Prenjak dan Puisi Sebatang Korek Api

Oleh PUTU FAJAR ARCANA, Kompas, 28/5/2016

Ketika Diah mengguyur tubuh anaknya cerita berhenti. Ada pesan yang diam-diam berubah jadi perih. Seluruh penonton di Espace Miramar, Cannes, memberi tepuk tangan. Kisah 12 menit itu seperti baris-baris puisi pendek, namun membeber imajinasi sampai ke tanah Jawa.

ARSIP STUDIO BATU

Pada Minggu (15/5) pukul 14.15 waktu Perancis, film bertajuk Prenjak (In the Year of Monkey), besutan sutradara muda Wregas Bhanuteja, diputar untuk pertama kalinya bagi publik dunia. Itu jadi pertanda Prenjak mengawali langkah untuk berkompetisi dengan sembilan film lain dari Perancis, Brasil, Kanada, Portugal, Yunani, dan Hongaria, dalam kategori Semaine de la Critique rangkaian Film Festival Cannes. Perlu dicatat sebelum berkompetisi Prenjak harus bersaing dengan lebih dari 1.500 film dari seluruh dunia. Dan selama berkompetisi dalam festival bergengsi kelas dunia, film ini diputar sebanyak tiga kali dengan penonton yang tak pernah sepi.

Lalu Kamis (19/5) malam Jury President of the 55th Semaine de la Critique Valerie Donzelli mengumumkan Prenjak sebagai peraih Leica Cine Discovery Prize, satu penghargaan tertinggi untuk film pendek. Wregas memperoleh hadiah 4.000 euro serta berkesempatan mengikuti workshop Next Step Academy bulan Desember 2016 di Paris.

Prenjak bermula dari keterjepitan hidup Diah (Rosa Winenggar) sebagai ibu tunggal di Yogyakarta tahun 1980-an. Sebagai buruh ia seolah mati langkah untuk melunasi utang kamar kontrakannya. Suatu siang, di saat istirahat ia menarik teman kerjanya, Jarwo (Yohanes Budyambara), ke sebuah gudang. Diah bercerita bahwa ia sedang benar-benar membutuhkan uang dan tidak tahu lagi cara memperolehnya. Oleh sebab itu, ia ingin menjual batang-batang korek api.

"Ini sebatang harganya Rp 10.000," katanya dalam bahasa Jawa.

"Mahal benar!" ketus Jarwo.

Diah menjelaskan, dengan batang-batang korek api itu, Jarwo bisa melihat bagian paling intim dari dirinya di bawah kolong meja. "Tetapi jangan macam-macam, hanya bisa melihat," tegas Diah.

Sebatang korek api yang dinyalakan di bawah kolong meja ibarat pertaruhan hidup yang mengoyak-moyak hati Diah. Ketika api perlahan membakar lidi kayu, sampai semenit kemudian saat kayu berubah hitam, adalah saat paling kelam dalam pengalaman hidup perempuan Jawa ini. Hidup tak banyak memberi pilihan. Pada saat-saat paling kritis, walau harus merogoh rasa malu, Diah tetap mencoba mempertahankan harga diri. "Tubuh menjadi obyek untuk dieksploitasi tanpa kehilangan rasa malu," kata Wregas.

Alur film ini menjadi menggelikan dan bahkan bengal ketika Jarwo berbalik meminta Diah untuk melihat kemaluannya dengan imbalan Rp 100.000. Syaratnya, Diah harus menyalakan korek gas di bawah kolong meja. Sampai di sini, penonton di Espace Miramar, Cannes, Perancis, berdengung. Mungkin mereka berpikir adegan berikut akan sangat tidak adil bagi Diah.

Dengan lihai Wregas menunjukkan nyala korek gas di bawah kolong meja dengan mata Diah yang terpejam. Ia menahan keingintahuan penonton sampai pada batas tertentu. Lalu, pada detik yang tepat, gambar kemudian menunjukkan sebuah pemandangan yang seharusnya tidak mengejutkan bagi publik: sebatang kelamin!

Cerita pedagang

Tahun 1980-an di sebuah tempat di Yogyakarta beberapa pedagang kecil melakukan permainan korek api untuk menambah penghasilannya. "Teman saya bercerita bahwa itu pernah terjadi di Yogya walau kini sudah tidak ada lagi," kata Wregas seusai pemutaran Prenjak di Cannes.

Berdasarkan cerita itulah ia kemudian mengembangkan ide tentang balada seorang ibu tunggal yang harus berjuang mempertahankan hidup. Diah melakukan tindakan ekstrem walau tidak menodai. Tindakannya memberi kesempatan Jarwo melihat bagian intim dari dirinya itu semata-mata hanyalah siasat hidup.

Prenjak kemudian hadir sebagai bahasa pengantar bagi publik, bahwa di belahan Jawa yang berjarak 15 jam penerbangan dari Cannes, terdapat para perempuan yang berjuang mempertahankan hidup dengan cara yang tak lazim. Dalam tayangan gambar yang naratif, bahkan sangat biasa, Wregas tak kehilangan unsur-unsur puitik dalam membangun alur dan pesan. Kisah sederhana yang dinukilkan dalam 12 menit itu pun lantas hadir menjadi satu narasi besar tentang pengorbanan perempuan. Pada ujungnya, kemiskinan menjadi biang segalanya, karena ia menciptakan keterjepitan dan keterpaksaan. Dan itu bisa terjadi di mana pun di dunia.

Begitulah Prenjak mengejutkan publik film dunia. Sebagai sebuah puisi, film ini menyimpan bara luka di setiap hati para penontonnya. Ada tawa memang, tetapi itu perlahan-lahan berubah menjadi kegetiran yang menyiksa. Ada senyum juga, tetapi dalam secepat kilat berubah menjadi empati. Bahwa di belahan dunia ini banyak perempuan mengalami nasib serupa: berjuang seorang diri. Bahkan bukan bagi dirinya sendiri, tetapi demi kehormatan mempertahankan rasa kemanusiaannya yang terkoyak-koyak hidup yang makin ganas.


No comments :