi hasil memuaskan.

Lalu, ia disarankan melakukan nailing atau pemasangan sejenis pelat atau paku pada tulang patah. Namun, metode itu berisiko jika kondisi tulangnya tak mendukung. Lalu, ia dianjurkan menjalani terapi sel punca di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Meski sempat ragu karena terapi itu baru di Indonesia, ia berani mencoba setelah tahu ada aturan Menteri Kesehatan yang mengatur terapi sel punca. Terapi dilakukan dengan mengambil sel punca dari sumsum tulang belakangnya. Hasilnya, "Dulu saya harus jalan memakai kruk (tongkat). Kini, saya bisa jalan tanpa kruk sambil menggendong anak," ujarnya.

Penyakit degeneratif

Terapi sel punca mulai dikembangkan di dunia pada 1996 dan di Indonesia pada 2007. Terapi dilakukan dengan menyuntikkan sel punca ke pasien untuk memperbaiki organ atau jaringan tubuh yang rusak.

Sel punca bisa diambil dari embrio, darah tali pusat bayi baru lahir dan dari orang dewasa. Sel punca embrio belum dikembangkan di Indonesia karena etikanya diperdebatkan. Sel punca dewasa bisa diambil dari tubuh pasien sendiri (autologous) atau orang lain (allogenic).

"Sel punca dari embrio dan darah tali pusat potensinya amat besar, tetapi risiko tumbuh ke arah keganasan besar," kata Andri Lubis, Kepala Bagian Penelitian RSCM yang juga pengembang terapi sel punca tulang rawan. Tingkat penolakan sel punca yang diambil dari tubuh pasien jauh lebih kecil daripada diambil dari orang lain.

Sel punca bisa untuk terapi penyakit degeneratif atau terkait penurunan fungsi tubuh, mutasi dan keganasan sel. Beberapa penyakit yang bisa diterapi adalah jantung koroner, pelemahan pompa jantung, diabetes melitus, stroke, parkinson, kanker, dan gangguan tulang.

"Semua penderita penyakit degeneratif bisa diterapi dengan sel punca, tak ada batasan usia," kata Sekretaris Pusat Kedokteran Regeneratif dan Sel Punca Surabaya yang juga dokter penyakit dalam pengembang sel punca RSUD dr Soetomo Purwati. Pemeriksaan oleh dokter menentukan bisa tidaknya seseorang diterapi sel punca.

Karena masih tahap riset di seluruh dunia, terapi sel punca belum jadi layanan standar. Banyak aspek terapi perlu dioptimalkan dan diteliti sebelum diterapkan pada layanan rutin. Akibatnya, biaya terapi belum ditanggung asuransi kesehatan. Namun, biaya terapi di Indonesia jauh lebih murah dibanding di Tiongkok, apalagi di Eropa. Bahkan, sejumlah pasien bisa dibiayai dari dana riset.

Meski demikian, mutu terapi sel punca di Indonesia tak kalah dibandingkan negara lain. Dari 379 pasien yang diterapi di RSUD dr Soetomo, perbaikan pasien diabetes 30-100 persen dan nyeri sendi lutut 60-70 persen. Perbaikan pasien stroke 50 persen dan penyakit jantung 60- 80 persen. Hal serupa ditunjukkan peserta terapi di RSCM.

Meski menjanjikan, pasien perlu cermat menerima tawaran terapi sel punca. Di Indonesia, terapi baru dikembangkan di RSCM dan RSUD dr Soetomo. Klaim keberhasilan tanpa ditopang riset memadai perlu diwaspadai.

Oleh M ZAID WAHYUDI

~ o 0 o ~

Sumber: Kompas, 4/11/2015

Baca juga:

Kompas: Sel Punca Tak Obati Semua Penyakit

Perempuan di Mata Ajeng

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Perempuan punya tempat khusus di mata Ajeng Patria Meilisa (29). Sampai-sampai ia melakukan studi mendalam tentang hiperealitas kecantikan perempuan yang diwujudkannya dalam buku.

Keprihatinan terhadap fenomena perempuan modern berawal ketika ia melihat para perempuan berlomba-lomba ingin menjadi putih atau tinggi. ”Perempuan itu kayak bener-bener dimanfaatin untuk meraih keuntungan, bukan dilihat sebagai sosok yang mempunyai banyak potensi dalam dirinya,” kata Ajeng yang menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) InterStudi, Jakarta Selatan.

Buku berjudul Hiperealitas Perempuan dalam Pemasaran yang akan diluncurkan Desember mendatang itu merupakan hasil penelitian dengan metode wawancara lapangan. Ajeng berharap buku itu bisa membuka mata setiap perempuan. ”Memang semua perempuan pengin cantik, pengin sempurna. Tapi bukan cuma itu fokusnya. Bisa berkarya, bermutu, berbobot, dan tidak hanya ngurusin fisik,” tambah Ajeng yang pernah menjadi finalis Wajah Femina (2008) dan Top 5 Putri Indonesia (2008) itu.

Jika dibiarkan, lanjut Ajeng, hiperealitas kecantikan bisa membuat perempuan hidup dalam kepalsuan, tidak mensyukuri diri sendiri, dan terus berusaha memenuhi tuntutan menjadi sempurna.

”Kecantikan kan tak melulu hanya soal kesempurnaan tubuh, tapi otak harus terus diasah,” kata Ajeng yang setelah menyelesaikan S-2 memilih menjadi dosen untuk terus mengasah dirinya. ”Kalau berhenti belajar, suka ada yang hilang. Aku enggak mau. Ayo otak diputar terus,” ujar Ajeng yang merupakan ibu dari tiga anak.

Ditemui di lingkungan kampus, beberapa pegawai yang baru berjumpa dengannya sempat mengira perempuan cantik yang awet muda tersebut adalah mahasiswa. ”Mbaknya mahasiswa tingkat berapa?” tanya mereka. Ajeng hanya tersenyum sebelum menjelaskan bahwa dirinya sudah menjadi pengajar di kampus tersebut.

Dosen ”galak”

Mengajar mata kuliah Wawancara dan Talkshow serta Perilaku Konsumen, para mahasiswa dari semester awal hingga akhir mengenal Ajeng sebagai dosen ”galak”. Ketika seorang mahasiswanya datang terlambat 15 menit, misalnya, Ajeng tak memperbolehkannya mengisi absensi kedatangan.

”Ada yang bilang Ajeng itu galak, ha-ha-ha-ha. Ya enggak galak sih, tapi tegas. Kalau di luar kampus, saya suka ketawa-tawa, tapi kalau di ruang kelas harus berbeda. Kalau enggak, kita bisa disepelekan. Tegas buat kebaikan mereka juga,” katanya.

Ilmu komunikasi yang dibagikan ke mahasiswa pun cukup beragam. Pada mata kuliah Wawancara dan Talkshow, pelajaran dimulai dari sejarah talkshow, pengertian, hingga kiat menghadapi narasumber dari beragam karakter dan kalangan. Agar tak melulu mencekoki mahasiswa dengan teori, dosen tamu pun sesekali didatangkan untuk berbagi pengalaman terkait praktik di lapangan.

”Mengajar itu menyenangkan. Kebetulan bidang saya di komunikasi. Saya cinta banget dengan komunikasi dengan berbagai teorinya,” ujar Ajeng yang segera menyanggupi ketika tawaran mengajar mulai datang.

Bibit kepedulian pada dunia pendidikan secara tidak sadar sebenarnya sudah muncul ketika wajahnya mulai menghiasi layar kaca. Sejak duduk di bangku sekolah menengah, Ajeng sudah malang melintang di dunia pertelevisian, diawali sebagai pemandu acara cerdas cermat Ki Hajar Dewantara di TVRI.

”Seru dan bangga. Senang bisa dikenal karena prestasi,” kata Ajeng.

Tomboi

Sederet prestasi yang pernah diraihnya justru berawal dari kekhawatiran sang ibu ketika melihat Ajeng tumbuh menjadi gadis tomboi. Kala itu, Ajeng, misalnya, bisa makan sambil mengangkat kaki ke kursi. Meski tomboi, Ajeng cenderung pemalu. Untuk membangun keberanian anak bungsu dari tiga bersaudara itu, kedua orangtuanya kemudian mendaftarkan Ajeng ke ajang kecantikan.

Ia ingat ketika masih di bangku SMP, tiba-tiba menerima panggilan seleksi ”Wajah La Tulip Cosmetique”. ”Saya langsung gelagepan dan bertanya pada Mami, kok tiba-tiba dapat telepon kayak gini? Kata Mami, enggak apa-apa. Itung-itung sekadar nyoba. Kita harus belajar merias, sopan santun dijaga, dan tampil di depan umum,” ujarnya.

Ajeng yang harus belajar memakai sepatu hak tinggi untuk kompetisi tersebut malah meraih juara pertama sekaligus juara umum. Perlahan, ia jatuh cinta pada dunia mode yang kemudian membawanya tampil di panggung mode internasional, seperti di Yunani, Malaysia, dan Tiongkok.

Pengalaman itu membentuknya menjadi perempuan yang mengerti cara berdandan dan merawat diri, tapi juga menyadari bahwa kemampuan intelektualnya harus terus diasah. Dari panggung mode, Ajeng sempat menjadi presenter di sejumlah stasiun televisi.

Kini, di sela kesibukan mengajar dan merawat tiga anaknya, ia juga merintis bisnis pakaian dengan merek lokal. ”Pengin mencoba. Pengin menggali dan menggali lagi supaya enggak mati kreativitasnya,” kata Ajeng.

Oleh MAWAR KUSUMA

Sumber: Kompas, 3/11/2015

Interview with Global Business Guide Indonesia



Global Business Guide :
PT Martel is a reputable hotel developer in Indonesia with a portfolio of successful projects which includes five-star hotels such as the Bali Imperial Hotel and the Grand Preanger Hotel in Bandung. What more can you tell us about the history of your company?

DSP :
PT Martel was founded as part of a diversification strategy for our main venture in the oil and gas sector. We recognized the volatility of that particular sector which comes with the promise of high yields but also entails high risk; hence we looked into tourism where we especially considered the prospects in the long-term.

We initiated our first involvement in the industry with the Grand Preanger Hotel in Bandung, West Java, by acquiring the 100-year-old hotel on a 30-year lease. Subsequently, we developed the original building which was constructed in the Dutch colonial era by adding 150 more rooms to the initial 50 rooms. After the renovation was completed, we officially reopened the hotel in 1990.

Our following project was the Bali Imperial Hotel in Seminyak, Bali. The idea for this hotel itself was conceived after frequently having stayed at the legendary Imperial Hotel in Tokyo during our business trips to that city. Hence, we decided to build a hotel to be managed by the same company. However, we eventually sold the hotel more than ten years later due to a number of reasons. In 1995, PT Martel opened the Novotel Hotel in the city of Bukittinggi, West Sumatra. This four-star hotel already has the distinction of having attained an architectural award for its design which was the work of renowned Thai architect, Mr Lek Bunnag, and US landscape artist, Mr Bill Bensley. Additionally, we also have several smaller-scale projects, one of which is in the city of Berastagi, North Sumatra.

Read more on Gbgindonesia.com: Interview with Mr Dedi Sjahrir Panigoro (PT Martel)

With Wael and Lianna, The Director of Global Business Guide Indonesia