Dua tahun jadi "anak rantau" di New York, Amerika Serikat, dengan prestasi jempolan, pianis Joey Alexander (12) pulang kampung.
Dia disambut meriah. Sekitar 2.000 penonton berdiri, termasuk Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, ketika melangkah naik ke panggung di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Minggu (22/5/2016) malam. Pertunjukan bertajuk "Joey Alexander Live in Concert" itu dimulai pukul 20.30 dengan dipandu presenter televisi Najwa Shihab. Kepada Najwa, Joey berujar, mudik ini seperti berlibur.
"Jadi musisi sih enggak pernah seperti kerja," kata Joey, yang memakai jas, celana agak ketat, dan rambut tebal yang nyaris menutupi telinganya.
DSP, Joey Alexander dan Najwa Shihab |
Joey membuka konser dengan nomor nominasi Grammy, "Giant Step", dicuplik dari album perdananya, My Favorite Things. Dia memberi aba-aba kepada Jeff "Tain" Watts, pemain drum di seberangnya untuk mulai duluan. Perlahan, jemari Joey menari di atas tuts piano gran Steinwey & Sons. Joey memainkan dinamika yang asyik dari nomor standar jazz itu.
Pandangan mata Jeff, pemain drum peraih enam Grammy itu, mengarah tajam kepada Joey, dan sesekali tersenyum. Sementara Joey sampai berdiri ketika tempo meningkat dan nadanya makin tinggi. Penonton bertepuk tangan. Keseruan itu muncul lagi di lagu gubahan Joey sendiri, "City Lights", yang menurut rencana muncul di album kedua kelak.
Ia pernah memainkan 90 detik lagu itu di panggung Grammy Awards di Los Angeles, California, AS, Februari silam. Namun, kali ini dia menampilkannya dalam bentuk utuh, sekitar 10 menit. Sebelum membawakan "City Lights", Joey main sendiri sepanjang lagu balada, "Over The Rainbow". Jeff dan pemain kontrabas Dan Chmielinski ngaso sejenak, tetapi tetap menyimak. Sebelum pentas, Jeff berujar, Joey bisa memainkan irama balada dengan amat baik.
"Memang banyak pemusik muda berbakat yang bisa memainkan berbagai macam gaya, bermain cepat, dengan keahlian teknis yang mumpuni. Joey melengkapinya ketika main balada. Joey menunjukkan bahwa dirinya bermain dengan hati, dengan perasaan," papar Jeff.
Paruh pertama pertunjukan, yang berisi empat lagu, Joey sudah menunjukkan dirinya. Dia menguasai teknis, sekaligus memperlakukan pianonya dengan penuh perasaan. Tapi, dia juga bisa main jenaka, seperti ketika memainkan "Kicir-kicir" bareng Dira Sugandhi dan Barry Likumahuwa, memenuhi permintaan Gubernur Basuki.
Dari menyimak
Tiga hari sebelum konser, Joey menonton workshop teknik drum oleh Jeff. Dia sedang senang main drum. Joey tampak konsentrasi. Ibunya, Fara Urbach, yang duduk di sampingnya, tak banyak ia ajak ngobrol. Kacamata bingkai transparan harus dibetulkan posisinya beberapa kali karena kepalanya bergoyang mengikuti pukulan Jeff. Begitulah respons Joey pada musik yang ia dengar: menyimak dengan sungguh-sungguh.
Respons semacam itu yang terjadi ketika masih kanak-kanak saat ayahnya, Denny Sila, memutar lagu-lagu standar jazz Duke Ellington, Thelonious Monk, dan John Coltrane. Dari mendengar, Joey bisa memainkan "Well, You Shouldn't" dari Thelonious Monk dengan piano. Denny, waktu itu pebisnis pariwisata di Bali dan musisi amatir, makin sering memperdengarkan rekaman jazz terutama yang bercorak swing. Denny juga mengajak Joey jam session dengan musisi di Bali untuk mengasah tekniknya.
"Di Bali waktu itu sering jamming bareng Rio Sidik dan Bonnie. Bonnie yang main piano sering membagi ilmunya ke Joey. Kalau di Jakarta, Benny Likumahuwa sering ajak Joey kalau dia ada undangan main. Indra Lesmana kasih kesempatan untuk jamming di kafenya dulu," kata Denny.
Menurut Denny, Joey pertama kali naik panggung ketika berumur tujuh tahun, bukan main piano, tetapi menyanyi lagu "Amazing Grace". Joey pernah kursus vokal di sekolah Purwa Caraka di Bali.
"Setelah kenal piano, dia enggak mau nyanyi lagi," lanjut Denny, yang menjual rumahnya di Batu Bulan untuk pindah ke New York.
Di kota "Big Apple" itu, Joey menemukan jalan. Wynton Marsalis, peniup terompet, yang menjadi Direktur Artistik untuk Jazz di Lincoln Center, memanggungkan Joey di sana. Maka, dimulailah petualangan bocah itu bertemu dan berbagi wawasan dengan tokoh-tokoh Jazz dunia. Salah satunya adalah pemain terompet Wayne Shorter, yang tampil bersama di hadapan Barrack Obama di Gedung Putih akhir April lalu. Joey juga berbagi bus dengan Chick Corea, salah satu panutannya.
"Mereka memberikan dorongan untuk terus bermain, dan juga menjadi diriku sendiri," kata Joey. Berada di lingkungan musik di New York, bergaul dengan musisi, Joey makin mengenali dirinya sendiri.
KOMPAS.com/ANDI MUTTYA KETENG |
Latihan dan menonton
Joey masih berlatih selama dua sampai tiga jam setiap hari. Sebelum latihan, ia mendengar banyak referensi musik untuk penambah semangat.
"Di sela-sela latihan, aku juga membuat komposisi lagu," katanya. Jika tidak latihan, Joey menikmati waktunya menonton film atau main game. Sesekali dia memutar musik lewat Youtube. Kata ayahnya, Joey mendengar macam-macam musik, selain standar jazz. Ia mengonsumi James Brown hingga John Mayer, tapi tidak Justin Bieber. Di New York, Joey tidak ikut sekolah publik, tetapi sekolah di rumah.
Selain bergaul dengan musisi, Joey punya teman sebaya di klub tenis dan renang yang ia ikuti. Seminggu sekali, kalau sempat, keluarga Joey pergi ke bioskop. Kalau tidak, ya, menonton film lewat layanan Netflix. Kegemilangan Joey yang diraih saat ini, disebutkan ibundanya, Fara Urbach, bukan faktor keberuntungan, melainkan karena bakat yang diasah dengan baik. Joey, yang bulan depan berumur 13 tahun, mensyukuri apa yang ia peroleh hari ini. Ia sudah tahu apa yang bakal ia capai di masa mendatang.
"Music is the actual me. Aku tidak tahu bakal jadi apa kalau tanpa musik," kata Joey. Kepulangan bocah berprestasi itu menyuntikkan kegembiraan di tengah berbagai masalah yang merundung negeri ini. Joey adalah pertanda bahwa kita mampu unjuk prestasi di dunia.
(Herlambang Jaluardi)
No comments :
Post a Comment