Membaca
“Wali Nusantara”
Tempo,
25-31 Mei 2020
Saya suka membaca dan kegiatan tersebut adalah vitamin yang cukup ampuh sebagai asupan bagi otak dan pikiran saya untuk terus bekerja. Majalah Tempo merupakan salah satu sumber bacaan yang saya suka. Pada edisi 25-31 Mei 2020, ada liputan khusus yang menarik, berjudul Wali Nusantara, ulama-ulama setelah era Wali Sanga yang mengembara menyebarkan Islam ke pelosok negeri berabad silam. Berikut, saya kutip untuk pembaca blog ini. Selamat membaca.
Syekh Abdul Muhyi
Syekh Abdul Muhyi dikenal
sebagai penyebar agama Islam di Sunda bagian selatan dan tokoh tarekat Sattariyah. Lahir di
Surakarta, Jawa Tengah pada 1650 Masehi atau 1071 Hijriyah.
Pada usia 19 tahun, ia belajar agama kepada Syekh Abdurrauf al-Singkili, ulama terkenal di Singkil, Aceh. Saat berada di masjid Al-Haram, sang guru melihat cahaya dari arah Muhyi, Abdurrauf lalu memanggil Muhyi dan menyarankannya untuk mengembangkan Islam di Jawa Barat bagian selatan dan mencari sebuah gua. Gua dalam hal ini adalah sebuah metafora dari tempat untuk mengembangkan dakwah.
Setelah setengah tahun di Mekah, Abdurrauf dan murid-muridnya pulang ke Aceh, Muhyi pulang ke Gresik dan memutuskan pergi ke wilayah selatan Jawa Barat, daerah yang saat itu lebih sulit aksesnya daripada sisi utara Jawa. Sebelum perjalanan Muhyi dimulai, orang tuanya menikahkannya dengan Ayu Bakta. Dia melalui beberapa daerah sebelum menemui lokasi baru yang diberi nama Safarwadi, tempat Muhyi membuka perkampungan dan menyebar Islam. Guanya dipakai untuk bersemadi dan tempat pendidikan.
Syekh Muhyi menggunakan sejumlah cara untuk mengajarkan Islam, dengan pendekatan dakwah model Wali Sanga, para wali yang juga penganut tarekat, yang menekankan pada aspek fikih, hukum Islam, tapi pada tauhid, eling atau zikir. Tarekat punya kecenderungan mudah mengakomodasi unsur-unsur lokal
Syekh Muhyi juga terlibat dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda, misalnya dalam konflik Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1695) dengan kongsi Belanda (VOC).
Gua Safarwadi terletak sekitar 600 meter dari makam Syekh Abdul Muhyi di desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Setelah Muhyi meninggal, tarekatnya dikembangkan oleh putra dari istri pertamanya, Sembah Dalem Bojong dan Emas Paqih Ibrahim.