Tragedi Dipanegara, Tragedi Kita Semua

OLEH BRE REDANA DAN NINUK MARDIANA PAMBUDY
Sumber : PERSONA, Kompas, Senin 18 Mei 2009

Buku berjudul “The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855” (KITLV PRESS, 2007) setebal lebih dari 900 halaman, selain menunjukkan biografi lengkap Pangeran Dipanegara, juga memperlihatkan pemahaman penulisnya, Dr Peter Carey (61), akan segala segi kebudayaan Jawa. Carey yang kini juga mengabdikan sebagian hidupnya untuk masalah difabel (untuk urusan cacat anggota tubuh), dari berbagai pengakuannya sepertinya dia mengalami –bahasa Jawanya-“pinesthi”: sebagian dunianya adalah dunia masa lalu Jawa.

Perang Dipanegara atau Perang Jawa (1825-1830) tak pelak merupakan babak penting dalam sejarah negeri ini. “…the End of an Old Order in Java” (berakhirnya tatanan lama di Jawa)seperti menjadi bagian dari judul buku itu, menggambarkan betapa mendalam akibat yang ditimbulkan perang itu. Peristiwa tersebut menandai dimulainya periode kolonial modern di Indonesia, yang kemudian berakhir tahun 1945.

Melacak karya-karya Carey, termasuk satu bukunya misalnya Ekologi Kebudayaan Jawa dan Kitab Kedung Kebo (Pustaka Adat, 1986), kita akan memperoleh berbagai faset dari Pangeran Dipanegara, termasuk situasi kebudayaan baik di zaman itu maupun yang bisa kita refleksikan untuk masa kini dan masa depan.

Dalam buku-buku Anda, akan terlihat bagaimana Pangeran Dipanegara menjalani berbagai laku spiritual seperti bertapa, masuk hutan, dan lain-lain selain kenyataan dia juga seorang santri. Islam menjadi variable penting pada masa itu, sementara Jawa juga sering dihubung-hubungkan dengan Hinduisme. Dimana sebenarnya letak Hindu?.

Kebudayaan Jawa sebenarnya agak khusus. Kita ini yang suka membeda-bedakan, kamu orang Islam, kamu orang Kristen, ini orang Hindu…. Ini berbeda dari sebutlah Jawa abad ke-18. Saya ambil contoh dari lingkungan Dipanegara di Tegalreja yang didirikan eyang buyut dia. Dia mendirikan masjid untuk diri sendiri dan juga tempat menyepi yang dibangun dari yoni yang diambil dari Candi Prambanan. Dia punya tempat di Selagilang yang dipakai untuk meditasi. Sebenarnya di dalam Islam seperti Muhammadiyah atau yang modern, tidak boleh ada hubungan dengan dunia gaib, mistik, ziarah ke tempat yang bisa datang wangsit. Tetapi, bagi dia, ini dunia spiritual yang masih hidup. Jadi, dia pergi ke gua di Parangtritis, dia bisa menerima wangsit dari Sunan Kalijaga, dia menerima benda-benda pusaka dan semua itu datang dari dunia pra-Islam.

Praktik itu tasawuf Islam atau Hindu ?
Susah dibedakan karena dia orang jawa dan waktu itu latar belakang kebudayaan ada pengaruh dari mistik Islam dan juga warisan dari sistem agama Budha, dan ada dunia gaib khusus Jawa yang punya danyang-danyang yang melindungi Jawa.
Jadi, susah dikatakan sejauhmana ini Islam, walaupun tasawuf, dan mana yang warisan Hindu/Budha. Ini semacam dunia yang seperti woven cloth. Banyak macam, saling berjalinan, saling memengaruhi. Dan Kiai Maja (salah satu pengikut Dipanegara) sangat tidak bisa menerima cara bergerak Dipanegara karena dia terlalu gemar pusaka, terlalu gemar pergi ke banyak tempat ziarah. Dia (Kiai Maja) merasa itu tidak sesuai dengan cita-cita dia untuk mendirikan Islam berdasarkan Al Quran dan hadis.

Takdir
Perang Jawa barangkali tak sekedar soal perebutan aset seperti tanah maupun kekuasaan. Jangan-jangan dia menjadi semacam clash of civilization, dan di situ seluruh kekuatan Jawa terkonsolidasi melawan Belanda. Adakah itu juga dikarenakan perkembangan kolonialisasi masa itu, di mana pada awal abad 1800-an masyarakat Jawa yang tadinya merasa independen, tiba –tiba menjadi koloni ?

Ya, situasi demikian cepat berubah, suatu peralihan yang benar-benar kejam dan tidak ada ampun. Respon yang muncul dari Jawa Tengah Dipanegara muncul sebagai orang tradisional untuk bisa melepaskan orang dari kemelaratan, seperti Ratu Adil, tetapi Ratu Adil berbau Islam. Dia membuat perang Sabil, tetapi unsur-unsur itu adalah Hindu, Budha dan Islam yang ada pengaruh dari Hindu Budha. Setelah perang Dipanegara baru ada abangan dan santri. Sebelum Perang Dipanegara susah didapatkan, siapa yang abangan.

Dalam buku Anda, berdasar babad yang ditulis sang pangeran sendiri, justru dengan kapasitas spiritualnya dia sudah tahu sejak awal usahanya akan gagal. Mengapa dia tetap mengobarkan perang ?.

Dia seperti Gatotkaca atau Karna dalam Mahabharata, dia tahu akan kalah, tetapi harus melaksanakan kewajiban sebagai manusia, panggilan, takdir. Sejak Dipanegara masih bayi, Mangkubumi waktu masih hidup sudah melihat bayi ini dan bilang “Nanti bayi ini akan membuat lebih rusak Belanda daripada saya. Tetapi kelak hanya Allah yang tahu…”. Dan dia sudah diberi wangsit, tugas dia adalah membangkitkan perang Sabil, tetapi siapa yang tahu dia akan berhasil atau gagal ? Sebetulnya gagal, sebab dia itu seperti Hamlet, atau seperti Soekarno tahun 1965, dia sebenarnya sudah tahu bahwa ini sudah takdir dia akan jatuh.

Tetapi, Babad Dipanegara ditulis ketika dia di Manado, artinya ditulis setelah dia kalah. Biasanya catatan post-vactum hanya menjadi justifikasi dari apa yang telah dia jalani ?

Memang ini kesulitan dengan babad. Babad ini bukan sebagai justifikasi, tetapi sebagai pendidikan untuk anak di Manado dan Makassar. Saya merasa cara dia memberi penjelasan untuk sejarah adalah bahwa dia punya tugas sementara dan tugas itu membangkitkan old moral dari jawa, sukses atau tidak sukses dia harus melaksanakan takdir.

Menjalani takdir, bahkan ketika tahu akan gagal, seperti Soekarno tahun 1965, apakah itu khas Jawa ?

Mungkin ada suku lain. Pengalaman saya sebagian besar di Jawa Tengah, jadi saya tahu tentang Jawa. Dan menurut saya Dipanegara tahu dia punya takdir hidup yang dia sebenarnya tidak mau menjalani, tetapi dia harus.

Menurut Anda, apa yang bisa dipelajari dari Dipanegara ?
Saya kira dia orang yang sangat menarik, multifacets. Kita lihat di dalam satu dimensi: orang mistik, dimensi lain: orang yang pandai mengatur uang, administrasi, orang yang jujur dan berterus terang dalam mengutarakan apa yang dia rasakan. Dia tahu, seperti Soekarno tahun 1965, bisa panggil marinir dari Surabaya untuk perang sipil. Tetapi, bagi dia, keutuhan Indonesia lebih penting daripada kepentingan diri pribadi. Dia akan meninggal dengan penuh penderitaan, tetapi sebenarnya bagi dia, negara yang dia bayangkan lebih penting daripada dirinya sendiri. Dan untuk Dipanegara, sebetulnya itu seperti karma. Sudah tahu sebenarnya tidak akan menguntungkan dia, tetapi dia tetap melaksanakan. Dia manusia di dalam kemelut sejarah. Dan kita juga manusia dalam kemelut sejarah.

Itu suatu tragedi…..
Kita manusia dan kita menderita sebagai manusia meskipun ada darma yang besar. Dan saya kira tragedi Dipanegara adalah tragedi banyak orang yang harus membuat pilihan politik. Dia orang yang sangat kaya. Dia punya 60 orang pekerja hanya untuk jaga kuda dan potong rumput untuk kuda, tetapi semua harta benda dia pakai. Better dies standing up than lives at people feet.

Bangsa Menuju "Bunuh Diri"


Oleh SATJIPTO RAHARDJO
Sumber : OPINI, Kompas, Senin 18 Mei 2009

Mengerikan sekali judul artikel ini, tetapi bagaimanapun fenomena tersebut menarik untuk dibicarakan. Mengamati perilaku bangsa kita dalam berbagai bidang akhir-akhir ini memberikan alasan ditulisnya artikel ini.

Kata bunuh diri disini dipakai untuk melukiskan perilaku suatu bangsa yang sudah sedemikian rupa sehingga akhirnya akan menyebabkan bangsa itu sendiri menuju “kebangkrutannya”. Rentang kebunuhdirian itu dimulai dari perilaku negatif asosial yang sangat sederhana sampai ke yang benar-benar dalam skala besar dan merusak.Seseorang yang mengambil inventaris kantor kecil-kecilan untuk dijual (petty corruption) sedikit banyak sudah mulai melakukan proses bunuh diri itu, sampai ke orang-orang yang, karena jabatan kenegaraannya, dapat “memperjualbelikan” kekuasaan dan kewenangannya sampai ratusan juta rupiah (magna corruption).

Keadaan bangsa kita memang masih belum benar-benar separah itu, tetapi tidak ada salahnya apabila pagi-pagi sudah diperingatkan. Rupa-rupanya orang juga sudah melihat titik hitam di kaki langit nan jauh dan titik itu adalah perilaku bunuh diri (suicidal act). Dicontohkan sinyalemen Profesor Sri-Edi Swasono yang berbicara tentang democidal nation di ranah kehidupan demokrasi kita. Menurut Sri-Edi, putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan terhadap UU Pemilu 2008 yang menetapkan parliamentary threshold sebesar 2,5 persen disebut nya sebagai pemasungan vox populi dan dengan kalimat lebih keras mengatakan “…memenggal suara rakyat, suatu penjagalan atau pembunuhan terhadap demokrasi kita, suatu democidal act…”(Suara Pembaruan, 18/4/2009).

Korupsi di Negara kita dapat dijadikan contoh kasus yang menggambarkan proses bunuh diri oleh suatu bangsa. Untuk itu akan dilakukan “Pola Alatas” sebagai rujukan untuk menggambarkan proses tersebut. Syed Hussein Alatas adalah seorang profesor dalam sosiologi dan politik yang menjadikan korupsi sebagai obyek studi. Bukunya antara lain The Sociology of Corruption (1968). Pada awalnya korupsi masih terjadi dalam pola satu-dua atau sporadis (relatively restricted). Tahap selanjutnya ia pelan-pelan mulai merebak dan meluas (rampant and all-pervading) untuk akhirnya membunuh masyarakatnya sendiri (self-destructed). Korupsi di Indonesia pada tahun 1950-an masih dapat dimasukkan ke dalam awal, sedangkan sekarang ini barangkali sudah berada pada tahap kedua menuju yang terakhir.

Ibarat Benalu
Apabila saya boleh menggunakan kehidupan tanaman atau tumbuh-tumbuhan sebagai perbandingan, korupsi merupakan benalu yang menempel pada tumbuh-tumbuhan dan menggerogotinya. Seperti benalu, korupsi hidup dengan cara menghisap uang rakyat dan negara. Dalam keasyikannya melakukan maksiat itu, tanpa disadari akhirnya ia membunuh sang tumbuh-tumbuhan dan para koruptor itu pun dengan sendirinya ikut mati. Alatas mengatakan, korupsi itu akhirnya membunuh masyarakat (destroyed the fabric of society).

Sesungguhnya tidak hanya korupsi dan koruptor yang akhirnya menghancurkan negara, bangsa dan masyarakat, tetapi juga orang-orang yang tidak menjalankan tugas dan pekerjaannya dengan baik.

Pengadilan yang diharapakan menjadi pusat keadilan berubah menjadi pasar yang memperdagangkan putusan pengadilan. Sampai hari ini publik tidak henti-hentinya masih menyoroti terjadinya mafia pengadilan di negeri ini. Ini tentu saja sangat memukul para hakim dan pegawai pengadilan yang masih berusaha menepis praktik para sejawatnya yang sudah menjadi mafioso itu. Pengadilan yang sudah mencoreng martabatnya sendiri itu sudah beramai-ramai bersama-sama dengan para koruptor turut menjadi benalu bagi pohon Indonesia.

Daftar pelaku-pelaku bunuh diri itu dapat diperpanjang kehadirannya di berbagai bidang pekerjaan yang melakukan pelayanan kepada publik. Ia ada di sektor pendidikan, transportasi, kesehatan, kepolisian, politik (dewan-dewan perwakilan rakyat), dan masih banyak lagi. Intinya adalah bahwa banyak pelaku yang seharusnya melayani publik tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka itu juga turut memperparah keadaan dan mendorong terjadinya bunuh diri tersebut. Mereka lupa bahwa pada akhirnya mereka akan turut terkubur juga bersama-sama dengan matinya “pohon Indonesia” yang mereka cederai dan gerogoti selama ini.

Bunuh diri bangsa ini ditampilkan sebagai peringatan (reminder) terhadap kemungkinan yang serius dan gawat yang akan menimpa seluruh bangsa. Proses menuju bunuh diri tersebut dapat dicegah dan dihentikan apabila bangsa ini tidak dipenuhi dengan benalu-benalu, melainkan dengan “daun” dan “akar”. Berseberangan dengan perilaku benalu yang korup itu, maka daun dan akar justru menjadikan pohon Indonesia hidup dan berkembang dengan subur.

Apabila semua orang di negeri ini melakukan tugas dan pekerjaannya dengan jujur, penuh dedikasi dan beramanah, apakah itu guru, pengusaha, birokrat, wartawan, anggota DPR, gubernur, hakim dan ribuan lainnya, maka insya Allah proses menuju bunuh diri itu dapat dicegah.

SATJIPTO RAHARDJO
Guru Besar Emeritus Sosiologi
Hukum Undip

Minahasa dalam Kenangan

Minahasa adalah sebutan yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Bila nama tersebut terdengar hal yang melayang dalam pikiran kita adalah sambal dabu-dabu, ikan bakar, musik kolintang, keindahan pulau Bunaken, dan tenunan kerawang.

Pulau Bunaken


Pemandangan dari hotel ke pulau Bunaken

Pada saat kita semua merayakan hari buruh, 1 Mei 2009, saya dan istri mengunjungi Minahasa selama 3 malam. Kami memilih hotel The Ritzy Hotel, Jl. Piere Tendean - Manado 95111, Sulawesi Utara, No. Telp. 0431-855555, No. Fax. 0431-868888. Situs yang dapat dikunjungi adalah www.ritzymanado.com, email : info@ritzymanado.com. Hotel ini berada di tepi pantau menghadap ke pulau Bunaken, tepat di pusat kota.

Menikmati keindahan danau

Terumbu Karang


Danau Tondano

Pedagang kue tradisional di Tikala

Toko Kawanua Jalan B.W Lapian No. 33.

Sebenarnya kami ingin menginap juga di Gardenia Country Inn di Tomohon, sebuah kebun raya yang indah milik keluarga Ratulangie, namun sayang pada saat itu hotelnya penuh. Hotel ini beralamat di Jl. Kakaskasen II, Tomohon, Sulawesi Utara, dengan nomor telpon 0431-351282 / 352878. Situs yang dapat dikunjungi adalah http://www.gardeniacountryinn.com/.

Tour ke Bunakaen hanya dikuti oleh istri saya, karena saya telah pernah mengikuti tour tersebut.


Kebun Raya Gardenia


Kebun Raya Gardenia

Keesokan harinya kami berdua melakukan Minahasa Tour, ditemani oleh soerang teman Ismail Sider. Kunjungan pertama ke makam Imam Bonjol, tokoh pejuang asal Sumatera Barat yang dibuang ke Minahasa oleh Belanda hingga akhir hayatnya dan dikubur di dekat Pineleng Sulawesi Utara, pada tanggal 6 November 1864.


Makam Tuanku Imam Bonjol

Tempat sembahyang Tuanku Imam Bonjol


Sungai di belakang makam Tuanku Imam Bonjol

Objek berikutnya yang kami kunjungi adalah industri kayu tradisional Boloan, Tomohon. Mereka membuat berbagai jenis rumah dari kayu kelapa dan jenis-jenis kayu keras lainnya. Harga rumah berkisar sampai Rp. 1.500.000,- / meter persegi. Rumah tersebut dapat dipasang dimana saja di seluruh Indonesia dengan menambahkan biaya angkutan laut. Rumah tersebut dapat diperoleh di Rumah Kayu Walian, Jl. Raya Tomohon, depan pompa bensin, dengan menghubungi Bpk. Ruland Wensen di nomor 0852-40285632



Rumah kayu tradisional

Rumah kayu tradisional

Setelah selesai melihat industri rumah, kami bergegas meluncur ke danau Tondano, sebuah danau yang indah, bersih, dan sejuk karena berada pada ketinggian 1200 m diatas laut. Sungguh suatu pemandangan dan suasana yang menakjubkan. Kami berhenti di pinggir danau untuk makan siang di restoran Tu Mou Tou di Kel. Paleloan Link I, Tondano 95619, No. Telp. 0431-3125847. Kami memilih menu jagung goreng, ikan woku ( gulai khas manado), dan ikan bakar, tentu dengan bumbu khas dabu-dabu. Semua ikan ditangkap langsung dari danau tersebut. Makan makan siang cukup lama karena ditunjang oleh hembusan angin semilir dan pemandangan danau yang indah menawan.


Restoran Tumou Tou

Jagung goreng


Makanan kecil khas Manado

Di Jl. Walanda Maramis terdapat toko kue tradisional Manado yang nikmat seperti alampa, Pulo Betawi, Koyabu, Balapis, Panada, dan asinan “Gohu”.

Selesai makan kami bergegas kembali ke Manado dan berhenti sejenak di daerah kedai minum kopi yang sangat terkenal, dimana setiap calon presiden selalu mampir di kedai tersebut. kalau kita mau menuju kedai tersebut tidak dapat menggunakan mobil, karena jalannya tertutup bagi mobil, sehingga harus berjalan kaki, dengan jarak yang pendek. Kedai tersebut dari pagi hingga malam hari ramai dikunjungi orang dari berbagai lapisan masyarakat. Disana pengunjung juga disuguhi alunan musik dari organ tunggal untuk mengiringi para penyanyi amatir maupun profesional.

Kedai kopi


Samaria Homestay

Samaria Homestay adalah penginapan dengan bangunan yang unik. Terletak di Jl. Raya Sarongsong Lansot No. 2, Tomohon Selatan, dengan nomor telpon 0431-352362 atau 081340005498.


Dalam perjalanan pulang dari Tondano kami juga mengunjungi makam Kiai Mojo.


Di depan komp. Pemakaman Pahlawan.

Demikianlah kenangan saya bersama istri tentang Minahasa.

Seuntai Melati bagi Kartini Indonesia




Saat sekarang telah banyak perempuan Indonesia yang memiliki pendidikan tinggi, namun masih banyak generasi muda kita, baik itu laki – laki maupun perempuan yang sangat membutuhkan pendidikan demi kehidupan yang lebih baik.

Seuntai Melati bagi Kartini Indonesia, adalah sebuah bentuk penghargaan bagi perjuangan Kartini dalam meningkatkan pendidikan bagi rakyat Indonesia umumnya dan perempuan Indonesia khususnya. Acara ini diadakan di Griya Jenggala, sebuah Guest House yang beralamat di Jl. Jenggala I No. 2 Jakarta Selatan, pada tangal 21 April 2009. Para undangan mulai memenuhi ruangan sejak pukul 19.00 wib.

Arifin Panigoro bersama undangan



Suasana konser

Pendidikan musik adalah salah satu yang penting bagi perkembangan bangsa ini, karena dengan musik, kita bisa menjadi sosok yang lembut dan peka.
Untuk itu saya dan Ananda Sukarlan, Pia Alisjahbana, BS. Kusmuljono, dan Chendra Panatan mendirikan Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI). Yayasan ini membantu generasi muda Indonesia yang berbakat dalam bidang musik. Dalam acara ini, saya memperkenalkan Yayasan Musik Sastra Indonesia kepada teman – teman yang juga sangat peduli pada pendidikan generasi muda Indonesia.
Malam itu hadir, Djitron Korion Pah, putra pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, ia menampilkan permainan sasando dengan 32 senar, alat musik petik tradisional NTT dengan sangat memukau. Djitron, begitu biasa ia dipanggil adalah penerima beasiswa kedua dari Yayasan Musik Sastra Indonesia, setelah Inge Buniardi, siswi Indonesia yang menempuh pendidikan musik (Piano) di Belanda.
Dedi dan Hilmi Panigoro mengagumi permainan Sasando
Yayasan Musik Sastra Indonesia juga menerima bantuan atau sumbangan alat musik baru maupun bekas, agar dapat digunakan oleh anak muda atau kelompok yang membutuhkannya.
Bila Anda berminat untuk membantu generasi muda Indonesia, dapat menghubungi Yayasan Musik Sastra Indonesia dengan Sdri. Indri Hapsari di No. Telp 021-7821671, email info.ymsi@yahoo.com. YMSI berlokasi di Gedung Medco, Jl. Ampera Raya No. 20, Jakarta Selatan.

Para artis bersama guru mereka Ny. Chatarina A. Leimena
Selain itu, acara juga dimeriahkan oleh Christine Theodosia Lubis, Sri Muji Rakhmawati, keduanya adalah penyanyi soprano muda berprestasi. Ada juga Imanuel Bimo, seorang tenor, yang turut memeriahkan acara. Vokal apik dari mereka bertiga diiringi oleh Aditya Pradana Setiadi pada piano. Mereka menampilkan program berikut :
· Seriosa Indonesia
o Do’a (Binsar Sitompoel)
o Gadis Bernyanyi di Cerah Hari (Mochtar Embut)
o Srikandi (Mochtar Embut)
o Lukisan Tanah Air (Yongky Djauhari)
o Wanita (Ismail Marzuki)
o Melati di Tapal Batas (Ismail Marzuki)
o Embun (GRW Sinsoe)
o Pesan Kartini (Ibenzani Usman)
o Puisi Rumah Bambu (FX Soetopo)
o Bukit Kemenangan (Yongki Djauhari)
o Rangkaian Melati (R Maladi)
o Cita Ria (Ismail Marzuki)


Menikmati saat rehat
· Petikan Opera
o Non Piangere, Liu! (Turandot-Giacomo Puccini)
o Vissi d’arte (Tosca-Giacomo Puccini)
o O mio babbino caro (Gianni Schicchi-Giocomo Puccini)
o Ebben ne andro lontana (La Wally-Alfredo Catalani)
o Flower’s Duet (Lakme-Leo Delibes)
o Trio (Norma-Vicenzo Bellini)


Menyanyikan lagu "Syukur"

Christine Theodosia Lubis, mulai mengenal musik sejak berusia 5 tahun dari ibunya R. Hutauruk. Kecintaannya terhadap musik terus berkembang hingga kini dan telah menjadi instruktur vokal di Pusat Pendidikan Musik Vokal Jakarta (PPMVJ) Gita Svara dan solis pada Susvara Opera Company, dibawah asuhan Ibu Catharina W. Leimena.
Sri Muji Rakhmawati, lulusan Ilmu Psikologi dari Universitas Atmajaya dan master dari Universitas Indonesia. Dalam kegiatan bernyanyi Wati, demikian nama kecilnya telah dimulai saat berusia 3 tahun. Ia banyak memperoleh penghargaan, diantaranya Award for Outstanding Performance, Award for Inspiring Performance, Award for Solfegio dan Award for Vocal Bravura.

Wati, Bimo dan Christine
Imanuel Bimo, telah memegang peranan penting di usia belianya, ia adalah konduktor Canisius Wind Ensemble, orkes musik milik SMP dan SMA Kolese Kanisius. Sekarang Bimo masih aktif sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi, jurusan Akuntansi di Universitas Indonesia. Bimo bersama Susvara Opera Company pernah menampilkan Opera La Boheme karya Puccini di Gedung Kesenian Jakarta. Ia berperan sebagai Schaunard.
Aditya Pradana Setiadi, adalah pianis yang telah banyak mengikuti master class dari pianis dunia seperti Prof. Luciano Bellini, Patrick Zygmanowski, Vaughan Schlepp, Sonja van Lier dand Cicilia Indah Yudha. Adit pernah juga tampil di depan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, presiden Republik Indonesia dan berpartisipasi dalam acara UNESCO "International Poetry Day". Penghargaan yang pernah diterimanya anatara lain YPM Artis Award, YPM Gold Medal, Award for Most Outstanding Performance, Anugerah FISIP UI Award 2006 & 2008 dan Award Musicademia 2008 dari Sampoerna Foundation.


Ibu Arifin Panigoro memberikan karangan bunga kepada pianis Aditya Pradana Setiadi
Prestasi dan tampilan bakat mereka yang sangat menjanjikan kembali menyentak kesadaran bahwa Indonesia memiliki begitu banyak generasi muda berbakat. Mari bersama mewujudkan cita-cita mereka. Masa depan cerah bagi Indonesia.


Para srikandi penyelenggara acara

Dua Malam di Pulau Timor

Sejak lama saya mendambakan berkunjung ke pulau Timor, akhirnya pada hari Jumat, 3 April 2009 saya mengunjungi Kupang, ibukota propinsi Nusa Tenggara Timur, walaupun hanya dua malam.

Penyambutan secara adat

Pusat perbelanjaan terbesar di Kupang
Saya terbang dari Surabaya dengan pesawat baru Mandala yang mendarat dengan mulus di Bandara El Tari, Kupang pada pukul 12.25 WIT . Sebelum mendarat, dari kaca jendela pesawat terlihat jelas untaian pulau, padang rumput dan pantai yang indah, mulai dari Lombok, Sumba, Sumbawa, kemudian Timor. Setibanya, kami langsung check in di Kupang Sea View Hotel, jalan Ikan Tongkol No. 1, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bila membutuhkan penginapan, bisa menghubungi nomor telpon 0380-822422, Fax : 0380-831569 atau mengirimkan surat elektronik ke teddysenterprise@yahoo.com. Hotelnya sederhana, air conditioned dengan tarif Rp. 300.000,-/ malam. Hotel tersebut berada di pusat kota lama Kupang yang menghadap langsung ke laut.

Suasananya hidup, di depan hotel terdapat sebuah restoran Pantai Laut, menyajikan menu ikan laut segar yang menjadi favorit siang dan malam. Restoran ini berlokasi di jalan Ikan Tongkol No. 3, Kupang. Untuk bisa menikmati hidangan laut yang tersedia, sdr. Robin, General Manager restoran Pantai Laut bisa dihubungi di nomor 0852-39109999 atau 0380-8020999, bisa juga melalui robinpantailaut_rnb@yahoo.co.id.

Nusa Tenggara Timur terkenal sebagai surga selancar mancanegara, kain tenun, alat musik tradisional sasando dan tentunya makanan laut. Untuk informasi pariwisata dengan mudah dapat dilihat di www.kupangklubhouse.com, Pusat Informasi Jasa & Bisnis Kota Kupang ONLINE. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi sdr. Djainab Sutami (Direktur) atau Sdr. Donovan Whitford (Konsultan) di nomor 0380-840244 atau 0812-3960107, selain itu juga bisa melalui email kupangklubhouse@telkom.net.



Pantai di Kupang, NTT

Tenunan khas Nusa Tenggara Timur dengan mudah dapat diperoleh di berbagai tempat, tapi untuk membeli tenunan dengan harga yang sesuai dengan kualitas yang bagus tidaklah mudah. Akhirnya kami menemukan sebuah toko suvenir yang lengkap dengan kualitas terjaga, Mitra Agung Utama Art Shop, namanya. Harga tenunan yang berkualitas baik berkisar dari Rp. 100.000,- hingga Rp. 1.750.000,-. Toko ini berada di jalan Jend. Soeharto No. 50 Kupang, Nusa Tenggara Timur. Selain menjual suvenir dan tenunan ikat, Mitra Agung Utama Art Shop juga menjual makanan khas NTT. Untuk pemesanan dapat menghubungi 0380-831754.

Di sepanjang pantai banyak pasar ikan yang menjual ikan segar dari laut dengan harga rata-rata Rp. 50.000,- / ikan dan tidak ditimbang. Disekitarnya juga banyak terdapat warung kecil yang bersedia membakar ikan dan sekaligus memberikan bumbu yang sedap dengan tarif Rp. 15.000 / ekor.

Pasar ikan

Alat musik tradisional Sasando diciptakan oleh penduduk pulau Rote pada abad ke 17. Sasando terbuat dari sepotong bambu yang berukuran kira-kira 50cm dan sekelilingnya dipasangi senar. Untuk memberikan gaung, bambu tersebut ditutup dengan daun lontar setengah lingkaran. Sungguh merupakan suatu alat musik tradisional yang patut dibanggakan.

Bernyanyi bersama Masmur Choral

Perjalanan singkat ini memberikan rasa yang membuncah. Indonesia begitu kaya.