KOMPAS/RADITYA HELABUMI |
Perempuan punya tempat khusus di mata Ajeng Patria Meilisa (29). Sampai-sampai ia melakukan studi mendalam tentang hiperealitas kecantikan perempuan yang diwujudkannya dalam buku.
Keprihatinan terhadap fenomena perempuan modern berawal ketika ia melihat para perempuan berlomba-lomba ingin menjadi putih atau tinggi. ”Perempuan itu kayak bener-bener dimanfaatin untuk meraih keuntungan, bukan dilihat sebagai sosok yang mempunyai banyak potensi dalam dirinya,” kata Ajeng yang menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) InterStudi, Jakarta Selatan.
Buku berjudul Hiperealitas Perempuan dalam Pemasaran yang akan diluncurkan Desember mendatang itu merupakan hasil penelitian dengan metode wawancara lapangan. Ajeng berharap buku itu bisa membuka mata setiap perempuan. ”Memang semua perempuan pengin cantik, pengin sempurna. Tapi bukan cuma itu fokusnya. Bisa berkarya, bermutu, berbobot, dan tidak hanya ngurusin fisik,” tambah Ajeng yang pernah menjadi finalis Wajah Femina (2008) dan Top 5 Putri Indonesia (2008) itu.
Jika dibiarkan, lanjut Ajeng, hiperealitas kecantikan bisa membuat perempuan hidup dalam kepalsuan, tidak mensyukuri diri sendiri, dan terus berusaha memenuhi tuntutan menjadi sempurna.
”Kecantikan kan tak melulu hanya soal kesempurnaan tubuh, tapi otak harus terus diasah,” kata Ajeng yang setelah menyelesaikan S-2 memilih menjadi dosen untuk terus mengasah dirinya. ”Kalau berhenti belajar, suka ada yang hilang. Aku enggak mau. Ayo otak diputar terus,” ujar Ajeng yang merupakan ibu dari tiga anak.
Ditemui di lingkungan kampus, beberapa pegawai yang baru berjumpa dengannya sempat mengira perempuan cantik yang awet muda tersebut adalah mahasiswa. ”Mbaknya mahasiswa tingkat berapa?” tanya mereka. Ajeng hanya tersenyum sebelum menjelaskan bahwa dirinya sudah menjadi pengajar di kampus tersebut.
Dosen ”galak”
Mengajar mata kuliah Wawancara dan Talkshow serta Perilaku Konsumen, para mahasiswa dari semester awal hingga akhir mengenal Ajeng sebagai dosen ”galak”. Ketika seorang mahasiswanya datang terlambat 15 menit, misalnya, Ajeng tak memperbolehkannya mengisi absensi kedatangan.
”Ada yang bilang Ajeng itu galak, ha-ha-ha-ha. Ya enggak galak sih, tapi tegas. Kalau di luar kampus, saya suka ketawa-tawa, tapi kalau di ruang kelas harus berbeda. Kalau enggak, kita bisa disepelekan. Tegas buat kebaikan mereka juga,” katanya.
Ilmu komunikasi yang dibagikan ke mahasiswa pun cukup beragam. Pada mata kuliah Wawancara dan Talkshow, pelajaran dimulai dari sejarah talkshow, pengertian, hingga kiat menghadapi narasumber dari beragam karakter dan kalangan. Agar tak melulu mencekoki mahasiswa dengan teori, dosen tamu pun sesekali didatangkan untuk berbagi pengalaman terkait praktik di lapangan.
”Mengajar itu menyenangkan. Kebetulan bidang saya di komunikasi. Saya cinta banget dengan komunikasi dengan berbagai teorinya,” ujar Ajeng yang segera menyanggupi ketika tawaran mengajar mulai datang.
Bibit kepedulian pada dunia pendidikan secara tidak sadar sebenarnya sudah muncul ketika wajahnya mulai menghiasi layar kaca. Sejak duduk di bangku sekolah menengah, Ajeng sudah malang melintang di dunia pertelevisian, diawali sebagai pemandu acara cerdas cermat Ki Hajar Dewantara di TVRI.
”Seru dan bangga. Senang bisa dikenal karena prestasi,” kata Ajeng.
Tomboi
Sederet prestasi yang pernah diraihnya justru berawal dari kekhawatiran sang ibu ketika melihat Ajeng tumbuh menjadi gadis tomboi. Kala itu, Ajeng, misalnya, bisa makan sambil mengangkat kaki ke kursi. Meski tomboi, Ajeng cenderung pemalu. Untuk membangun keberanian anak bungsu dari tiga bersaudara itu, kedua orangtuanya kemudian mendaftarkan Ajeng ke ajang kecantikan.
Ia ingat ketika masih di bangku SMP, tiba-tiba menerima panggilan seleksi ”Wajah La Tulip Cosmetique”. ”Saya langsung gelagepan dan bertanya pada Mami, kok tiba-tiba dapat telepon kayak gini? Kata Mami, enggak apa-apa. Itung-itung sekadar nyoba. Kita harus belajar merias, sopan santun dijaga, dan tampil di depan umum,” ujarnya.
Ajeng yang harus belajar memakai sepatu hak tinggi untuk kompetisi tersebut malah meraih juara pertama sekaligus juara umum. Perlahan, ia jatuh cinta pada dunia mode yang kemudian membawanya tampil di panggung mode internasional, seperti di Yunani, Malaysia, dan Tiongkok.
Pengalaman itu membentuknya menjadi perempuan yang mengerti cara berdandan dan merawat diri, tapi juga menyadari bahwa kemampuan intelektualnya harus terus diasah. Dari panggung mode, Ajeng sempat menjadi presenter di sejumlah stasiun televisi.
Kini, di sela kesibukan mengajar dan merawat tiga anaknya, ia juga merintis bisnis pakaian dengan merek lokal. ”Pengin mencoba. Pengin menggali dan menggali lagi supaya enggak mati kreativitasnya,” kata Ajeng.
Oleh MAWAR KUSUMA
Sumber: Kompas, 3/11/2015
No comments :
Post a Comment