Pada peluncuran buku berjudul Widjojo Nitisastro: Panditaning Para Raja, Sabtu (28/5), di Jakarta, Jusuf Kalla dalam sambutannya mengenang kembali ketika ia akan menyusun kabinet untuk bidang ekonomi bersama Presiden Joko Widodo. Ia diminta pendapatnya untuk mencarikan ekonom berpengaruh sekelas Widjojo Nitisastro.
”Dalam diskusi kira-kira satu jam lamanya, tak ada ekonom yang setara almarhum. Kemampuan bisa saja ada yang sama, tetapi dalam hal kepemimpinan dan relasi sulit ditemukan yang setara. Hal yang sama diajukan Pak SBY saat kami akan menyusun menteri bidang ekonomi,” ucap Kalla.
Prof Dr Widjojo Nitisastro dikenal sebagai arsitek utama perekonomian Orde Baru. Pada usianya yang relatif sangat muda, 39 tahun, ia telah dipercaya sebagai Ketua Tim Penasehat Ekonomi Presiden (1966). Kemudian beberapa kali ia duduk sebagai Menteri Kabinet pada bidang Ekonomi. Tahun 1971-1973 ia menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Kemudian secara berturut-turut dari tahun 1973 sampai dengan 1983 ia dipercaya menjadi Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas. Saat memimpin Bappenas, ia membuat perencanaan ekonomi secara makro, maka lahirlah Rencana Pembangunan Lima Tahun alias Repelita. Peranannya yang sangat kuat membuat kebijakan ekonomi saat itu kental dengan sebutan "Widjojonomics".
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada dekade 1980-an dan 1990-an yang rata-rata melaju 8 persen per tahun dinilai sebagai hasil dari Widjojonomics. Bank Dunia pun menyebut Indonesia sebagai "One of the Asian Miracles".
Sosok yang tak menyukai tepuk tangan, tapi selalu bekerja keras di balik panggung
Peluncuran buku yang ditulis putri almarhum Widjojo, yakni Widjajalaksmi Kusumaningsih, tersebut dihadiri sejumlah pejabat dan ekonom, seperti mantan Wakil Presiden Boediono, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan A Djalil, dan sejumlah sahabat Widjojo, yakni Emil Salim (Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup 1983-1993) dan Subroto (Menteri Pertambangan dan Energi 1978-1988).
Menurut Boediono, Widjojo memiliki kemampuan melihat masalah dengan jernih sampai ke akarnya. Pengetahuannya yang luas, tidak hanya soal teknis, tetapi juga dalam hal kepemimpinan, melahirkan kebijakan yang matang dan lengkap di bidang ekonomi.
”Kehebatan almarhum lainnya adalah soal kepemimpinan dan relasi yang luas dan baik. Berkat kemampuannya itu, Indonesia mendapat pinjaman lunak bertahun-tahun dari negara donor,” kata Anwar.
Sementara itu, mantan Menteri Keuangan M Chatib Basri menilai, sosok Widjojo ibarat jam tangan Swiss yang bermutu dengan tingkat akurasi tinggi. Ia mengenal Widjojo sebagai pribadi yang sangat ketat dalam detail dan tak menyukai popularitas. Ia mengibaratkan Widjojo sebagai sosok yang tak menyukai tepuk tangan, tetapi selalu bekerja keras di balik panggung.
Gagasan-gagasannya di bidang ekonomi yang memiliki dampak besar terhadap perekonomian Indonesia membuat banyak kalangan menyebutnya sebagai primus interpares, yang pertama di antara yang pertama, the first among the firsts.
~ o 0 o ~
Sumber:
Kompas (29/5/2016): Indonesia Butuh Teladan Widjojo
TokohIndonesia.com: Arsitek Ekonomi Orba yang Masih Cemerlang
Sumber gambar: Wikipedia
Prenjak dan Puisi Sebatang Korek Api
Post by
DSP
Oleh PUTU FAJAR ARCANA, Kompas, 28/5/2016
Ketika Diah mengguyur tubuh anaknya cerita berhenti. Ada pesan yang diam-diam berubah jadi perih. Seluruh penonton di Espace Miramar, Cannes, memberi tepuk tangan. Kisah 12 menit itu seperti baris-baris puisi pendek, namun membeber imajinasi sampai ke tanah Jawa.
Pada Minggu (15/5) pukul 14.15 waktu Perancis, film bertajuk Prenjak (In the Year of Monkey), besutan sutradara muda Wregas Bhanuteja, diputar untuk pertama kalinya bagi publik dunia. Itu jadi pertanda Prenjak mengawali langkah untuk berkompetisi dengan sembilan film lain dari Perancis, Brasil, Kanada, Portugal, Yunani, dan Hongaria, dalam kategori Semaine de la Critique rangkaian Film Festival Cannes. Perlu dicatat sebelum berkompetisi Prenjak harus bersaing dengan lebih dari 1.500 film dari seluruh dunia. Dan selama berkompetisi dalam festival bergengsi kelas dunia, film ini diputar sebanyak tiga kali dengan penonton yang tak pernah sepi.
Lalu Kamis (19/5) malam Jury President of the 55th Semaine de la Critique Valerie Donzelli mengumumkan Prenjak sebagai peraih Leica Cine Discovery Prize, satu penghargaan tertinggi untuk film pendek. Wregas memperoleh hadiah 4.000 euro serta berkesempatan mengikuti workshop Next Step Academy bulan Desember 2016 di Paris.
Prenjak bermula dari keterjepitan hidup Diah (Rosa Winenggar) sebagai ibu tunggal di Yogyakarta tahun 1980-an. Sebagai buruh ia seolah mati langkah untuk melunasi utang kamar kontrakannya. Suatu siang, di saat istirahat ia menarik teman kerjanya, Jarwo (Yohanes Budyambara), ke sebuah gudang. Diah bercerita bahwa ia sedang benar-benar membutuhkan uang dan tidak tahu lagi cara memperolehnya. Oleh sebab itu, ia ingin menjual batang-batang korek api.
"Ini sebatang harganya Rp 10.000," katanya dalam bahasa Jawa.
"Mahal benar!" ketus Jarwo.
Diah menjelaskan, dengan batang-batang korek api itu, Jarwo bisa melihat bagian paling intim dari dirinya di bawah kolong meja. "Tetapi jangan macam-macam, hanya bisa melihat," tegas Diah.
Sebatang korek api yang dinyalakan di bawah kolong meja ibarat pertaruhan hidup yang mengoyak-moyak hati Diah. Ketika api perlahan membakar lidi kayu, sampai semenit kemudian saat kayu berubah hitam, adalah saat paling kelam dalam pengalaman hidup perempuan Jawa ini. Hidup tak banyak memberi pilihan. Pada saat-saat paling kritis, walau harus merogoh rasa malu, Diah tetap mencoba mempertahankan harga diri. "Tubuh menjadi obyek untuk dieksploitasi tanpa kehilangan rasa malu," kata Wregas.
Alur film ini menjadi menggelikan dan bahkan bengal ketika Jarwo berbalik meminta Diah untuk melihat kemaluannya dengan imbalan Rp 100.000. Syaratnya, Diah harus menyalakan korek gas di bawah kolong meja. Sampai di sini, penonton di Espace Miramar, Cannes, Perancis, berdengung. Mungkin mereka berpikir adegan berikut akan sangat tidak adil bagi Diah.
Dengan lihai Wregas menunjukkan nyala korek gas di bawah kolong meja dengan mata Diah yang terpejam. Ia menahan keingintahuan penonton sampai pada batas tertentu. Lalu, pada detik yang tepat, gambar kemudian menunjukkan sebuah pemandangan yang seharusnya tidak mengejutkan bagi publik: sebatang kelamin!
Cerita pedagang
Tahun 1980-an di sebuah tempat di Yogyakarta beberapa pedagang kecil melakukan permainan korek api untuk menambah penghasilannya. "Teman saya bercerita bahwa itu pernah terjadi di Yogya walau kini sudah tidak ada lagi," kata Wregas seusai pemutaran Prenjak di Cannes.
Berdasarkan cerita itulah ia kemudian mengembangkan ide tentang balada seorang ibu tunggal yang harus berjuang mempertahankan hidup. Diah melakukan tindakan ekstrem walau tidak menodai. Tindakannya memberi kesempatan Jarwo melihat bagian intim dari dirinya itu semata-mata hanyalah siasat hidup.
Prenjak kemudian hadir sebagai bahasa pengantar bagi publik, bahwa di belahan Jawa yang berjarak 15 jam penerbangan dari Cannes, terdapat para perempuan yang berjuang mempertahankan hidup dengan cara yang tak lazim. Dalam tayangan gambar yang naratif, bahkan sangat biasa, Wregas tak kehilangan unsur-unsur puitik dalam membangun alur dan pesan. Kisah sederhana yang dinukilkan dalam 12 menit itu pun lantas hadir menjadi satu narasi besar tentang pengorbanan perempuan. Pada ujungnya, kemiskinan menjadi biang segalanya, karena ia menciptakan keterjepitan dan keterpaksaan. Dan itu bisa terjadi di mana pun di dunia.
Begitulah Prenjak mengejutkan publik film dunia. Sebagai sebuah puisi, film ini menyimpan bara luka di setiap hati para penontonnya. Ada tawa memang, tetapi itu perlahan-lahan berubah menjadi kegetiran yang menyiksa. Ada senyum juga, tetapi dalam secepat kilat berubah menjadi empati. Bahwa di belahan dunia ini banyak perempuan mengalami nasib serupa: berjuang seorang diri. Bahkan bukan bagi dirinya sendiri, tetapi demi kehormatan mempertahankan rasa kemanusiaannya yang terkoyak-koyak hidup yang makin ganas.
Ketika Diah mengguyur tubuh anaknya cerita berhenti. Ada pesan yang diam-diam berubah jadi perih. Seluruh penonton di Espace Miramar, Cannes, memberi tepuk tangan. Kisah 12 menit itu seperti baris-baris puisi pendek, namun membeber imajinasi sampai ke tanah Jawa.
ARSIP STUDIO BATU |
Pada Minggu (15/5) pukul 14.15 waktu Perancis, film bertajuk Prenjak (In the Year of Monkey), besutan sutradara muda Wregas Bhanuteja, diputar untuk pertama kalinya bagi publik dunia. Itu jadi pertanda Prenjak mengawali langkah untuk berkompetisi dengan sembilan film lain dari Perancis, Brasil, Kanada, Portugal, Yunani, dan Hongaria, dalam kategori Semaine de la Critique rangkaian Film Festival Cannes. Perlu dicatat sebelum berkompetisi Prenjak harus bersaing dengan lebih dari 1.500 film dari seluruh dunia. Dan selama berkompetisi dalam festival bergengsi kelas dunia, film ini diputar sebanyak tiga kali dengan penonton yang tak pernah sepi.
Lalu Kamis (19/5) malam Jury President of the 55th Semaine de la Critique Valerie Donzelli mengumumkan Prenjak sebagai peraih Leica Cine Discovery Prize, satu penghargaan tertinggi untuk film pendek. Wregas memperoleh hadiah 4.000 euro serta berkesempatan mengikuti workshop Next Step Academy bulan Desember 2016 di Paris.
Prenjak bermula dari keterjepitan hidup Diah (Rosa Winenggar) sebagai ibu tunggal di Yogyakarta tahun 1980-an. Sebagai buruh ia seolah mati langkah untuk melunasi utang kamar kontrakannya. Suatu siang, di saat istirahat ia menarik teman kerjanya, Jarwo (Yohanes Budyambara), ke sebuah gudang. Diah bercerita bahwa ia sedang benar-benar membutuhkan uang dan tidak tahu lagi cara memperolehnya. Oleh sebab itu, ia ingin menjual batang-batang korek api.
"Ini sebatang harganya Rp 10.000," katanya dalam bahasa Jawa.
"Mahal benar!" ketus Jarwo.
Diah menjelaskan, dengan batang-batang korek api itu, Jarwo bisa melihat bagian paling intim dari dirinya di bawah kolong meja. "Tetapi jangan macam-macam, hanya bisa melihat," tegas Diah.
Sebatang korek api yang dinyalakan di bawah kolong meja ibarat pertaruhan hidup yang mengoyak-moyak hati Diah. Ketika api perlahan membakar lidi kayu, sampai semenit kemudian saat kayu berubah hitam, adalah saat paling kelam dalam pengalaman hidup perempuan Jawa ini. Hidup tak banyak memberi pilihan. Pada saat-saat paling kritis, walau harus merogoh rasa malu, Diah tetap mencoba mempertahankan harga diri. "Tubuh menjadi obyek untuk dieksploitasi tanpa kehilangan rasa malu," kata Wregas.
Alur film ini menjadi menggelikan dan bahkan bengal ketika Jarwo berbalik meminta Diah untuk melihat kemaluannya dengan imbalan Rp 100.000. Syaratnya, Diah harus menyalakan korek gas di bawah kolong meja. Sampai di sini, penonton di Espace Miramar, Cannes, Perancis, berdengung. Mungkin mereka berpikir adegan berikut akan sangat tidak adil bagi Diah.
Dengan lihai Wregas menunjukkan nyala korek gas di bawah kolong meja dengan mata Diah yang terpejam. Ia menahan keingintahuan penonton sampai pada batas tertentu. Lalu, pada detik yang tepat, gambar kemudian menunjukkan sebuah pemandangan yang seharusnya tidak mengejutkan bagi publik: sebatang kelamin!
Cerita pedagang
Tahun 1980-an di sebuah tempat di Yogyakarta beberapa pedagang kecil melakukan permainan korek api untuk menambah penghasilannya. "Teman saya bercerita bahwa itu pernah terjadi di Yogya walau kini sudah tidak ada lagi," kata Wregas seusai pemutaran Prenjak di Cannes.
Berdasarkan cerita itulah ia kemudian mengembangkan ide tentang balada seorang ibu tunggal yang harus berjuang mempertahankan hidup. Diah melakukan tindakan ekstrem walau tidak menodai. Tindakannya memberi kesempatan Jarwo melihat bagian intim dari dirinya itu semata-mata hanyalah siasat hidup.
Prenjak kemudian hadir sebagai bahasa pengantar bagi publik, bahwa di belahan Jawa yang berjarak 15 jam penerbangan dari Cannes, terdapat para perempuan yang berjuang mempertahankan hidup dengan cara yang tak lazim. Dalam tayangan gambar yang naratif, bahkan sangat biasa, Wregas tak kehilangan unsur-unsur puitik dalam membangun alur dan pesan. Kisah sederhana yang dinukilkan dalam 12 menit itu pun lantas hadir menjadi satu narasi besar tentang pengorbanan perempuan. Pada ujungnya, kemiskinan menjadi biang segalanya, karena ia menciptakan keterjepitan dan keterpaksaan. Dan itu bisa terjadi di mana pun di dunia.
Begitulah Prenjak mengejutkan publik film dunia. Sebagai sebuah puisi, film ini menyimpan bara luka di setiap hati para penontonnya. Ada tawa memang, tetapi itu perlahan-lahan berubah menjadi kegetiran yang menyiksa. Ada senyum juga, tetapi dalam secepat kilat berubah menjadi empati. Bahwa di belahan dunia ini banyak perempuan mengalami nasib serupa: berjuang seorang diri. Bahkan bukan bagi dirinya sendiri, tetapi demi kehormatan mempertahankan rasa kemanusiaannya yang terkoyak-koyak hidup yang makin ganas.
Musik adalah Sebenar-benarnya Joey Alexander
Post by
DSP
Oleh HERLAMBANG JALUARDI, Kompas.com (23/5/2016)
Dua tahun jadi "anak rantau" di New York, Amerika Serikat, dengan prestasi jempolan, pianis Joey Alexander (12) pulang kampung.
Dia disambut meriah. Sekitar 2.000 penonton berdiri, termasuk Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, ketika melangkah naik ke panggung di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Minggu (22/5/2016) malam. Pertunjukan bertajuk "Joey Alexander Live in Concert" itu dimulai pukul 20.30 dengan dipandu presenter televisi Najwa Shihab. Kepada Najwa, Joey berujar, mudik ini seperti berlibur.
"Jadi musisi sih enggak pernah seperti kerja," kata Joey, yang memakai jas, celana agak ketat, dan rambut tebal yang nyaris menutupi telinganya.
Joey membuka konser dengan nomor nominasi Grammy, "Giant Step", dicuplik dari album perdananya, My Favorite Things. Dia memberi aba-aba kepada Jeff "Tain" Watts, pemain drum di seberangnya untuk mulai duluan. Perlahan, jemari Joey menari di atas tuts piano gran Steinwey & Sons. Joey memainkan dinamika yang asyik dari nomor standar jazz itu.
Pandangan mata Jeff, pemain drum peraih enam Grammy itu, mengarah tajam kepada Joey, dan sesekali tersenyum. Sementara Joey sampai berdiri ketika tempo meningkat dan nadanya makin tinggi. Penonton bertepuk tangan. Keseruan itu muncul lagi di lagu gubahan Joey sendiri, "City Lights", yang menurut rencana muncul di album kedua kelak.
Ia pernah memainkan 90 detik lagu itu di panggung Grammy Awards di Los Angeles, California, AS, Februari silam. Namun, kali ini dia menampilkannya dalam bentuk utuh, sekitar 10 menit. Sebelum membawakan "City Lights", Joey main sendiri sepanjang lagu balada, "Over The Rainbow". Jeff dan pemain kontrabas Dan Chmielinski ngaso sejenak, tetapi tetap menyimak. Sebelum pentas, Jeff berujar, Joey bisa memainkan irama balada dengan amat baik.
"Memang banyak pemusik muda berbakat yang bisa memainkan berbagai macam gaya, bermain cepat, dengan keahlian teknis yang mumpuni. Joey melengkapinya ketika main balada. Joey menunjukkan bahwa dirinya bermain dengan hati, dengan perasaan," papar Jeff.
Paruh pertama pertunjukan, yang berisi empat lagu, Joey sudah menunjukkan dirinya. Dia menguasai teknis, sekaligus memperlakukan pianonya dengan penuh perasaan. Tapi, dia juga bisa main jenaka, seperti ketika memainkan "Kicir-kicir" bareng Dira Sugandhi dan Barry Likumahuwa, memenuhi permintaan Gubernur Basuki.
Dari menyimak
Tiga hari sebelum konser, Joey menonton workshop teknik drum oleh Jeff. Dia sedang senang main drum. Joey tampak konsentrasi. Ibunya, Fara Urbach, yang duduk di sampingnya, tak banyak ia ajak ngobrol. Kacamata bingkai transparan harus dibetulkan posisinya beberapa kali karena kepalanya bergoyang mengikuti pukulan Jeff. Begitulah respons Joey pada musik yang ia dengar: menyimak dengan sungguh-sungguh.
Respons semacam itu yang terjadi ketika masih kanak-kanak saat ayahnya, Denny Sila, memutar lagu-lagu standar jazz Duke Ellington, Thelonious Monk, dan John Coltrane. Dari mendengar, Joey bisa memainkan "Well, You Shouldn't" dari Thelonious Monk dengan piano. Denny, waktu itu pebisnis pariwisata di Bali dan musisi amatir, makin sering memperdengarkan rekaman jazz terutama yang bercorak swing. Denny juga mengajak Joey jam session dengan musisi di Bali untuk mengasah tekniknya.
"Di Bali waktu itu sering jamming bareng Rio Sidik dan Bonnie. Bonnie yang main piano sering membagi ilmunya ke Joey. Kalau di Jakarta, Benny Likumahuwa sering ajak Joey kalau dia ada undangan main. Indra Lesmana kasih kesempatan untuk jamming di kafenya dulu," kata Denny.
Menurut Denny, Joey pertama kali naik panggung ketika berumur tujuh tahun, bukan main piano, tetapi menyanyi lagu "Amazing Grace". Joey pernah kursus vokal di sekolah Purwa Caraka di Bali.
"Setelah kenal piano, dia enggak mau nyanyi lagi," lanjut Denny, yang menjual rumahnya di Batu Bulan untuk pindah ke New York.
Di kota "Big Apple" itu, Joey menemukan jalan. Wynton Marsalis, peniup terompet, yang menjadi Direktur Artistik untuk Jazz di Lincoln Center, memanggungkan Joey di sana. Maka, dimulailah petualangan bocah itu bertemu dan berbagi wawasan dengan tokoh-tokoh Jazz dunia. Salah satunya adalah pemain terompet Wayne Shorter, yang tampil bersama di hadapan Barrack Obama di Gedung Putih akhir April lalu. Joey juga berbagi bus dengan Chick Corea, salah satu panutannya.
"Mereka memberikan dorongan untuk terus bermain, dan juga menjadi diriku sendiri," kata Joey. Berada di lingkungan musik di New York, bergaul dengan musisi, Joey makin mengenali dirinya sendiri.
Latihan dan menonton
Joey masih berlatih selama dua sampai tiga jam setiap hari. Sebelum latihan, ia mendengar banyak referensi musik untuk penambah semangat.
"Di sela-sela latihan, aku juga membuat komposisi lagu," katanya. Jika tidak latihan, Joey menikmati waktunya menonton film atau main game. Sesekali dia memutar musik lewat Youtube. Kata ayahnya, Joey mendengar macam-macam musik, selain standar jazz. Ia mengonsumi James Brown hingga John Mayer, tapi tidak Justin Bieber. Di New York, Joey tidak ikut sekolah publik, tetapi sekolah di rumah.
Selain bergaul dengan musisi, Joey punya teman sebaya di klub tenis dan renang yang ia ikuti. Seminggu sekali, kalau sempat, keluarga Joey pergi ke bioskop. Kalau tidak, ya, menonton film lewat layanan Netflix. Kegemilangan Joey yang diraih saat ini, disebutkan ibundanya, Fara Urbach, bukan faktor keberuntungan, melainkan karena bakat yang diasah dengan baik. Joey, yang bulan depan berumur 13 tahun, mensyukuri apa yang ia peroleh hari ini. Ia sudah tahu apa yang bakal ia capai di masa mendatang.
"Music is the actual me. Aku tidak tahu bakal jadi apa kalau tanpa musik," kata Joey. Kepulangan bocah berprestasi itu menyuntikkan kegembiraan di tengah berbagai masalah yang merundung negeri ini. Joey adalah pertanda bahwa kita mampu unjuk prestasi di dunia.
(Herlambang Jaluardi)
Dua tahun jadi "anak rantau" di New York, Amerika Serikat, dengan prestasi jempolan, pianis Joey Alexander (12) pulang kampung.
Dia disambut meriah. Sekitar 2.000 penonton berdiri, termasuk Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, ketika melangkah naik ke panggung di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Minggu (22/5/2016) malam. Pertunjukan bertajuk "Joey Alexander Live in Concert" itu dimulai pukul 20.30 dengan dipandu presenter televisi Najwa Shihab. Kepada Najwa, Joey berujar, mudik ini seperti berlibur.
"Jadi musisi sih enggak pernah seperti kerja," kata Joey, yang memakai jas, celana agak ketat, dan rambut tebal yang nyaris menutupi telinganya.
DSP, Joey Alexander dan Najwa Shihab |
Joey membuka konser dengan nomor nominasi Grammy, "Giant Step", dicuplik dari album perdananya, My Favorite Things. Dia memberi aba-aba kepada Jeff "Tain" Watts, pemain drum di seberangnya untuk mulai duluan. Perlahan, jemari Joey menari di atas tuts piano gran Steinwey & Sons. Joey memainkan dinamika yang asyik dari nomor standar jazz itu.
Pandangan mata Jeff, pemain drum peraih enam Grammy itu, mengarah tajam kepada Joey, dan sesekali tersenyum. Sementara Joey sampai berdiri ketika tempo meningkat dan nadanya makin tinggi. Penonton bertepuk tangan. Keseruan itu muncul lagi di lagu gubahan Joey sendiri, "City Lights", yang menurut rencana muncul di album kedua kelak.
Ia pernah memainkan 90 detik lagu itu di panggung Grammy Awards di Los Angeles, California, AS, Februari silam. Namun, kali ini dia menampilkannya dalam bentuk utuh, sekitar 10 menit. Sebelum membawakan "City Lights", Joey main sendiri sepanjang lagu balada, "Over The Rainbow". Jeff dan pemain kontrabas Dan Chmielinski ngaso sejenak, tetapi tetap menyimak. Sebelum pentas, Jeff berujar, Joey bisa memainkan irama balada dengan amat baik.
"Memang banyak pemusik muda berbakat yang bisa memainkan berbagai macam gaya, bermain cepat, dengan keahlian teknis yang mumpuni. Joey melengkapinya ketika main balada. Joey menunjukkan bahwa dirinya bermain dengan hati, dengan perasaan," papar Jeff.
Paruh pertama pertunjukan, yang berisi empat lagu, Joey sudah menunjukkan dirinya. Dia menguasai teknis, sekaligus memperlakukan pianonya dengan penuh perasaan. Tapi, dia juga bisa main jenaka, seperti ketika memainkan "Kicir-kicir" bareng Dira Sugandhi dan Barry Likumahuwa, memenuhi permintaan Gubernur Basuki.
Dari menyimak
Tiga hari sebelum konser, Joey menonton workshop teknik drum oleh Jeff. Dia sedang senang main drum. Joey tampak konsentrasi. Ibunya, Fara Urbach, yang duduk di sampingnya, tak banyak ia ajak ngobrol. Kacamata bingkai transparan harus dibetulkan posisinya beberapa kali karena kepalanya bergoyang mengikuti pukulan Jeff. Begitulah respons Joey pada musik yang ia dengar: menyimak dengan sungguh-sungguh.
Respons semacam itu yang terjadi ketika masih kanak-kanak saat ayahnya, Denny Sila, memutar lagu-lagu standar jazz Duke Ellington, Thelonious Monk, dan John Coltrane. Dari mendengar, Joey bisa memainkan "Well, You Shouldn't" dari Thelonious Monk dengan piano. Denny, waktu itu pebisnis pariwisata di Bali dan musisi amatir, makin sering memperdengarkan rekaman jazz terutama yang bercorak swing. Denny juga mengajak Joey jam session dengan musisi di Bali untuk mengasah tekniknya.
"Di Bali waktu itu sering jamming bareng Rio Sidik dan Bonnie. Bonnie yang main piano sering membagi ilmunya ke Joey. Kalau di Jakarta, Benny Likumahuwa sering ajak Joey kalau dia ada undangan main. Indra Lesmana kasih kesempatan untuk jamming di kafenya dulu," kata Denny.
Menurut Denny, Joey pertama kali naik panggung ketika berumur tujuh tahun, bukan main piano, tetapi menyanyi lagu "Amazing Grace". Joey pernah kursus vokal di sekolah Purwa Caraka di Bali.
"Setelah kenal piano, dia enggak mau nyanyi lagi," lanjut Denny, yang menjual rumahnya di Batu Bulan untuk pindah ke New York.
Di kota "Big Apple" itu, Joey menemukan jalan. Wynton Marsalis, peniup terompet, yang menjadi Direktur Artistik untuk Jazz di Lincoln Center, memanggungkan Joey di sana. Maka, dimulailah petualangan bocah itu bertemu dan berbagi wawasan dengan tokoh-tokoh Jazz dunia. Salah satunya adalah pemain terompet Wayne Shorter, yang tampil bersama di hadapan Barrack Obama di Gedung Putih akhir April lalu. Joey juga berbagi bus dengan Chick Corea, salah satu panutannya.
"Mereka memberikan dorongan untuk terus bermain, dan juga menjadi diriku sendiri," kata Joey. Berada di lingkungan musik di New York, bergaul dengan musisi, Joey makin mengenali dirinya sendiri.
KOMPAS.com/ANDI MUTTYA KETENG |
Latihan dan menonton
Joey masih berlatih selama dua sampai tiga jam setiap hari. Sebelum latihan, ia mendengar banyak referensi musik untuk penambah semangat.
"Di sela-sela latihan, aku juga membuat komposisi lagu," katanya. Jika tidak latihan, Joey menikmati waktunya menonton film atau main game. Sesekali dia memutar musik lewat Youtube. Kata ayahnya, Joey mendengar macam-macam musik, selain standar jazz. Ia mengonsumi James Brown hingga John Mayer, tapi tidak Justin Bieber. Di New York, Joey tidak ikut sekolah publik, tetapi sekolah di rumah.
Selain bergaul dengan musisi, Joey punya teman sebaya di klub tenis dan renang yang ia ikuti. Seminggu sekali, kalau sempat, keluarga Joey pergi ke bioskop. Kalau tidak, ya, menonton film lewat layanan Netflix. Kegemilangan Joey yang diraih saat ini, disebutkan ibundanya, Fara Urbach, bukan faktor keberuntungan, melainkan karena bakat yang diasah dengan baik. Joey, yang bulan depan berumur 13 tahun, mensyukuri apa yang ia peroleh hari ini. Ia sudah tahu apa yang bakal ia capai di masa mendatang.
"Music is the actual me. Aku tidak tahu bakal jadi apa kalau tanpa musik," kata Joey. Kepulangan bocah berprestasi itu menyuntikkan kegembiraan di tengah berbagai masalah yang merundung negeri ini. Joey adalah pertanda bahwa kita mampu unjuk prestasi di dunia.
(Herlambang Jaluardi)
Puti Guntur Soekarno: Jangan Jadi Nila Setitik
Post by
DSP
Puti Pramathana Puspa Seruni Paundrianagari Guntur Soekarno Putri, nama lengkapnya, disebut-sebut sebagai “trah tersembunyi” Bung Karno. Saya mengenal Ibunya, Henny Harsa, secara pribadi, ia adalah tetangga kami dan teman sekelas ketika bersekolah di SMP Negeri 2 Bandung.
Puti menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia untuk kemudian terjun ke dunia politik. Kini menjabat sebagai anggota DPR RI Komisi X Bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Bagi saya, Puti adalah anggota parlemen yang ideal. Hanya tiga kata: cantik, pintar dan lurus.
--DSP
KOMPAS/RADITYA HELABUMI |
Putri Guntur Soekarno: Jangan Jadi Nila Setitik
Sumber: Kompas, 16/5/2016
Saat berita kunjungan kerja fiktif anggota DPR marak, Puti Guntur Soekarno (45), cucu pertama mendiang Proklamator Ir Soekarno, tengah berada di antara nelayan dan petani gula kelapa di Pangandaran, Jawa Barat. Sebagai anggota DPR Komisi X Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga, dia memanfaatkan waktu reses untuk menemui konstituen di daerah pemilihannya.
Apa tanggapan legislator itu soal berita kunjungan fiktif tersebut? "Soal berita itu, jangan sampai ada nila setitik rusak susu sebelanga. Sebab, banyak anggota DPR yang jujur, berkomitmen, dan berintegritas. Secara kelembagaan, citra buruk harus disikapi dengan peningkatan kualitas DPR," tutur anak tunggal Guntur Soekarnoputra-Henny Soekarno, saat dihubungi Kompas, Jumat (13/5) pekan lalu.
Puti lantas bercerita soal Pangandaraan. Bagi istri Joy Kameron itu, kawasan itu tak cuma menyimpan keindahan pantai dan laut, tetapi juga kekayaan sumber daya alam, seperti perikanan dan buah kelapa-yang dijadikan gula kelapa oleh petani dan usaha kecil menengah. "Saya juga membina dan berdayakan komunitas Puspa Seruni untuk padi, serta menggali potensi dan kekayaan alam lainnya di Pangandaran," tambahnya.
Sambil mengurus legislasi, Puti juga bercerita soal kegiatannya menyiapkan seminar di Kokushikan University, Tokyo, Jepang, November mendatang. "Temanya tentang Soekarno dan Pancasila. Doakan, ya, agar Puti bisa menjalankan amanah sebagai anggota DPR yang baik dan menjaga warisan almarhum Eyang Karno sambil kita bisa berbuat hal sederhana dan membuat nilai Pancasila lebih terasa. Itulah yang saya dapatkan di desa-desa," tutur Puti. Amin.... (HAR)
Nusantara, Rumah Kopi Terbaik Dunia
Post by
DSP
"Dear Indonesia, thank you for your coffee," ujar Presiden Direktur Royal Coffee AS Bob Fulmer pada acara pembukaan Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo ke-28 di Atlanta, Georgia, AS, 14-17 April 2016. Ajang ini menjadi pembuktian betapa Indonesia mendapat tempat khusus di antara pelaku industri kopi spesial dunia. Terlebih dalam ajang tahunan ini Indonesia terpilih menjadi portrait country.
Portrait country merupakan penghargaan dari SCAA yang merupakan asosiasi kopi spesial terbesar dunia kepada negara penghasil kopi-kopi terbaik. Dengan menjadi portrait country, sebuah negara mendapat panggung dan perhatian khusus dalam ajang yang menjadi barometer industri kopi spesial itu.
Serba Indonesia di Pameran Kopi Dunia
Atmosfer Indonesia amat terasa dalam pesta penyambutan SCAA yang digelar di halaman gedung. Ditampilkan kesenian musik angklung oleh kelompok House of Angklung yang personelnya terdiri atas warga negara Indonesia di Washington DC. Selain itu, disuguhkan pula atraksi tari tifa dan kostum barongan ala karnaval Jember, Jawa Timur. Pada puncak acara, para peserta dari Indonesia dan negara lain larut menari bersama mengikuti irama rancak musik Flores, Nusa Tenggara Timur.
Pada perhelatan SCAA ini, Indonesia memamerkan 17 jenis kopi spesial yang telah diuji oleh Caswell's Coffee, satu-satunya laboratorium kopi di Indonesia yang bersertifikat standar SCAA. Kopi-kopi itu dihasilkan dari lima pulau di Indonesia: Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, dan Flores.
Ketujuh belas kopi spesial tersebut antara lain jenis gunung puntang, mekar wangi, manggarai, malabar honey, atu lintang, toraja sapan, bluemoon organic, gayo organic, java cibeber, kopi catur washed, dan west java pasundan honey. Selain itu, ada juga arabica toraja, flores golewa, redelong, preanger weninggalih, flores ende, dan java temanggung.
Tidak hanya menggelar pameran, Indonesia juga mengirimkan wakilnya untuk memberikan sesi kuliah umum di beberapa bidang. Resianri Triane, Training dan Wholesale Manager Anomali Coffee, dalam paparannya menyampaikan, kopi-kopi dari Indonesia memiliki cita rasa rempah dan beraroma lebih kuat karena tumbuh di tanah vulkanik yang memiliki konsentrasi zat hara tinggi.
Adapun Leo Purba, petani kopi dari Simalungun, Sumatera Utara, memberi paparan soal rantai perdagangan dan proses penggilingan tradisional. "Dunia harus tahu bagaimana kopi terbaik diproduksi dari tetesan keringat petani," ucapnya.
Kopi Spesial
Para penggemar tampaknya kopi tak keberatan untuk merogoh kocek demi menyeruput segelas kopi spesial yang memang harganya lebih tinggi daripada kopi biasa. Apa yang membedakan kopi spesial dengan kopi lain? Adalah Erna Knutsen (95), pendiri Knutsen's Coffee dan perintis Specialty Coffee Association of America (SCAA), yang pertama kali mencetuskan terminologi kopi spesial.
Istilah ini dipakainya pada 1978 dalam Tea and Coffee Trade Journal. Knutsen menggunakan istilah specialty coffee untuk merujuk pada keunikan rasa biji kopi yang diproduksi pada iklim dan wilayah tertentu.
Ketua Asosiasi Kopi Spesial Indonesia Syafrudin menuturkan, kopi spesial diolah dengan cara khusus, mulai dari pengolahan perkebunan hingga menjadi biji mentah. Salah satu metode paling sederhana yang mengawali proses produksinya adalah sistem petik merah.
"Petik merah adalah metode pemetikan buah kopi dari pohon dengan cara dipetik satu per satu, hanya dipilih yang sudah matang atau berwarna merah," ujarnya.
Kopi spesial juga umumnya merujuk pada jenis arabika yang hanya bisa tumbuh di ketinggian lebih dari 1.200 meter. Kopi-kopi jenis ini biasanya hidup di alam sejuk dataran tinggi sehingga tanahnya lebih subur.
Leo Purba, petani kopi arabika di Simalungun, Sumatera Utara, menuturkan, harga kopi spesial di pasar dunia sangat tinggi. Dia mencontohkan, kopi bubuk dari perkebunannya dihargai paling tidak Rp 500.000 per kilogram. Untuk petani, harga kopi petik merah bisa mencapai Rp 23.000 per kilogram, lebih mahal dari harga petik campur sekitar Rp 22.000 per kilogram.
"Penikmat kopi spesial peduli tentang bagaimana kopi terbaik dihasilkan. Mereka menghargai kesulitan petani merawat tanaman kopi. Mereka menilai jasa para pemanggang hingga barista seperti layaknya seni, bukan sekadar hasil bumi," tutur Leo.
Kopi Rempah Saqinano
Dilatarbelakangi usaha perkopian turun-temurun oleh keluarga, tetapi bagai jalan di tempat, ditambah dengan kehadiran produk kopi jethak yang cukup populer di Kabupaten Kudus, Nono Anik Sulastri berniat memproduksi kopi yang berbeda dan digemari masyarakat lebih luas.
Nono memiliki pengetahuan lumayan luas tentang jenis, khasiat, serta kandungan kopi dan rempah-rempah di Indonesia. Tercatat ada sekitar 20 jenis rempah-rempah. Jenis kopi yang banyak dibudidayakan ialah kopi arabika, robusta, liberika, dan excelsa. Tujuh puluh persen jenis kopi yang beredar di pasar dunia ialah kopi arabika, 28 persen kopi robusta, dan sisanya kopi liberika dan excelsa.
Selanjutnya, perempuan kelahiran 5 Mei 1968 dan bersuamikan Wachid Noor Rozaq ini berhasil menemukan formula baru berupa perpaduan antara kopi gayo (arabika) dari Aceh dan kopi robusta dari seputar Gunung Muria. Lalu, dia menambahkan 11 rempah-rempah, seperti cengkeh, jahe, kapulaga, pala, dan kayu manis. Akhirnya, tercipta produk baru kopi Saqinano dengan enam rasa yang berbeda khasiat, seperti untuk relaksasi, menjaga stamina (kebugaran), dan "kejantanan".
Harga yang disodorkan untuk kopi ini cukup terjangkau, yaitu antara Rp 20.000 dan Rp 45.000 per bungkus.
Agar kopi Saqinano benar-benar menjadi minuman penuh sensasi dan eksotis, Nono menyodorkan resepnya. Ambil cangkir atau gelas, tuangkan satu sendok kopi Saqinano dan gula pasir secukupnya bagi yang gemar rasa manis, lalu tuangkan air panas, aduk-aduk dengan sendok. Ucapkan sebait doa dan minum dengan santai.
~ o 0 o ~
Sumber (disarikan dari):
Kompas, 11/5/2016:
- Pameran Kopi: Nusantara, Rumah Kopi Terbaik Dunia
- Kopi Spesial: Menghargai Kopi Mulai dari Petani
- Minuman Tradisional: Kopi Rempah Saqinano
- Festival Kuliner dan Kopi Banda Aceh
Ilustrasi dari: pixabay.com
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)