Oleh DWI AS SETIANINGSIH
Buku tak pernah jauh dari kehidupan Laura Bangun Prinsloo (35). Sejak belia, ia terbiasa dekat dengan buku. Kini, buku menjadi jalan bagi Laura untuk berkontribusi memanggungkan karya-karya penulis Indonesia di pentas dunia agar semakin banyak mata melihat kekayaan negeri ini.
Buku barangkali adalah cinta pertama Laura. Cinta yang tumbuh perlahan sejak dia menjadikan perpustakaan, toko buku, dan pameran-pameran buku sebagai tempat baginya bermain sejak belia.
Namun, buku tak pernah secara sadar menjadi pilihan Laura mendedikasikan diri. Menjelang dewasa, Laura justru merasa jatuh cinta pada angka-angka.
Dia bahkan bercita-cita menjadi aktuaris, seorang ahli yang mengaplikasikan ilmu keuangan dan teori statistik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bisnis aktual. Saat bersama keluarganya diboyong sang ayah ke Selandia Baru, Laura memilih kuliah di jurusan matematika, lalu melanjutkan jenjang S-2 di jurusan ekonomi finansial.
Persinggungan Laura secara intens di dunia perbukuan dimulai sekitar 10 tahun kemudian. Kala itu sang ayah, Antonius Bangun, pendiri usaha penerbitan PT Kesaint Blanc Indah, yang telah lebih dulu pulang ke Indonesia, memintanya kembali ke Indonesia setelah 11 tahun tinggal di Selandia Baru.
Saat itu, kehidupan Laura sudah sangat mapan. Dia dan suaminya yang berasal dari Afrika Selatan, Pieter Prinsloo, sama-sama memiliki karier cemerlang. Namun, sang ayah tetap memintanya pulang.
”Kamu mungkin nyaman di sini, kamu enggak ngeliat banyak orang susah. Negara kamu butuh orang-orang kayak kamu. Kamu di sini mungkin bisa sukses, tapi enggak kelihatan. Kalau kamu pindah ke Indonesia, bisa melakukan sesuatu, bisa kelihatan,” begitu sang ayah membujuk Laura. Ia ingat betul kata-kata itu.
Rabu (18/7/2018) siang, kami berbincang di kedai kopi yang dikelola Laura bersama Pieter di kawasan Cempaka Putih, Jakarta. Itu perjumpaan yang kesekian kali dengan Laura di antara kesibukannya sebagai Ketua Komite Buku Nasional (KBN). Salah satu agenda besar Laura adalah mempersiapkan Indonesia sebagai negara market focus di London Book Fair 2019.
Kata Laura, sebenarnya dirinya pernah tak paham dengan maksud sang ayah. Ia hanya mengerti, pada intinya, sang ayah memintanya pulang ke Indonesia untuk mengabdi kepada negaranya.
Kebetulan, ketika itu Kesaint Blanc yang dibangun sang ayah sedang surut karena kondisi dunia penerbitan yang juga tengah suram. Sang ayah bahkan telah merelakan Kesaint Blanc yang didirikan sejak 1979 ditutup.
”Oh, enggak tega, kan. Walau ayah saya punya beberapa bisnis setelah itu, Kesaint Blanc-lah yang membangun kehidupan kami. Dulu bisnis ayah yang pertama ya itu, sumber yang membuat kami jadi seperti sekarang. Masak iya mau dibiarin mati. Akhirnya ya udah, saya balik, saya bantu jalanin Kesaint Blanc,” kata Laura.
Mendidik
Tentu bukan pekerjaan ringan. Apalagi waktu itu Laura tak memiliki pengalaman di dunia perbukuan. Dia juga terbiasa bekerja sebagai karyawan, belum pernah menangani perusahaan.
”Akhirnya klise, kayak anak kuliahan, beli buku banyak-banyak tentang bagaimana mendatangkan profit, publishing industry, baca, ikut seminar. Ngajari diri sendiri aja,” ujar Laura.
Dia juga melakukan banyak hal radikal. Terpaksa menawari pegawai pensiun dini agar Kesaint Blanc bisa kembali sehat, juga melakukan perubahan besar-besaran dari sisi pemasaran. ”Kita, kan, fokus di pelajaran bahasa asing, jadi saya banyakin buku-buku yang memang memberi pelajaran penuh,” lanjutnya.
Laura juga lantas masuk Ikapi dan menjadi pengurus. Dengan begitu, dia makin mengenal industri buku dan para pelakunya. Kecintaannya pada buku sejak kecil pun kembali menguat.
”Sebenarnya, orang terjun ke penerbitan, kan, biasanya karena passion, karena suka buku. Tapi yang tidak boleh dilupakan, ini juga sebuah bisnis. Dan, seperti bisnis lain, mesti paham, jangan hanya passion,” ujarnya.
Menurut dia, konten memang perlu, tapi perlu juga memikirkan rencana bisnis sebuah buku. Apakah pasarnya ada dan waktunya tepat. Belum lagi soal urusan balik modal dan lain sebagainya.
Seluruh variabel juga harus diukur cermat. Tidak bisa hanya berpegang konten buku yang bagus, lalu mengeluarkan banyak uang dengan waktu editing lama. Akibatnya, harga buku sangat mahal. Menurut Laura, hal seperti itu perlu dipahami pelaku industri penerbitan.
Perjalanannya membesarkan kembali Kesaint Blanc juga mengajarkan Laura hal penting. Bahwa apa yang dia jalani bukanlah semata-mata bisnis. ”Saya pergi ke sejumlah daerah di Indonesia, ngajarin bahasa Inggris. Sedih banget sebenarnya karena di daerah gurunya enggak bisa bahasa Inggris, tapi harus ngajarin anak-anak bahasa Inggris. Gimana caranya,” tutur Laura.
Di situlah Laura merasa apa yang dia lakukan menjadi bagian dari upaya memperbaiki negeri melalui edukasi.
”Di satu sisi, itu bisnis, mesti berjalan. Tapi, di sisi lain, konten itu nanti akan dipakai untuk mengedukasi orang. Saya pernah ketemu pelayan hotel yang bertanya pakai bahasa Inggris. Saya tanya, belajar dari mana? Katanya otodidak, pakai buku 52M (Bahasa Inggris Sistem 52M). Itu buku terbitan saya, wah, enggak nyangka,” ujar Laura bernada bahagia.
Baginya, hal seperti itu sangat tak ternilai. Kepada tim editorial, Laura selalu mengingatkan bahwa apa yang mereka lakukan dengan konten buku-buku mereka bukan semata pekerjaan, tapi juga mengedukasi orang.
”Bahkan, dengan sekarang Indonesia tampil di pentas dunia, kita enggak hanya mengedukasi orang Indonesia, tapi orang luar juga. Saat terbit di China atau di Turki, anak-anak negara sana juga belajar dari kita,” kata Laura.
Duta bangsa
Berhasil mengembalikan Kesaint Blanc di dunia penerbitan, Laura melangkah makin jauh. Dari Ikapi, ia lalu melompat ke KBN, menjabat wakil ketua. Tahun 2016 awal, Laura ditunjuk menjadi Ketua KBN dengan masa kerja hingga 2019.
Dalam posisi itu, Laura juga dituntut mampu berkomunikasi, menjadi duta bangsa di dunia luar, juga mampu memosisikan Indonesia bukan sebagai bangsa ”pemalu”, melainkan bangsa yang bisa bersaing.
Lagi-lagi ini bukan jalan mudah bagi Laura. Apalagi di pasar Eropa, buku-buku dan penulis Indonesia tidak dikenal.
”Selama ini, Indonesia selalu beli hak cipta dan diterbitkan di Indonesia. Seperti buku JK Rowling, Dan Brown, dan lainnya. Kita belum pernah mencoba menjual keluar. Baru tahun 2015, itu pun penjualan right-nya sangat kecil, kebanyakan ke Malaysia. Gimana penulis kita bisa dikenal,” papar Laura.
Melalui KBN, Laura dan tim kemudian merancang rencana. Mereka membuat beberapa divisi untuk menangani konten, program pelatihan penulis agar bisa bersaing dengan penulis luar, mampu memasarkan diri, menjalin jejaring, hingga strategi berpromosi. Tim Laura pun bekerja sama untuk mewujudkan tujuan agar buku Indonesia makin banyak diterbitkan di luar negeri.
”Kami berusaha terus meyakinkan penerbit bahwa buku mereka bagus. Ke penulis juga, bahwa mereka menulis enggak hanya untuk pasar Indonesia, jadi pastikan buku yang ditulis adalah masterpiece. Kami bantu dengan pelatihan,” ucap Laura.
Ia juga berharap, Indonesia mau belajar dari negara lain dalam hal memanggungkan buku-buku ke pentas dunia. Salah satunya, dengan memiliki lembaga khusus yang menangani buku dengan tenaga profesional yang mengurusi buku secara penuh dan sifat organisasinya pun permanen. ”Karena ini bukan urusan yang setahun dua tahun selesai,” kata Laura.
Dia mencontohkan negara-negara seperti Korea, Turki, dan China yang pemerintahnya serius memberikan perhatian pada buku. Begitu juga dengan China. ”China itu dari tiada menjadi ada. Dari yang tidak kedengeran jadi top 10. Sekarang malah posisinya top 2.”
Apalagi dibandingkan negara-negara ASEAN, industri buku Indonesia paling besar dari sisi net revenue, jumlah penerbit, dan jumlah buku yang diterbitkan.
”Local content kita banyak, budaya kita banyak, budaya dongeng, banyak cerita, tapi enggak dieksplor. Sebagai orang yang lama tinggal di luar, sedih banget. Punya sesuatu yang berharga, bagus, tapi orang enggak tahu,” lanjutnya.
Pembenahan hulu hilir mendesak dilakukan. Saat ini penjualan hak cipta buku dari Indonesia mulai meningkat. Namun, jalan masih panjang.
Laura terus mencoba membuka jendela-jendela dunia itu lewat buku.
Laura Bangun Prinsloo
Lahir: Jakarta, 20 November 1983
Pendidikan:– S-2 (MCom in Financial Economics), The University of Auckland, Selandia Baru (lulus 2006)
– S-1 (BSc in Mathematics) dari The University of Waikato, Selandia Baru (lulus 2004)
Karier:1. Head of National Organizing Committee (2018)
2. Chairperson of National Book Committee (2016-sekarang)
3. Co-Founder & Owner of PT Maju Mundur Kena (2016-sekarang)
4. Deputy Head of Book Committee (2015)
5. Director of PT Jakarta Pallet Service, Indonesia (2014-sekarang)
6. Founder & Owner of GO Taxi (2012-2014)
7. Director of PT Kesaint Blanc Indah, Indonesia (2010-sekarang)
8. Corporate Strategist ASB Bank, Selandia Baru (2008-2010)
9. Portfolio Risk Management GE Money, Selandia Baru (2006-2008)
Organisasi:
- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, 2016-sekarang, Deputy Head of Permanent Committee for Multilateral Institution & FTA
- Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), 2016-sekarang, Head of International Corporations
- Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, 2015-2016, Head of Bureau of Economic and Banking
- 4. Yayasan Sapo Ribu, 2011-2015, Head of Foundation
Dikutip dari Kompas 22 Juli 2018