Berpolitik Setelah Mapan Berbisnis

TOKOH MUDA INSPIRATIF (4)

Kompas, 31 Oktober 2009

Dewi Indriastuti/Subur Tjahjono


Pramono Anung

Lahir dan tumbuh di tengah keluarga nasionalis, Pramono Anung Wibowo (46) menjalani hidupnya dengan tertata. Hidupnya selalu diisi dengan menentukan pilihan, termasuk saat ia akhirnya memilih bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tahun 1998.

Karier politiknya sebagai ”anak kos”—istilah yang ditujukan kepadanya saat masuk PDI-P karena pendatang baru—di lingkungan partai politik pimpinan Megawati Soekarnoputri saat itu terus melesat. Terakhir, ia bisa menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PDI-P hasil kongres tahun 2005 di Bali.

Perjalanannya masih tetap diisi dengan pilihan. Seperti saat ia meninggalkan kursi eksekutif di perusahaannya yang bergerak di bidang pertambangan dan energi, lalu berkecimpung di dunia politik. Minatnya di bidang politik sudah terbentuk sejak duduk di bangku sekolah dan kuliah di Institut Teknologi Bandung. Kini Pramono Anung duduk di kursi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

Perbincangan Kompas dengan Pramono Anung berlangsung suatu siang di rumahnya yang asri dan berkolam renang di kawasan Jakarta Selatan, Oktober 2009. Perbincangan sempat terputus saat kami berkeliling rumah Pramono, menikmati sejenak ratusan lukisan yang dikoleksinya. Karya-karya pelukis, seperti Le Mayeur, Antonio Blanco, dan Basuki Abdullah, menghiasi dinding ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, ruang kebugaran, dan kamar mandi.

Setelah lulus kuliah, kok bisa sukses di bisnis? Memanfaatkan jaringan?

Tidak. Saya orang yang tidak pernah setengah-setengah. Perusahaan pertama adalah PT Tanito Harum (milik Kiki Barki, pengusaha pertambangan). Saya masih terlibat sampai hari ini. Waktu itu saya masuk sebagai manajer yunior.

Waktu itu ada Profesor Ambyo (Ambyo Mangunwidjaja), dosen pembimbing saya. Waktu itu saya mahasiswa bandel (Pramono memimpin sejumlah aksi unjuk rasa di Jakarta dan Bandung 1986-1987). Prof Ambyo titipkan saya sama Kiki Barki. Jadi, tidak ada proses buat lamaran.

Kalau perusahaan sendiri?

Tahun 1994 saya mendirikan PT Yudhistira Group, bidang pertambangan dan energi. Saya kontraktor PT Aneka Tambang dari tahun 1996 sampai sekarang. Saya bisnis di PT Timah, PT Aneka Tambang, dan PT Pertamina.

Bagaimana menjalankan bisnis sekarang?

Begitu saya jadi politisi, saya tidak pernah duduk di perusahaan saya sebagai eksekutif. Semua saya lepaskan. Profesional.

Dengan terjun ke bisnis lebih dulu, apakah modal sudah cukup untuk terjun ke politik?

Yang paling utama sebetulnya orang di politik itu kredibilitas karena kredibilitas itu yang akan menentukan orang ke depan. Nah, kenapa materi dalam politik juga menjadi penting? Sebab, sistem politik di negara kita itu masih sangat menggoda bagi siapa pun yang ada pada kekuasaan untuk melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Kapan Anda berpikir akan jadi politisi?

Sebenarnya sejak kecil. Keluarga kami pengagum berat Bung Karno. Bapak saya itu dulu, kalau sekarang, seperti Pasukan Pengamanan Presiden. Waktu Mbak Mega masih di Gedung Agung di Yogya, bapak saya termasuk penjaga di situ.

Nah, perdebatan di keluarga itu memengaruhi pola dan pandangan kita waktu kecil. Memang keluarga demokratis terbuka. Bapak saya, kan, PNI (Partai Nasional Indonesia), tapi sebagai guru, kan, sembunyi-sembunyi. Tapi, di rumah itu dibuka dialektika. Saya merasa sejak kecil itu keinginan itu sudah kuat. Kalau ada pemilihan ketua OSIS, saya mencalonkan diri. Ketika terjun ke politik pertama kali di PDI-P, sebenarnya saya tidak kenal secara pribadi dengan Mbak Mega.

Ditawari atau daftar ke PDI-P?

Saya daftar. Saya diajak Heri Akhmadi (sekarang anggota F-PDIP DPR). Sebenarnya instan saja karena saya memang mencari partai politik yang tengah, nasionalis.

Manajemen PDI-P dulu masih tradisional. Sekarang sudah mirip-mirip Golkar. Peranan Anda bagaimana?

Saya termasuk yang membangun sistem. Tentunya kalau tidak dapat dukungan dari Mbak Mega tidak bisa.

Hal yang sederhana, misalnya, tidak pernah ada keputusan partai yang tidak diputuskan dalam rapat partai. Tiap rapat partai sudah punya agenda, materi, itu sudah diatur dalam keputusan terbuka. Semua orang punya hak bersuara, tetapi kata akhir tetap di ketua umum. Tapi, tetap dalam rapat partai, itu sudah jadi tradisi yang kuat dalam PDI-P.

Sekarang tidak ada lagi surat palsu. Kepengurusan rapi, sampai anak ranting terbentuk. Maka, untuk partai yang besar, dalam hal ini kita boleh berbangga, secara administrasi, sistem kepartaian mungkin hanya dua-tiga partai yang cukup rapi.

Regenerasi politik


Lima tahun ke depan ini adalah momentum regenerasi politik. Bagaimana pandangan Anda?

Sebenarnya the battle of the last Mohicans (”perang” antara tokoh politik dianalogikannya dengan suku Indian terakhir di Amerika, Mohican) sudah terjadi tahun 2009 ini. The last Mohicans-nya ada Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Amien Rais, Megawati, Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk Jusuf Kalla. Mereka ini the last Mohicans.

Politik ke depan, tantangan akan berbeda. Masyarakat akan semakin rasional, kemudian juga hal yang dihadapi generasi setelah ini akan berbeda. Apa yang terjadi di DPR saat ini , di mana dipimpin anak-anak muda, saya, Anis Matta (PKS), Priyo Budi Santoso (Partai Golkar), Marzuki Alie (Partai Demokrat), secara historis tidak punya dendam atau friksi apa pun. Beda dengan antara Mbak Mega dengan Pak Harto, ini kan tidak bisa dihindari. Antara Gus Dur dengan Pak Harto, Amien Rais dengan Pak Harto. Ada luka secara pribadi.

Kalau kita melihat sekarang ini, saya melihat ke depan yang bertarung adalah politik rasionalitas. Hal yang dihadapi akan lebih rasional.

Demokrasi yang kita potret 1999 bergeser memasuki 2004. Pada 2009 ke depan, pergeseran akan semakin tajam. Perdebatan Presiden-Wakil Presiden pada tahun 2009 masih bersifat pada seremonial, bukan substansi. Saya melihat lima tahun ke depan, perdebatan pasti akan rasional, misalnya bagaimana persoalan pajak, subsidi bahan bakar minyak, juga pupuk.

Orang tidak lagi bicara tentang tema-tema besar. Orang akan bicara tentang tema yang implementatif, bisa diterapkan secara langsung di masyarakat sehingga memang akhirnya yang akan muncul lebih pada orang-orang yang punya latar belakang aktivis, intelektual, dan pendidik.

Keuntungan yang utama dari demokrasi adalah menyeleksi secara alamiah. Siapa orang yang secara rasional bisa dipegang, bisa dibanggakan, menjadi pemimpin.

Perdebatannya sederhana, mungkin detail. Berapa pajak untuk buku, berapa pajak untuk surat kabar, misalnya, berapa harga beras. Demokrasi sudah mengalami transformasi. Dari sekarang yang transisi demokrasi menjadi lebih dewasa.

Mengapa sekarang ini susah mencari sosok-sosok anak muda yang akan cemerlang dalam lima tahun ke depan?

Pertama, proses rekrutmen dalam partai masih didominasi oleh senior. Kedua, yang namanya regenerasi tidak secara alamiah diberikan, dari ini kepada itu. Kalau proses rekrutmen diberikan kepada anak-anak muda dengan begitu, maka tidak akan menghadapi tempaan sejarah yang kuat.

Saya lihat proses pematangan sebagai pemimpin tidak lagi seperti zaman Pak Harto, Bung Karno, umur 30-40 sudah jadi pemimpin. Umur akan lebih panjang. Itu terjadi juga di Amerika. Faktor Barrack Obama adalah faktor keajaiban. Kalau lihat John McCain yang berusia 73 tahun dan pemimpin lain-lain, ini kan menunjukkan bahwa proses politiknya panjang. Obama menjadi presiden ini adalah kemampuan memanfaatkan komunikasi, dengan facebook, dengan hal tidak dilakukan oleh yang lain. Saya lihat ke depan akan muncul pemimpin-pemimpin usia 40-an, 50-an, secara alamiah.

Siapa calon presiden dari PDI-P tahun 2014?

Menurut saya, akan terjadi proses alami. Sebagaimana kita lihat, seluruh pemimpin yang jadi pemimpin republik ini bukan yang digadang-gadang, disiapkan jauh-jauh hari.

Kemunculan Bung Karno beda dengan yang lain, melalui proses yang lebih panjang karena muncul pada masa revolusi. Pak Harto saat itu bukan yang disiapkan, termasuk munculnya Gus Dur, Mbak Mega, Juga kemunculan Habibie, Yudhoyono, bahkan Boediono.

Bisa disiapkan 5 tahun ini?

Yang menyiapkan publik dan partai. Publik yang akan terima itu. Saya melihat, orang yang mempersiapkan diri jadi pemimpin biasanya malah tidak akan sampai.


***

PRAMONO ANUNG WIBOWO

Tempat/Tanggal Lahir: Kediri, 11 Juni 1963

Pendidikan: SMA 1 Kediri ( 1982), Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (1988), Magister Manajemen Ekonomi Universitas Gadjah Mada (1992)

Pengalaman Kerja:
1. PT Tanito Harum, perusahaan penambangan batu bara di Kaltim (1988-1994). Jabatan terakhir: Direktur Operasi
2. PT Vietmindo Energitama, perusahaan penambangan batu bara di Vietnam (1990-1994). Jabatan terakhir: Direktur Operasi
3. PT Yudhistira Group, lima perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perminyakan, dan pengadaan barang dan jasa. Jabatan sebagai presiden direktur dan komisaris utama.
4. Anggota DPR pada periode 1999-2004 dan 2004-2009. Tahun 2005 mengundurkan diri, berkonsentrasi penuh pada kegiatan DPP PDI-P.
5. Anggota DPR (2009-2014)

Pengalaman Organisasi:
1. Ketua Himpunan Mahasiswa Pertambangan ITB (1985-1986)
2. Ketua Forum Komunikasi Himpunan Jurusan ITB (1986-1987)
3. Ketua Ahli Pertambangan Indonesia (1998-2001)
5. Sekretaris Jenderal DPP PDI-P (2005-sekarang)
6. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (2009-sekarang)

No comments :