Menyatu dengan alam rawa berikut masyarakat pendukungnya tak harus jauh-jauh dari kota. Berjarak 60 kilometer dari Bandara Kerinci, Jambi, surga alam rawa tertinggi di Sumatera siap menyambut pengunjung.
Deru mesin perahu mengusik sekawanan bangau putih di hamparan rawa. Kawanan itu melesat terbang menuju tepian Rawa Bento, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Pemandangan alam di sekitar Rawa Bento di Desa Jernih Jaya, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci, Jambi, Sabtu (18/8/2018) dari atas perahu
Jika tidak ada deru mesin, permukaan rawa itu pastilah dipadati bangau-bangau putih. Tak jarang bangau tongtong melintas di atasnya.
Jalur sungai yang membelah hutan tropis di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) itu adalah rumah nyaman bagi kawanan itu. Sekaligus tempat berburu makanan. Di balik permukaan sungai, beragam jenis ikan air tawar hidup, mulai dari semah, seluang, pareh, hingga belut.
Bangau-bangau tak sendirian. Lebih dari 400 jenis burung berseliweran, meramaikan surga alam di tengah lembah yang memisahkan Gunung Tujuh dan Gunung Kerinci.
Bersama burung-burung itu, berbaur ratusan kerbau. Warga setempat terbiasa melepas ternak kerbaunya berkeliaran. Ternak-ternak itu bebas merumput semau hati di Rawa Bento.
Di antara pepohonan, sekelompok primata bermain-main, seakan tak menghiraukan kehadiran para tamu di atas kapal. Pemandangan begitu luas di jalur itu. Terbentang wajah Gunung Tujuh nan hijau di sisi barat, sedangkan di bagian timur menjulang Gunung Kerinci yang puncaknya mencapai tinggi 3.805 meter di atas permukaan laut.
Kami jelas beruntung, karena masih sempat menyaksikan seluruh pemandangan itu pada medio September 2018. Tak sampai satu jam kemudian, awan mulai menyingkap puncak gunung-gunung.
Sekitar 20 menit menyusur sungai hingga sepanjang 4 kilometer, kapal berbelok ke salah satu anak sungai. Pada jalur ini, badan sungai semakin menyempit. Di salah satu perhentian, Samto, warga setempat, mengajak turun dari perahu.
Tibalah kami pada hamparan luas rerumputan. Pepohonan tua yang batang dan akarnya diliputi lumut tersebar di hamparan itu. Bagian puncak pohon bertajuk luas sehingga melindungi satwa liar di saat hari beranjak siang.
Rawa Bento sejatinya juga telah menjadi sandaran hidup masyarakat lokal. Menurut Samto, mereka memperoleh sumber air dan makanan dari sana. Kebutuhan lauk sehari-hari mereka didapatkan dari memancing ikan. Pucuk-pucuk rumput yang menjalar di atas rawa pun dapat diolah menjadi sayuran. Tak jarang tamu yang berwisata disuguhi beragam jenis masakan asli setempat.
Rawa tertinggi
Berada pada ketinggian lebih dari 1.300 meter di atas permukaan laut, Rawa Bento itu dinobatkan sebagai rawa tertinggi di Sumatera. Luasnya mencapai 1.000 hektar dilengkapi beragam vegetasi rumput. Leersia hexandra merupakan salah satu jenis rumput ilalang yang paling dominan. ”Kami biasa menyebutnya rumput bento. Dari situlah muncul istilah rawa bento,” kata Samto.
Rawa itu dulunya tampak luas seperti danau. Sedimentasi membuat danau itu mendangkal sehingga kini dipenuhi rumput. Saat menyusurinya tampak dari kejauhan air rawa berwarna kehitaman, tetapi jika dilihat dari dekat, airnya jernih dan banyak ikan.
Peneliti yang juga ahli biologi konservasi Jatna Supriatna dalam bukunya berjudul Berwisata Alam di Taman Nasional yang terbit tahun 2014 menyebut Rawa Bento sebagai hutan rawa air tawar yang sebagian besar permukaannya ditumbuhi rumput bento. Terdapat sungai yang mengalir di bawah rawa ini, yaitu Sungai Rumpun dan Sungai Sangir.
Kawasan itu habitat burung migran, burung rawa, serta kerbau liar milik penduduk yang dilepas bertahun-tahun. Rawa air tawar itu disebutnya sebagai sumber tangkapan air.
Selain rumput bento, terdapat pula jenis-jenis rumput dari keluarga Cyperaceae atau rumput teki. Adapun vegetasinya berisi jenis nyatoh (Palaquium sp), pakoba (Syzygium sp), janitri (Elaeocarpus sp), dan jenis beringin (Ficus sp).
Pemandu kami, Dozer Holizar, yang juga mengetuai BUMDes Rawa Bento, menceritakan, di masa lalu rawa itu dipenuhi tanaman eceng gondok. Masyarakat percaya eceng gondok dapat bersih sewaktu-waktu dari permukaan rawa setiap kali digelar tradisi bersih desa. Namun, di masa kini, masyarakat memilih bergotong royong membersihkan rawa agar perahu dapat tetap melintas.
Meski masuk kawasan hutan, rawa itu relatif mudah dicapai. Ada sejumlah akses dari desa-desa penyangga taman nasional. Jalur yang terdekat dan termudah adalah lewat Desa Jernih Jaya, Kecamatan Gunung Tujuh, Kabupaten Kerinci.
Dari Bandara Depati Parbo Kerinci, rawa ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat berjarak 60 kilometer. Setelah tiba di Dermaga Desa Jernih Jaya, tersedia sejumlah perahu sewaan untuk menuju lokasi rawa. Perahu-perahu itu dibeli dari modal awal dana desa yang dikelola BUMDes Jernih Jaya.
Masyarakat masih terbiasa menyusuri sungai dengan sampan. Belakangan, setelah dana desa masuk, mereka membuat perahu mesin agar ujung rawa dapat ditempuh lebih cepat. Jika sebelumnya butuh lima jam menyusuri sepanjang sungai menuju Rawa Bento, kini cukup 50 menit dengan perahu motor.
Namun, tak semua tamu memilih perahu bermesin. Beberapa lainnya malah lebih suka menggunakan sampan karena dapat menyusuri sungai tanpa suara bising mesin kapal. Dengan begitu, tamu lebih leluasa menikmati satwa bermain-main di atas air atau melintas di udara.
Surga terancam
Keasrian alam di Rawa Bento terbilang utuh. Namun, pesona itu bukanlah tanpa ancaman. Beberapa kali masyarakat menangkap basah pemburu liar burung.
Ada pula pencari ikan yang membawa alat setrum. Jika dibiarkan, pelengkap lanskap surga alam tersebut terancam lenyap dari ekosistem Rawa Bento.
Menyadari besarnya ancaman, sejak tahun lalu mereka menerbitkan peraturan desa (perdes). Isinya berupa larangan menyetrum ikan dan memburu burung. Perdes juga melarang penebangan pohon. Jika pelakunya tertangkap tangan, akan dikenai denda Rp 5 juta.
Kepala Balai Besar TNKS, Tamen Sitorus menyebut kelestarian di Rawa Bento didukung oleh masyarakat yang sadar untuk turut menjaga. Kelestarian itu menjadi aset penting tumbuhnya pariwisata dalam taman nasional.
Keindahan alam berpadu dengan berbagai potensi lain, di antaranya kuliner kopi Kerinci dan kerajinan tangan. Taman nasional jangan sampai hanya menjadi monumen alam, tetapi selayaknya memberi manfaat bagi seluruh kehidupan masyarakat.
Di Rawa Bento, keheningan alam liar adalah surga dunia yang selayaknya dijaga keberlanjutannya.
Ditulis oleh Irma Tambunan, dikutip dari Kompas edisi 11 November 2018