Mengapa perusakan situs bekas ibu kota Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, menjadi begitu menyesakkan? Selain karena tindakan itu menunjukkan pengabaian dan penghinaan terhadap sejarah, Situs Trowulan juga memiliki arti yang sangat istimewa secara arkeologis.
Arkeolog senior dari UI, Prof Dr Mundardjito, mengatakan, Situs Trowulan adalah satu-satunya peninggalan purbakala berbentuk kota dari era kerajaan-kerajaan kuno di masa klasik Nusantara, dari abad V sampai XV Masehi.
"Dari kerajaan lain yang tersisa hanya candi-candi atau prasasti," ungkap Mundardjito.
Buruh pembuat bata merah mengolah tanah di lokasi yang bersebelahan dengan Candi Brahu peninggalan zaman Majapahit di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Selasa (30/12). Keberadaan ratusan industri bata merah di Trowulan menjadi salah satu faktor banyaknya sisa bangunan purbakala peninggalan Majapahit yang rusak bahkan hilang karena aktivitas penggalian tanah.
Peninggalan berwujud kota sangat penting karena dengan mengetahui lanskap urban masa lalu kita bisa mempelajari kehidupan masyarakat pada waktu itu secara lengkap. Maka, jika Yunani memiliki Acropolis di Athena, Italia menyimpan reruntuhan Pompeii, Kamboja bangga dengan Angkor, dan Peru masih setia merawat Machu Picchu, Indonesia hanya memiliki Trowulan yang hingga saat ini pun belum tergali sempurna.
Sejak Raffles
Menurut buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan, penelitian ilmiah pertama terhadap Trowulan dilakukan oleh Wardenaar atas perintah Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1815. Hasil penelitian itu kemudian dimasukkan Raffles di bukunya, History of Java.
Sepanjang abad ke-19, penelitian tentang Trowulan dilakukan oleh pihak kolonial Belanda. Tanggal 24 April 1924, Bupati Mojokerto RAA Kromodjojo Adinegoro bekerja sama dengan seorang arsitek dari Belanda, Ir Henry Maclaine Pont, mendirikan komunitas peneliti peninggalan Majapahit bernama Oudheeidkundige Vereeneging Majapahit (OVM). Dua tahun kemudian, mereka merintis berdirinya Museum Trowulan yang pertama.
Tahun 1942, museum tersebut ditutup seiring dengan masuknya Jepang. Pada periode inilah, menurut Mundardjito, banyak hasil penelitian tentang peninggalan Majapahit di Trowulan yang hilang atau terbakar. ”Saya sedang mencoba mengumpulkan catatan penelitian sejak kemerdekaan hingga dari Pelita I sampai sekarang, tetapi sudah susah juga,” tuturnya.
Mundardjito berharap penggalian terhadap Situs Trowulan terus berlanjut sehingga suatu saat nanti seluruh kota itu akan tersingkap dan bisa dinikmati publik, seperti di Acropolis atau Pompeii. ”Selama ini, setelah kami gali dan teliti, situs itu kami tutup plastik dan diuruk tanah lagi supaya tidak rusak. Nanti setelah seluruh kota terungkap dan selesai diteliti, semua situs kami buka kembali dan menata untuk tujuan wisata sejarah,” papar Mundardjito.
Namun, sebelum cita-cita itu terlaksana, situs yang ada pun sudah semakin porak-poranda.... (DHF)
Sumber: Kompas, 5 Januari 2009
No comments :
Post a Comment